Strategi Diperlukan guna Mengoptimalkan Manfaat Penetrasi Internet
Peningkatan penetrasi digital di Indonesia membutuhkan strategi kebijakan jitu dan komprehensif. Harapannya, manfaat digitalisasi bisa lebih optimal mendongkrak kue ekonomi dan kesejahteraan masyarakat yang lebih luas.
Oleh
Stefanus Osa Triyatna
·5 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Strategi digitalisasi diperlukan untuk mengubah pola pikir agar penetrasi internet yang meningkat bisa diikuti peningkatan ”kue” ekonomi yang lebih besar bagi semua kelompok masyarakat. Dengan demikian, pendapatan per kapita meningkat, sementara kesenjangan sosial berkurang.
Teknologi digital di Indonesia sebagian besar masih dimanfaatkan untuk kegiatan sosial dan hiburan (entertainment). Padahal, pemanfaatan teknologi digital di beberapa negara sudah sampai pada pencapaian yang memadai dengan indikator pendapatan per kapita yang semakin tinggi seiring penetrasi internet.
Pendiri sekaligus ekonom senior Center of Reform on Economics (Core) Indonesia, Hendri Saparini, dalam diskusi ”Refleksi Ekonomi Akhir Tahun 2021” di Jakarta, Rabu (29/12/2021), mengatakan, digitalisasi membutuhkan kebijakan komprehensif. ”Paradigmanya adalah mengikutsertakan seluruh lapisan masyarakat supaya tidak lagi tertinggal pada saat kita lebih kencang berlari dalam digitalisasi,” ujarnya.
Hendri menjelaskan, salah satu yang menjadi indikator penetrasi digital adalah pertumbuhan e-dagang. Pengguna e-dagang Indonesia merupakan salah satu yang tertinggi di dunia. Sayangnya, pertumbuhan itu baru berasal dari sisi jasa.
Menurut Hendri, sisi produksi perlu didorong lebih kuat lagi. Dalam e-dagang acap kali didiskusikan berbagai kemunculan produk-produk impor karena Indonesia tidak siap dari sisi suplai. Strategi yang lebih komprehensif diperlukan sehingga peningkatan e-dagang bisa serta-merta mendorong perbaikan struktur industri sekaligus mendongkrak produksi.
”Jangan sampai, adanya digitalisasi perdagangan, yang memudahkan masyarakat mendapatkan manfaat seperti bahan baku, justru tidak dimanfaatkan di dalam negeri karena tidak adanya strategi kebijakan yang memberikan ruang,” ujar Hendri.
Hendri mencontohkan Thailand yang mendapatkan banyak manfaat digitalisasi karena sebagian besar industrinya sudah berkonsep industri 3.0. Kini mereka akan berpindah ke era 4.0. Industri yang memang harus bertahan dengan kreatif tidak didorong untuk menuju era 4.0 karena tidak bisa mengandalkan otomatisasi. Namun, mereka melakukannya dengan relokasi.
Oleh karena itu, industri-industri pendukung pariwisata di Thailand dalam konsep 4.0 memiliki rencana relokasi ke beberapa negara ASEAN, antara lain Indonesia. Mulai dari suvenir, perhiasan, hingga kosmetik direlokasi ke Indonesia. Konsep digitalisasi betul-betul ditata agar semua mendapatkan manfaatnya.
Sebaliknya, industri yang mau berinvestasi di Thailand harus memiliki konsep 4.0 sehingga insentifnya berbeda-beda. Kemudahan pajak bukan lagi sebagai insentif yang menarik. Kreativitas diperlukan dalam mendorong kebijakan dengan paradigma sama-sama mendapatkan manfaat digitalisasi.
Secara mikro sesungguhnya banyak sektor yang bisa dipacu pertumbuhannya dengan bantuan teknologi digital, misalnya e-dagang. Namun, hasil survei Core Indonesia menunjukkan, sektor pertanian belum seluruhnya merasakan manfaat dari digitalisasi. Namun, penetrasi internet yang meningkat memang sudah memberikan manfaat di beberapa sektor dan subsektor lain.
Research Associate Core Indonesia Dwi Andreas Santosa mengatakan, terkait dampak ekonomi digital terhadap pertanian, dari hasil survei jaringan Core Indonesia di 20 provinsi, petani dengan lahan sempit (kurang dari 0,5 hektar) sama sekali tidak mendapatkan pengaruh dari ekonomi digital. Kemudian, petani dengan lahan luas lebih dari 0,5 hektar yang memanfaatkan teknologi informasi hanya mencapai 4,76 persen dan petani yang bergerak di pengolahan hasil pertanian mencapai 14,29 persen.
Sementara itu, individu, koperasi, dan organisasi yang membantu memasarkan produk petani dan memanfaatkan digital mencapai 28,57 persen dan pedagang dengan tujuan mendapatkan keuntungan dari hasil produksi petani mencapai 42,86 persen.
”Ketika muncul pemain-pemain baru di dunia pertanian, dengan slogan melindungi petani dan mampu memotong rantai pasok, lebih bertujuan untuk keuntungan mereka sendiri,” ujar Andreas.
Hendri menjelaskan, di negara-negara maju, digitalisasi membuat pendapatan per kapita meningkat cukup signifikan. Permasalahannya terletak pada struktur ekonomi dan sosial masyarakatnya. Negara-negara yang selama ini sudah kompetitif dan memiliki pertumbuhan pendapatan per kapita signifikan makin kompetitif dengan kekuatan digitalisasi. Mereka bisa lebih efisien dan menguasai pasar lebih luas.
”Sekarang ini, kalau kita lihat, apakah industri-industri di daerah sudah berkembang? Kelihatannya belum. Misalnya, tiba-tiba ada digitalisasi di sektor pertanian yang dilakukan di berbagai wilayah. Kemudian, ada teknologi untuk pengawetan, petani yang tadinya dirugikan dengan harga cabe yang naik-turun akhirnya bisa mengawetkan produksi dengan nilai tambah lebih tinggi,” jelas Hendri.
Menurut Hendri, semestinya digitalisasi segera didorong untuk sektor-sektor produk atau dari sisi suplainya. Sebab, sisi permintaan di Indonesia sangat tinggi atau sangat besar di dalam dan luar negeri, tetapi memang ada permasalahan dari sisi suplai.
Untuk daerah-daerah penghasil komoditas primer, pendapatan yang disebabkan oleh digitalisasi memang bisa tumbuh tinggi. Namun, bagi daerah yang bukan penghasil komoditas primer dalam kondisi saat ini, tidak ada kesempatan untuk tumbuh tinggi. Padahal, kalau ada pengenalan teknologi seperti sektor pertanian dengan cukup masif, mereka akan dapat merasakan manfaatnya.
Hendri mencontohkan program bantuan sosial yang mencapai Rp 50 triliun per tahun, belum termasuk program perlindungan sosial lainnya. Alokasi anggaran sebesar ini menjadi captive market bagi produk-produk UKM, pertanian, dan industri pengolahannya.
Lebih jauh lagi, kata Hendri, kalau program Kartu Prakerja yang sekarang digunakan sebagai bantuan langsung tunai dimodifikasi, tentu mereka yang semula magang bisa menghasilkan berbagai produk sendiri. Oleh karena itu, dana bantuan usaha kecil menengah yang jumlahnya Rp 127 triliun bisa mendanai mereka menjadi wirausaha baru.
”Kalau kita lihat kinerja manufaktur tahun 2021, kita harus menjaga momentum ini. Di tengah pandemi Covid-19 yang masih berlangsung, kinerja industri manufaktur masih menunjukkan geliat yang cukup ekspansif,” kata ekonom Core Indonesia, Ina Primiana.
Dilihat dari pertumbuhannya, kata Ina, sudah lama sekali tidak terjadi pertumbuhan manufaktur lebih tinggi dari pertumbuhan ekonomi. Namun, pada triwulan III-2021, pertumbuhan sektor ini mencapai 3,68 persen atau lebih tinggi dibandingkan dengan pertumbuhan ekonomi yang sebesar 3,51 persen. Pertumbuhan ini berpotensi membuka peluang bagi lapangan pekerjaan.