Masih Dibayangi Pandemi, Okupansi Hotel Belum Kembali Normal
Di bawah bayang-bayang pandemi Covid-19 yang belum pergi meski melandai, tingkat okupansi hotel menjelang masa libur akhir tahun masih di bawah kondisi normal.
Oleh
Mediana, Abdullah Fikri Ashri, Videlis Jemali, Saiful Rijal Yunus, Haris Firdaus, Kristian Oka Prasetyadi
·5 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Menyambut masa libur akhir tahun, sektor pariwisata perlahan mulai menggeliat. Akan tetapi, di bawah bayang-bayang pandemi yang belum pergi, tingkat okupansi hotel masih di bawah kondisi normal. Masih banyak pula hotel yang belum memiliki sertifikasi CHSE atau sertifikasi standar kebersihan, kesehatan, keselamatan, dan keberlanjutan lingkungan.
Sekretaris Jenderal Perhimpunan Hotel dan Restoran Indonesia (PHRI) Maulana Yusran saat dihubungi di Jakarta memperkirakan, sampai akhir 2021, rata-rata tingkat okupansi hotel nasional akan berkisar di angka 40-45 persen. Sebagai perbandingan, sebelum pandemi, pada tahun 2019, tingkat okupansi ada di kisaran 50-57 persen, dengan kondisi pada Desember setinggi 59,39 persen.
Okupansi di akhir tahun ini memang naik dibandingkan tahun 2020. Saat itu, rata-rata okupansi hotel nasional pada bulan Desember hanya 34 persen akibat efek pandemi dan pembatasan sosial. Meski saat ini kasus Covid-19 melandai dan pembatasan lebih longgar, okupansi belum kembali ke titik normal.
”Rata-rata warga masih khawatir bepergian. Kalaupun mau menginap di hotel, mereka biasanya baru pesan mendekati hari-H, tidak lagi pesan jauh-jauh hari seperti era sebelum pandemi,” kata Maulana, Senin (27/12/2021).
Menurut dia, saat ini pelaku industri berlomba-lomba menurunkan harga demi menarik tamu, sampai menawarkan program menginap jangka panjang dengan harga terjangkau. Namun, wisatawan enggan memesan penginapan jauh-jauh hari meski ada promo karena masih mengkhawatirkan pandemi. Ia pun memperkirakan tidak semua hotel akan meraup untung dari momen libur akhir tahun kali ini.
Wisatawan enggan memesan penginapan jauh-jauh hari meski ada promo karena masih mengkhawatirkan pandemi. Ia memperkirakan tidak semua hotel akan meraup untung dari momen libur akhir tahun kali ini.
Di Cirebon, Jawa Barat, meski tingkat okupansi meningkat menjelang akhir tahun, kondisi itu belum mencapai target atau pulih seperti sediakala. Di Hotel Metland Cirebon, pengunjung yang memesan kamar untuk malam Tahun Baru mencapai 50 persen dari 98 kamar yang ada. ”Masih ada lima hari lagi untuk tambah pengunjung,” ujar General Manager Hotel Metland Martino Yuda.
Ia tetap optimistis bisa menambah hingga 30 persen penghuni kamar sehingga okupansi hotel ditargetkan bisa mencapai 80 persen saat akhir tahun. Menurut dia, akibat pandemi yang tak menentu, pola perilaku konsumen selama dua tahun terakhir ini memang lebih banyak memesan kamar secara langsung di tempat (on the spot).
Ketua PHRI DI Yogyakarta Deddy Pranowo Eryono mengatakan, kondisi hotel-hotel di DIY belum bisa dikatakan pulih sepenuhnya. Sebab, Desember ini, manajemen hotel juga masih harus menanggung pajak dan utang di tengah masih terganggunya arus pemasukan lantaran terdampak pandemi.
”Hotel-hotel memang sudah mulai bangkit, tetapi belum baik-baik saja, karena Desember ini pengeluaran cukup banyak untuk membayar utang dan pajak,” katanya. Apalagi, selama pandemi, hotel-hotel tak boleh beroperasi 100 persen. Operasionalisasi kamar hotel yang diizinkan maksimal hanya 75 persen.
Di Manado, Sulawesi Utara, hotel-hotel memang sempat merasakan lonjakan hunian pada awal Desember 2021. Namun, itu lebih banyak dibantu oleh rapat-rapat atau konvensi yang digelar sejumlah lembaga pemerintahan dan swasta. Memasuki libur akhir tahun ini, kegiatan seperti itu sudah tidak ada.
General Manager Sintesa Peninsula Hotel Manado I Putu Anom Dharmaya mengatakan, okupansi hotel pada hingga akhir tahun ini pun diperkirakan hanya 46 persen. Tingkat keterisian ini turun cukup drastis dari rata-rata 65 persen selama tiga pekan pertama Desember.
Geliat kunjungan wisatawan di masa libur akhir tahun juga belum dirasakan di dua pulau destinasi wisata favorit Sulawesi, yaitu Pulau Togean, Sulawesi Tengah, dan Pulau Wakatobi, Sulawesi Tenggara.
Magat (46), salah seorang pengelola layanan wisata di Ampana, ibu kota Kabupaten Tojo Una-Una, Sulteng, mengatakan, dirinya belum menerima pesanan tamu untuk perayaan Tahun Baru.
Magat sempat mendapatkan pesanan dari sejumlah wisatawan, tetapi dibatalkan karena adanya larangan cuti untuk mencegah penularan varian baru virus pemicu Covid-19, Omicron. ”Kami tetap merana di masa libur akhir tahun ini,” ujarnya.
Di Wakatobi, kondisi serupa juga terlihat. Hingga akhir Desember ini, kunjungan wisatawan belum meningkat. Padahal, para pelaku usaha berharap pariwisata segera pulih untuk mendorong geliat ekonomi di wilayah ini.
Menurut Ketua PHRI Kabupaten Wakatobi Harbiadin Aenu, lesunya kondisi pariwisata di Wakatobi itu dipengaruhi sejumlah hal, mulai dari pengetatan mobilitas untuk mengurangi penyebaran Covid-19, cuaca yang memburuk beberapa pekan belakangan ini, hingga penerbangan yang tidak sesuai jadwal. Akibatnya, situasi saat ini tidak berbeda jauh dari tahun lalu. Kunjungan wisatawan anjlok nyaris 90 persen dibandingkan pada tahun 2019.
Di sisi lain, pada momen libur akhir tahun ini, pelaku wisata diharapkan telah tersertifikasi CHSE atau sertifikasi standar kebersihan, kesehatan, keselamatan, dan keberlanjutan lingkungan. Namun, menurut Maulana, masih banyak hotel yang belum mendapat sertifikasi itu.
Sejauh ini, CHSE baru diberikan kepada 10 persen dari total sekitar 30.000 hotel di seluruh Indonesia. ”Kuota untuk program (CHSE) hanya sekitar 15.000, dan itu pun untuk 13 sektor pariwisata, bukan hanya untuk hotel. Jadi, memang hanya sedikit kuotanya,” katanya.
Director of Operations Omega Hotel Management (OHM) Aswin Drajat mengatakan, semua hotel yang dikelola OHM telah tersertifikasi CHSE. Ada pula hotel baru yang akan dibuka masih dalam proses pengajuan sertifikasi CHSE. Adapun tamu yang akan menginap difasilitasi dengan desain nirsentuh, mulai dari pemesanan daring melalui aplikasi My Cordela, aplikasi Peduli Lindungi, hingga penerapan kode baca cepat untuk mengakses informasi di dalam hotel.
Sementara menurut Director of Brand and Marketing Ascott Indonesia Irene Janti, rata-rata jaringan Ascott telah tersertifikasi CHSE. Semua karyawan telah menerima vaksin Covid-19. Setiap tamu yang datang menginap diwajibkan mengisi formulir deklarasi kesehatan, selain wajib memindai kode baca cepat aplikasi Peduli Lindungi.
Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif Sandiaga Uno mengatakan, sepanjang 2020-2021 sudah ada 11.986 usaha pariwisata yang tersertifikasi CHSE. Dari jumlah itu, 3.665 unit merupakan usaha hotel dan 1.107 usaha pondok wisata (homestay).
Menurut dia, Standar Nasional Indonesia (SNI) CHSE akan menjadi standar utama penerapan pelayanan di sektor pariwisata. Penetapan SNI CHSE akan dilakukan oleh lembaga sertifikasi yang sudah terakreditasi. Jasa usaha pariwisata bisa mengajukan dengan biaya mandiri atau disediakan oleh pemerintah daerah dengan anggaran APBD.
Terkait dengan kebijakan yang memperbolehkan tempat wisata dikunjungi maksimal 75 persen dari kapasitas selama libur akhir tahun, Sandiaga mengatakan, pengawasannya akan dilakukan berlapis untuk mencegah potensi lonjakan kasus. ”Kami berharap pemantauan berlapis bisa mencegah lonjakan kasus seperti yang terjadi pertengahan tahun ini,” ujarnya.