Potensi energi terbarukan di Indonesia melimpah ruah. Memanfaatkannya tak cukup regulasi, tetapi perlu kesiapan sumber daya manusia, pendanaan, dan komitmen teguh terhadap energi bersih.
Oleh
M Paschalia Judith J
·4 menit baca
BPMI SETPRES/LAILY RACHEV
Presiden Joko Widodo dalam Konferensi Para Pihak (COP) tentang Iklim, Senin (1/11/2021), di Glasgow, Skotlandia. Dalam forum yang juga dikenal sebagai COP 26 itu, Presiden memaparkan capaian Indonesia pada pengendalian penyebab perubahan iklim. Presiden juga menggugat kontribusi global untuk upaya Indonesia menjaga hutannya.
Lepas sebulan dari Konferensi Para Pihak tentang Perubahan Iklim Ke-26 atau COP 26 di Glasgow, Skotlandia, energi bersih masih menanti tatanan untuk membuatnya berjalan, bahkan berlari kencang. Rancangan Undang-Undang Energi Baru dan Terbarukan atau RUU EBT digadang-gadang dapat menyokong daya saing energi bersih. Namun, apakah itu cukup?
Pasal 3 RUU EBT menyebutkan, EBT menjadi modal pembangunan berkelanjutan yang mendukung perekonomian nasional serta mengembangkan dan memperkuat posisi industri dan perdagangan Indonesia. Bakal regulasi ini juga akan menjamin efektivitas pelaksanaan dan pengendalian kegiatan usaha pengelolaan dan pemanfaatan EBT yang berdaya saing tinggi, berdaya guna, dan berhasil guna melalui mekanisme yang terbuka dan transparan.
Anggota Komisi VII DPR sekaligus Ketua Kaukus Ekonomi Hijau DPR Mercy Chriesty Barends mengatakan, parlemen tengah menggeser pola pikir demi menunjukkan keberpihakan pada energi bersih. ”Kami akan mendorong RUU EBT dengan memperhatikan keadilan energi untuk semua orang,” katanya dalam acara ”Energy Talks” yang diadakan Perhimpunan Pelajar Indonesia Greater Glasgow pada awal November 2021.
Salah satu wujud keberpihakan legislatif, lanjutnya, tertuang pada kemudahan perizinan penyelenggaraan EBT untuk mempercepat aliran modal. Berdasarkan fakta yang dihimpun, dia menyebutkan, proyek kelistrikan di Indonesia membutuhkan lebih dari 100 izin, sedangkan di Singapura dan Malaysia hanya beberapa izin saja. Dampaknya, iklim investasi untuk EBT di Indonesia dianggap tidak menarik.
Dalam RUU EBT juga disebutkan bahwa pemerintah pusat dan daerah memberikan kemudahan perizinan dalam pengelolaan EBT yang meliputi prosedur, jangka waktu, dan biaya. Adapun syarat untuk memperoleh izin pengusahaan EBT minimal terdiri dari izin lingkungan, studi kelayakan, dan tanggung jawab sosial perusahaan.
Dalam RUU EBT juga disebutkan bahwa pemerintah pusat dan daerah memberikan kemudahan perizinan dalam pengelolaan EBT yang meliputi prosedur, jangka waktu, dan biaya.
Mercy juga menggarisbawahi RUU EBT menjadi payung hukum untuk aliran pendanaan. Menurut dia, perlu ada mekanisme transfer dana hijau dari pemerintah pusat hingga ke daerah, bahkan langsung ke desa, demi mendukung transisi energi hijau. Dana EBT, seperti yang disinggung dalam RUU tersebut, dapat bersumber dari APBN, APBD, dan hibah. Menurut Mercy, perlu ada pengembalian pendapatan negara untuk memperkuat transisi energi. Selain itu, dana hasil perdagangan karbon juga patut dialokasikan untuk transisi.
Mercy menambahkan, perumusan tarif listrik yang dihasilkan oleh pembangkit EBT juga perlu dikaji. ”Tarif listrik perlu mempertimbangkan lokasi pembangkit, teknologi yang digunakan, hingga pemanfaatan model hybrid dalam pembangkit. Perumusan ini juga berkaitan dengan mekanisme tender,” ujarnya.
Sementara itu, dari sisi sumber daya manusia (SDM), Co-founder The Indonesian Energy & Environmental Institute Satya Hangga mengatakan, perlu ada kolaborasi dengan penduduk dan komunitas setempat di tingkat daerah, terutama yang tergolong terdepan, terluar, dan tertinggal (3T), dalam menyinergikan EBT dengan budaya lokal. ”Akademisi yang memiliki kesadaran terhadap pentingnya EBT perlu terlibat. Hal ini mengingat kelompok masyarakat di daerah 3T mungkin belum memiliki kesadaran terhadap EBT karena masih fokus memenuhi kebutuhan primernya,” katanya dalam kesempatan yang sama.
Anggota Dewan Energi Nasional Satya Widya Yudha menambahkan, pembangunan kapasitas SDM, terutama menyambut bonus demografi, berperan strategis dalam mencapai emisi karbon nol bersih. Pembangunan SDM berdampak pada peningkatan total faktor kapasitas yang dapat memajukan manufaktur ke arah target tersebut.
Data Kementerian ESDM menyebutkan, potensi energi terbarukan di Indonesia lebih dari 400 gigawat (GW). Potensi terbesar ada di tenaga surya yang sekitar 200 GW, sedangkan tenaga air mencapai 75 GW. Dari semua potensi sumber energi terbarukan yang ada, pemanfaatannya diperkirakan 11,3 GW sampai akhir 2021.
Di sisi lain, total emisi dari sektor energi pada 2020 sekitar 580 juta ton karbon dioksida (CO2) ekuivalen. Berdasarkan skenario yang disusun, jumlah emisi akan meningkat hingga 695 juta ton CO2 ekuivalen ketika mendekati 2030 dan memuncak di posisi 706 juta ton CO2 ekuivalen pada 2039. Emisi akan menurun pada 2040 seiring dengan selesainya kontrak pembangkit fosil dan diharapkan menjadi nol pada 2060.
Indonesia membutuhkan pembenahan ekosistem untuk mendongkrak transisi ke energi bersih.
Pembenahan ekosistem
Sementara itu, Energy Finance Analyst Institute for Energy Economics and Financial Analysis Elrika Hamdi menggarisbawahi, Indonesia membutuhkan pembenahan ekosistem untuk mendongkrak transisi ke energi bersih. ”Kehadiran RUU EBT masih menjadi perdebatan karena pengutamaan energi baru sudah tertera dalam UU Ketenagalistrikan dan UU Energi. Dengan demikian, pengembangan energi terbarukan membutuhkan aturan turunan yang konsisten, seperti peraturan pemerintah,” ujarnya saat dihubungi, Selasa (14/12/2021).
KOMPAS/IWAN SETIYAWAN
Seekor bunglon hinggap di depan pipa penyalur uap panas bumi untuk Pembangkit Listrik Tenaga Panas Bumi (PLTP) Kamojang di Kabupaten Bandung,Kamis (30/9/2021). Dari tiga unit PLTP yang dikelola PT Indonesia Power ini mampu menghasilkan listrik 140 MW yang memasok jaringan listrik interkoneksi Jawa, Bali, dan Madura. PLTP pertama di Indonesia yang beroperasi sejak 1982 ini menjadi contoh pemanfaatan sumber energi baru dan terbarukan.
Tak hanya regulasi teknis yang konsisten, Elrika juga menyoroti pengadaan pembangkit oleh PT Perusahaan Listrik Negara (Persero). Untuk menguatkan ekosistem pengembangan energi terbarukan, PLN mesti menguatkan kapasitas dalam pengadaan pembangkit, salah satunya dari segi keuangan dan kontrak. Tanpa adanya pengadaan yang transparan dan berkesinambungan oleh PLN, pemain industri pembangkit energi bersih yang kompetitif serta investor hijau yang kompeten sulit masuk ke Indonesia.
Pembenahan ekosistem energi terbarukan, lanjut Elrika, juga patut memperhatikan pemain pembangkit skala kecil. ”Pembangkit skala kecil biasanya belum tergolong bankable sehingga menyulitkan mereka dalam proses credit scoring. Oleh sebab itu, mereka membutuhkan akses pembiayaan,” kata Elrika.
Penguatan pemanfaatan energi bersih tak cukup hanya mengandalkan RUU EBT, tetapi juga aturan teknis pendukung yang memberikan kepastian berusaha, SDM berkualitas, modal, dan badan usaha pelat merah yang berdaya. Aspek-aspek itu membutuhkan aksi konkret, bukan sekadar janji manis.