Royalti atas Praktik Penggandaan Buku Pendidikan Akan Diatur Lebih Tegas
Pemerintah akan mengatur lebih tegas pemungutan royalti atas praktik penggandaan karya literasi/buku. Menghargai pengetahuan semestinya diikuti sikap menghargai pencipta ataupun pemegang hak cipta karya..
Oleh
Mediana
·5 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Pemerintah kini tengah menyelesaikan rancangan Peraturan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia atau Menkumham terkait dengan royalti karya literasi atau buku. Rancangan peraturan ini bertujuan mempertegas pengelolaan royalti karya literasi atau buku yang sudah tercantum di Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2014. Salah satu substansi yang disasar dalam peraturan Menkumham itu adalah royalti untuk praktik penggandaan buku pendidikan.
Pada Pasal 44 Ayat (1) Undang-Undang (UU) Nomor 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta disebutkan, penggunaan, pengambilan, penggandaan, ataupun pengubahan suatu ciptaan atau produk hak terkait secara seluruh atau sebagian yang substansial tidak dianggap sebagai pelanggaran hak cipta asalkan sumbernya disebutkan atau dicantumkan secara lengkap. Ini salah satunya untuk keperluan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik atau tinjauan suatu masalah dengan tidak merugikan kepentingan yang wajar dari pencipta atau pemegang hak cipta.
Namun, Direktur Hak Cipta dan Desain Industri Direktorat Jenderal Kekayaan Hak Intelektual Kemkumham Syarifuddin saat dihubungi hari Jumat (24/12/2021), di Jakarta, menyatakan masih ada yang salah menafsirkan dengan selalu memperbolehkan duplikasi ataupun penggandaan buku untuk kepentingan pendidikan. Padahal, ketika terjadi praktik penggandaan lebih dari satu buku, itu harus diatur.
”Pelanggaran hak cipta yang marak terjadi mencakup pula praktik mencetak, fotokopi/penyalinan, reprografik, memindai, dan mengunggahnya di internet. Praktik-praktik ini semakin menambah deretan kurangnya penghargaan terhadap hak cipta karya literasi/buku,” ujar Syarifuddin.
Mengutip Pasal 46 UU No 28/2014, penggandaan untuk kepentingan pribadi hanya dapat dibuat sebanyak satu salinan dan dapat dilakukan tanpa izin pencipta atau pemegang hak cipta. Penggandaan untuk kepentingan pribadi tersebut tidak mencakup, antara lain, semua atau bagian yang substansial dari suatu buku atau notasi musik, basis data dalam bentuk digital, serta program komputer.
Pelanggaran hak cipta yang marak terjadi mencakup pula praktik mencetak, fotokopi/penyalinan, reprografik, memindai, dan mengunggahnya di internet. Praktik-praktik ini semakin menambah deretan kurangnya penghargaan terhadap hak cipta karya literasi/buku.
”Kami membuat dasar hukumnya yang berupa rancangan peraturan Menkumham. Detail mengenai royalti biasanya berdasarkan perjanjian penerbit dan penulis. Mekanisme penarikan dan penyaluran royalti nanti akan diurus oleh LMK,” kata Syarifuddin.
Ketua Umum Ikatan Penerbit Indonesia (Ikapi) Arys Hilman menyebutkan ada dua persoalan perbukuan yang sekarang dihadapi Indonesia. Pertama, persoalan pembajakan (buku utuh) yang hasilnya dijual dalam bentuk buku dan dibuat mirip buku aslinya. Persoalan kedua ialah penggandaan. Konten buku difotokopi, dipindai, dan dipakai. Ini biasanya terjadi di kampus-kampus.
Keberadaan LMK, kata dia, membuat hak ekonomi pencipta terjamin. Kampus membayar royalti atas beredarnya hasil penggandaan tersebut. Praktik fotokopi yang dilakukan pengusaha di dalam ataupun sekitar kampus menyertakan komponen hak cipta dalam harga setiap lembar kopian. Lalu, LMK akan menyalurkan ke pemegang hak cipta.
”Ketentuan seperti itu tidak hanya akan berlaku nasional. Kampus atau institusi di luar negeri pun harus bayar royalti untuk setiap lembar naskah buku yang mereka gandakan dari Indonesia. Mekanisme pemungutan royalti melalui LMK sesama anggota IFFRO (Federation of Reproduction Rights Organisations),” ujar Arys.
Ketua Perkumpulan Reproduksi Cipta Indonesia (PRCI) Kartini Nurdin mengatakan, pemungutan royalti atas praktik penggandaan karya literasi/buku sebenarnya sudah lama disuarakan. Undang-Undang (UU) Nomor 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta baru secara tegas disebut peran LMK. Pada Pasal 1 Ayat 22 UU No 28/2014, LMK merupakan institusi yang berbentuk badan hukum nirlaba yang diberi kuasa oleh pencipta, pemegang hak cipta, ataupun pemilik hak terkait guna mengelola hak ekonominya dalam bentuk menghimpun dan mendistribusikan royalti. PCRI sebagai satu-satunya LMK buku di Indonesia baru berdiri tahun 2016.
”LMK karya literasi/buku merupakan mediator antara penulis, penerbit, dan pengguna-pengguna buku, termasuk institusi pendidikan tinggi dan lembaga riset. Walaupun (pungutan royalti) murah, masih banyak praktik penggandaan tidak patuh ketentuan bayar royalti. Dasar hukum pemungutan royalti atas praktik penggandaan belum jelas,” ujar Kartini menjelaskan dukungan PRCI terhadap rancangan peraturan Menkumham terkait dengan royalti buku.
Selain karya literasi/buku terkait pelajaran dan buku pendukungnya, dia menyebut rancangan peraturan Menkumham terkait royalti buku juga akan menyasar ke praktik penggandaan untuk komersial secara umum. Dia lantas mencontohkan, di perpustakaan biasanya melayani fotokopi karya literasi/buku bagi pengunjung. Permintaan jasa penggandaan seperti itu biasanya kan memungut bayaran kepada pengunjung.
Selain karya literasi/buku terkait pelajaran dan buku pendukungnya, dia menyebut rancangan peraturan Menkumham terkait royalti buku juga akan menyasar ke praktik penggandaan untuk komersial secara umum.
Besaran standar royalti penerbit di Indonesia adalah sekitar 10 persen dari harga jual eceran (bruto) per bukunya. Ada juga penerbit yang menetapkan lima dan tujuh persen dari harga eceran per buku.
”Kalau setiap hari ada penggandaan karya literasi/buku di layanan jasa fotokopi, royalti yang tidak terbayarkan besar. Lama-lama rugi. Tidak fair," ujar Kartini. Dia berharap awal tahun 2022 peraturan Menkumham terkait dengan royalti buku sudah bisa dikeluarkan.
Secara terpisah, Ketua Umum Perkumpulan Literasi Indonesia Wien Muldian mengatakan, di negara lain, institusi pendidikan sudah terbiasa membeli buku pelajaran dan buku pendukungnya atau buku pendidikan sekaligus dengan izin penggandaan. Sistem ini dipatuhi oleh institusi pendidikan. Sementara di Indonesia, dia mengamati ekosistem rantai pendistribusian seperti itu belum terbangun jelas.
Kesadaran kolektif terhadap penghargaan hak cipta buku di Indonesia pun masih lemah. Dalam konteks buku pendidikan, sektor ini telah berkembang menjadi bisnis yang punya perputaran ekonomi yang besar.
”Menghargai pengetahuan semestinya diikuti sikap menghargai pencipta ataupun pemegang hak cipta karya. Menghargai dan mengapresiasi karya dilakukan dengan berkontribusi ekonomi (bayar royalti),” ujarnya.
Menghargai pengetahuan semestinya diikuti sikap menghargai pencipta ataupun pemegang hak cipta karya. Menghargai dan mengapresiasi karya dilakukan dengan berkontribusi ekonomi (bayar royalti),
Ketika kesadaran itu sudah tumbuh, pengguna karya literasi atau buku akan terbiasa bayar royalti. Rantai distribusi penggandaan, seperti berbasis layanan fotokopi, diperkirakan bisa terkikis. Apalagi, kini telah berkembang pesat teknologi digital.
Menurut Wien, dalam proses perumusan peraturan Menkumham terkait dengan royalti buku yang masih dibahas perlu menegaskan apresiasi terhadap pencipta ataupun pemegang hak cipta karya literasi/buku. Ekosistem industri buku juga harus dimatangkan. Misalnya, basis data (database) buku secara daring. Basis data ini penting sebagai dasar penegakkan royalti buku. LMK juga mesti memunyai satu rekening yang dipakai menampung transaksi royalti atas penggandaan karya literasi/buku.