Keadilan Iklim! Sekarang!
Pada 2021, risiko lingkungan yang berkaitan dengan perubahan iklim semakin nyaring disuarakan di tengah diskusi-diskusi isu perekonomian.

Suasana unjuk rasa bertajuk ”Fridays for Future” pada 5 November 2021 yang diikuti sekitar 10.000 orang di George Square, Glasgow, Skotlandia. Aksi menyerukan kegelisahan terhadap perubahan iklim.
”Apa yang kita inginkan?” ”Keadilan iklim!”
”Kapan kita menginginkannya?” ”Sekarang!”
Sahut-sahutan yang menggema saat unjuk rasa iklim November lalu masih terngiang. Gaung itu akan kian riuh seiring melebarnya ketimpangan yang timbul akibat perubahan iklim. Untuk menegakkan keadilan iklim dibutuhkan terobosan ekonomi lestari.
Di tengah penyelenggaraan Konferensi Tingkat Tinggi Ke-26 tentang Perubahan Iklim atau COP 26, komunitas sipil menggelar dua unjuk rasa iklim. Pawai iklim pertama bertema ”Fridays for Future” pada 5 November 2021 diikuti sekitar 10.000 orang. Pawai pada hari berikutnya bertajuk ”Global Day of Action for Climate Justice”. Diperkirakan sekitar 50.000 orang berpartisipasi pada pawai kedua tersebut.
Kedua pawai bertolak dari Kelvingrove Park, sekitar 1,6 kilometer dari tempat COP 26 berlangsung. Massa berjalan sejauh kira-kira 2,5 km ke George Square pada hari pertama dan 4,3 km ke Glasgow Green. Dua titik tujuan itu berada di pusat kota Glasgow, Skotlandia.
Tidak hanya melalui teriakan, papan-papan yang dipegang massa aksi turut menyerukan keadilan iklim. Warga senior, muda, hingga anak-anak pun turut berjalan dalam pawai menuntut aksi konkret untuk mengatasi tantangan bersama itu.

Aktivis iklim asal Swedia, Greta Thurnberg (kanan), tiba di Stasiun Pusat Glasgow, Skotlandia, Inggris Raya, Sabtu (30/10/2021), menjelang Konferensi Perubahan Iklim PBB COP26 yang digelar di kota itu.
Di atas panggung yang menghadap Glasgow City Chambers, aktivis muda dari Swedia, Greta Thunberg, berorasi di hadapan massa yang berkumpul di George Square. ”Masyarakat dan daerah yang paling terdampak (krisis iklim) masih tidak terdengar. Krisis terjadi ketika sekelompok orang berpikir lebih dibandingkan dngan yang lain dan seolah-olah berhak mengeksploitasi kelompok lain serta mengambil secara sepihak tanah dan sumber daya mereka,” serunya.
Dia juga menyatakan, suara generasi masa depan tenggelam di tengah klaim-klaim ramah lingkungan alias greenwashing. Padahal, untuk bertahan di bawah target peningkatan temperatur bumi yang disepakati dalam Perjanjian Paris beserta menekan risikonya, dunia membutuhkan segera penurunan emisi tahunan secara drastis.

Suasana peserta unjuk rasa bertajuk ”Fridays for Future” pada 5 November 2021 yang mendengarkan orasi aktivis Swedia, Greta Thurnberg, di atas panggung di George Square, Glasgow, Skotlandia. Aksi menyerukan kegelisahan terhadap perubahan iklim.
Keadilan iklim yang membuat bumi dan keanekaragaman di dalamnya langgeng untuk generasi-generasi yang akan datang juga menggema dari anak diaspora yang berusia belum genap 10 tahun di antara para pengunjuk rasa. ”Perubahan iklim penting untuk menjadi perhatian. Jika tidak ada aksi dari sekarang, ketika saya memiliki cucu, mereka akan bertanya ’Apa (hewan) ini? Apa itu?’. Tidak adil rasanya kalau cucu saya nanti tidak bisa melihat hewan-hewan yang hidup pada saat ini,” kata Yasha (8) saat ditemui setelah unjuk rasa pada hari kedua.
Bagi Isabella Purba, ibu dari Yasha sekaligus pelajar Indonesia di Glasgow, partisipasi dalam unjuk rasa tersebut merupakan wujud tanggung jawabnya sebagai orangtua dalam mengatasi dampak perubahan iklim. Dia tidak ingin generasi anaknya ikut terbebani oleh risiko pemanasan global yang tengah terjadi.
Matthew Everson (25), mahasiswa strata-II (S-2) program studi Earth Futures di University of Glasgow asal Afrika Selatan juga mengikuti unjuk rasa pada hari kedua. ”Konsep keadilan iklim sangat dekat dengan hati saya sebagai masyarakat global selatan yang memiliki sejarah eksploitasi dan diskriminasi. Kami saat ini menghadapi isu krisis air di sejumlah area dan banjir di wilayah lainnya,” katanya.
Dia menilai, keadilan iklim sebagai fondasi diplomasi dan kebijakan iklim akan menjadi kunci mencapai target mengenai pemanasan global. Tanpa keadilan iklim, target-target itu menjelma menjadi imajinasi yang gelap. Dunia juga berpotensi dipenuhi oleh pengungsi iklim.
Albert Ghana Pratama, mahasiswa S-2 Media Management di University of Glasgow asal Indonesia, juga merasakan dampak perubahan iklim di lingkungan suku asalnya, Dayak, di Kalimantan. ”Ada banjir, kebakaran hutan, hingga pergeseran musim buah dan waktu panen yang memengaruhi pola pangan dan mobilitas. Hal ini membuatku datang ke George Square. Aku terharu mendengarkan sejumlah pidato karena merasakan hal yang sama. Orang Filipina, Brasil, dan Meksiko ternyata punya masalah yang sama denganku,” ujarnya.

Suasana unjuk rasa bertajuk ”Global Day of Action for Climate Justice” yang diikuti sekitar 50.000 orang pada 6 November 2021. Titik akhir unjuk rasa berada di Glasgow Green, Glasgow, Skotlandia. Aksi menyerukan kegelisahan terhadap perubahan iklim.
Risiko global
Pada 2021, risiko lingkungan yang berkaitan dengan perubahan iklim kian nyaring bunyinya di tengah diskusi perekonomian. Laporan The Global Risks Report 2021 yang dipublikasikan World Economic Forum (WEF) menunjukkan, risiko dunia teratas berdasarkan kemungkinan terjadi didominansi oleh isu lingkungan. Cuaca ekstrem menempati ranking pertama dan disusul oleh kegagalan aksi iklim, kerusakan lingkungan manusia, penyakit menular dari isu kesehatan, dan hilangnya keanekaragaman hayati.
Survey itu melibatkan 841 responden dari wilayah Eropa, Amerika bagian utara, Amerika Latin dan Karibia, Afrika Subsahara, Timur Tengah, dan Afrika bagian utara, Asia bagian timur dan Pasifik, serta Asia bagian selatan. Mayoritas responden berasal dari kelompok pebisnis, akademis, dan pemerintah.
Cuaca ekstrem menempati ranking pertama dan disusul oleh kegagalan aksi iklim, kerusakan lingkungan manusia, penyakit menular dari isu kesehatan, dan hilangnya keanekaragaman hayati.
Hasil survey tersebut berlanjut dari tahun sebelumnya. Laporan The Global Risks Report 2020 menyatakan, lima besar risiko global berasal dari isu lingkungan. Cuaca ekstrem duduk di posisi teratas, kemudian dilanjutkan oleh kegagalan aksi iklim, bencana alam, hilangnya keanekaragaman hayati, dan bencana lingkungan akibat manusia. Pola dominasi risiko tersebut merupakan yang pertama sejak paling tidak 10 tahun terakhir.
Baca juga:
Dari sisi makro, laporan WEF itu menggarisbawahi total tekanan ekonomi dan kerusakan akibat bencana alam yang dialami dunia bernilai 165 miliar dollar AS pada 2018 dan sebanyak 50 persen di antaranya tidak diasuransikan. Apabila tidak ada aksi untuk mengatasinya, perubahan iklim diperkirakan membebani perekonomian dunia sekitar 1 triliun dollar AS.
Dalam menghadapi perubahan iklim, negara-negara di dunia menghadapi dampak yang tidak merata. Laporan WEF menyebutkan, negara-negara maju akan menghadapi biaya ekonomi yang tinggi. Di sisi lain, negara-negara berkembang dan miskin akan mengalami biaya akibat paparan risiko perubahan iklim hingga kematian.

Menyadari risiko yang nyata di depan mata, pelaku bisnis tak duduk diam. Laporan berjudul Consultation: Nature and Net Zero yang dipublikasikan McKinsey dan WEF pada 2021 menyebutkan, sejumlah perusahaan memasang target emisi nol bersih dan mendorong strategi rendah karbon. Pelaku bisnis menyoroti sejumlah risiko iklim, seperti cuaca ekstrem yang dapat mengganggu rantai pasok. Selain itu, konsumen dan investor menuntut praktik usaha yang lebih hijau.
Salah satu jalan keluar yang ditempuh pelaku industri ialah melalui solusi iklim alami (natural climate solutions), yakni di sektor pertanian serta kehutanan dan tata guna lahan. Laporan McKinsey dan WEF itu menunjukkan, proporsi kredit karbon untuk solusi iklim alami pada 2010 sebesar 5 persen dan meningkat secara bertahap hingga mencapai 40 persen pada 2020.
Pelaku bisnis menyoroti sejumlah risiko iklim, seperti cuaca ekstrem yang dapat mengganggu rantai pasok. Selain itu, konsumen dan investor menuntut praktik usaha yang lebih hijau.
Negara-negara yang potensial menjadi sasaran solusi tersebut tersebar mayoritas di dunia bagian selatan dengan jumlah biaya yang tidak seragam. Laporan yang sama mencatat, pencegahan deforestasi di Indonesia dan Brasil berpotensi mengurangi emisi karbon yang besar, tetapi membutuhkan biaya yang tinggi, yakni sekitar 30 dollar AS per ton karbon dioksida. Biaya tersebut disebabkan oleh efisiensi lahan demi menekan deforestasi.
Demi mencapai keadilan iklim, kemanusiaan dan kelestarian lingkungan hidup semestinya berada di nomor satu, bukan persoalan dana. Hingga dapat mengejawantah, seruan keadilan iklim akan terus menyeruak dan memecah relung roda ekonomi dunia.