Properti Menyambut Dinamika dan Tantangan 2022
Geliat properti masih akan menghadapi tantangan pada tahun 2022. Hal itu antara lain terkait dengan regulasi dan kondisi pasar.
Pandemi Covid-19 yang telah berlangsung hampir dua tahun membawa perubahan besar bagi industri properti. Di pengujung 2021, pasar properti bergerak kian dinamis. Namun, pemulihan di 2022 masih menghadapi tantangan.
Industri properti di Indonesia yang melambat sejak 2015 semula diprediksi bangkit tahun 2020. Belum sempat mengecap kebangkitan, pandemi Covid-19 yang menghantam perekonomian di awal tahun 2020 membuat industri properti nyaris babak belur. Sejumlah kebijakan relaksasi yang diberikan pemerintah bagi sektor properti mampu membantu pengembang untuk bertahan dan bangkit dari masa sulit.
Pada tahun 2020, sektor properti memberikan kontribusi 13,6 persen terhadap produk domestik bruto (PDB). Sejumlah kalangan optimistis properti akan kembali bangkit di tahun 2022, sejalan dengan pemulihan ekonomi dan membaiknya pasar komoditas. Namun, tahap pemulihan memerlukan konsolidasi di tengah kondisi yang masih belum pasti.
Subsektor properti yang masih akan menghadapi tantangan besar adalah perkantoran. Di masa pandemi, kekosongan ruang perkantoran meningkat akibat tertahannya ekspansi bisnis. Apalagi, sejumlah perusahaan menerapkan pola bekerja dari rumah (WFH). Pengembang tidak lagi jor-joran membangun perkantoran, dan penyelesaian konstruksi beberapa gedung mengalami pengunduran.
Sejumlah kalangan optimistis properti akan kembali bangkit di tahun 2022, sejalan dengan pemulihan ekonomi dan membaiknya pasar komoditas. Namun, tahap pemulihan memerlukan konsolidasi di tengah kondisi yang masih belum pasti.
Menurut Senior Associate Director Research Colliers Indonesia Ferry Salanto, kondisi pasar perkantoran masih akan menantang di 2022. Di pengujung 2021, sebenarnya sejumlah perusahaan mulai mencari ruang sewa kantor dan ekspansi bisnis. Persoalannya, suplai baru perkantoran pada tahun 2022 diprediksi mencapai 435.000 m2, lebih tinggi dibandingkan tahun 2020 dan 2021, akibat penyelesaian konstruksi gedung yang tertunda. Sebanyak 78 persen pasokan baru itu ada di CBD.
”Meski permintaan ruang sewa kantor mulai bergeliat, suplai baru perkantoran yang masuk di tahun 2022 jauh lebih banyak. Penyerapan ruang perkantoran akan semakin tertekan,” kata Ferry, saat dihubungi di Jakarta, Selasa (21/12/2021).
Baca juga: Investor Properti Semakin Selektif
Besarnya stok diperkirakan menekan tarif sewa ruang kantor. Dengan kondisi yang masih menantang itu, subsektor perkantoran diprediksi baru mulai bangkit tahun 2023, dengan tidak adanya pasokan baru ruang perkantoran pada 2023-2024.
Sebaliknya, beberapa subsektor lain diprediksi bangkit lebih cepat, seperti pusat perbelanjaan, perhotelan, dan kawasan pariwisata yang sempat terpukul di masa pandemi. Melandainya kasus Covid-19 dan pelonggaran pemberlakuan pembatasan kegiatan masyarakat (PPKM) berdampak pada meningkatnya perjalanan wisata, keterisian hotel dan kunjungan mal. Hal ini diprediksi berlanjut di tahun 2022. ”Tentunya, dengan persyaratan perekonomian terus membaik dan tidak ada gelombang baru pandemi,” kata Ferry.
Pasar perumahan tapak yang menopang properti di masa pandemi diperkirakan makin bergairah. Sejumlah insentif yang digulirkan tahun ini, seperti Pajak Pertambahan Nilai yang Ditanggung Pemerintah (PPN DTP) sebesar 100 persen untuk rumah dengan harga sampai Rp 2 miliar serta PPN DTP 50 persen untuk harga di atas Rp 2 miliar hingga Rp 5 miliar, pelonggaran rasio pinjaman terhadap nilai (LTV) rumah yang dibeli, dan bunga kredit pemilikan rumah yang rendah mampu mendorong pasar perumahan tetap tumbuh, baik rumah di segmen menengah bawah maupun menengah ke atas.
Dari Survei Indonesia Properti Watch untuk pasar perumahan di Jakarta, Bogor, Depok, Bekasi, dan Banten, pertumbuhan pasar selama triwulan III (Juli-September) tahun ini didominasi segmen menengah ke atas dengan harga di atas Rp 1 miliar. Salah satu penggeraknya adalah stimulus PPN DTP.
CEO dan pendiri Indonesia Property Watch (IPW), Ali Tranghanda, mengemukakan, investasi rumah kembali bergeliat. Penjualan rumah seharga di atas Rp 2 miliar tumbuh 89,9 persen, diikuti rumah seharga Rp 1 miliar-Rp 2 miliar yang tumbuh 35,3 persen. Adapun segmen menengah bawah untuk harga Rp 300 juta-Rp 500 juta tumbuh 20,5 persen.
Namun, perlambatan pasar terjadi di segmen menengah dengan harga Rp 500 juta-Rp 1 miliar yang hanya tumbuh 2,5 persen. Segmen rumah nonsubsidi dengan harga di bawah Rp 300 juta bahkan turun 15,7 persen. Pandemi yang berkepanjangan dinilai telah menggerus daya beli masyarakat segmen menengah ke bawah.
Tren pemulihan ekonomi yang diprediksi berlanjut pada 2022 diharapkan meningkatkan daya beli masyarakat, mengingat kebutuhan rumah untuk tempat tinggal (end user) selalu ada. Apalagi, tingkat kekurangan rumah, menurut Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat, mencapai 7,6 juta unit.
Perlu diwaspadai
Ali mengingatkan, pertumbuhan pasar menengah ke atas lebih banyak ditopang oleh insentif pajak pemerintah. Tahun depan, belum ada kepastian kebijakan PPN DTP akan berlanjut. Di sisi lain, pemerintah berencana menaikkan PPN menjadi 11 persen mulai 1 April 2022, serta kenaikan batas atas tarif Pajak Bumi dan Bangunan Perkotaan dan Perdesaan (PBB P2) yang sebelumnya 0,3 persen menjadi 0,5 persen. Penyesuaian suku bunga kredit juga diperkirakan akan dilakukan tahun depan.
Baca juga: Insentif Menopang Bisnis Properti
Kebijakan pemerintah terkait fiskal yang akan digulirkan tahun depan diharapkan tidak kontraproduktif dengan kondisi pasar perumahan yang masih berjuang untuk pulih. Pemberian PPN DTP diharapkan dapat berlanjut tahun 2022 hingga akselerasi dan pemulihan pasar terjadi.
”Perlu diwaspadai jika stimulus tidak berlanjut di tahun depan, pasar menengah ke atas berpotensi melemah dan bergeser ke segmen menengah ke bawah. Namun, jika daya beli segmen menengah ke bawah belum siap, dampaknya pasar perumahan kembali tertekan,” katanya.
Tantangan lain, harga rumah subsidi berpotensi naik karena penyesuaian kenaikan harga material dan lahan untuk pembangunan rumah. REI dan Kementerian PUPR telah sepakat menaikkan harga jual sebesar 7 persen untuk rumah bersubsidi bagi masyarakat berpenghasilan rendah (MBR). Kini tinggal menunggu persetujuan Kementerian Keuangan.
Tantangan lain, harga rumah subsidi berpotensi naik karena penyesuaian kenaikan harga material dan lahan untuk pembangunan rumah.
Wakil Ketua Dewan Pengurus Pusat Real Estat Indonesia (DPP REI) bidang Perumahan Menengah dan Besar Theresia Rustandi mengemukakan, penjualan rumah di era pandemi menghadapi tantangan luar biasa, di samping keunikan tersendiri sejalan dengan perubahan besar dalam pola pemasaran. REI saat ini berkontribusi terhadap 53 persen pasokan rumah komersial dan 46 persen pasokan rumah bersubsidi.
Dari data sistem informasi tentang pengembang perumahan (sikumbang) Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat, hingga awal Desember 2021, stok rumah bersubsidi 488.000 unit dan stok rumah komersial 72.000 unit.
”Jumlah stok rumah itu menjadi kesempatan sekaligus tantangan bagi pengembang bagaimana melakukan penjualan maksimal terhadap stok yang dimiliki,” kata Theresia.
DPP REI sudah menyampaikan permohonan kepada pemerintah untuk memperpanjang insentif PPN DTP sampai akhir tahun 2022 guna mendorong pemulihan sektor properti. Momentum pemulihan pasar properti akan menggerakkan sektor konstruksi dan 175 industri yang terlibat di properti, seperti semen, besi, cat, dan lantai, yang konten lokalnya tinggi.
”(Usulan perpanjangan PPDNTP) ini juga terkait dengan proses bisnis properti yang memakan waktu 1 tahun, mulai dari perencanaan, pembangunan dan serah terima ke konsumen. Kami harapkan ini efektif mendorong pemulihan jika pemerintah berkenan memperpanjang insentif PPNDTP sampai akhir 2022,” ujarnya dalam diskusi ”Strategi Lampaui Target Penjualan di Era Baru Properti”, yang diselenggarakan Lamudi Global, pekan lalu.
Hal senada dikemukakan Ferry. Pemulihan pasar properti seperti sebelum pandemi masih perlu waktu untuk konsolidasi. Stok perumahan dan perkantoran saat ini berlebih. Penyerapan apartemen baru belum seimbang dan masih diwarnai ketidakpastian.
”Ada beberapa sektor yang bangkit lebih cepat dan menunjukkan performa lebih baik dibandingkan tahun lalu. Namun, kondisi sektor properti secara umum masih menantang. Kita belum bisa terlalu optimistis, sampai kondisi pasar lebih stabil,” kata Ferry.