Pengendalian Pandemi Covid-19 Jadi Harapan UMKM untuk Pulih
Pembatasan sosial karena pandemi Covid-19 memukul bisnis yang dimiliki oleh pelaku usaha mikro, kecil, dan menengah. Mereka pernah berhenti menjalankan usaha dan menjual aset untuk bertahan hidup.
Oleh
Mediana
·5 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Pelaku usaha mikro, kecil, dan menengah atau UMKM menjadi sektor paling terpukul selama pandemi Covid-19. Mereka berharap lekas pulih dan kembali bangkit jika pemerintah bisa pengendalian pandemi Covid-19 dan punya kebijakan yang mendukung kelangsungan usaha.
Berdasarkan laporan riset Indeks UMKM Triwulan III-2021 yang dirilis oleh BRI Research Institute (Oktober 2021), Indeks Bisnis UMKM di Indonesia 95,3. Pada triwulan sebelumnya, Indeks Bisnis UMKM di Indonesia 102,6. Skor indeks bisnis kurang dari 100, berarti ada penurunan aktivitas usaha atau omzet pelaku UMKM.
Indeks Bisnis UMKM yang dikeluarkan oleh BRI Research Institute setiap triwulan ini menilai aktivitas pelaku UMKM, baik dari sisi aktivitas bisnis yang sedang terjadi (Indeks Bisnis UMKM) maupun ekspektasi aktivitas bisnis mereka tiga bulan mendatang (Ekspektasi Indeks Bisnis UMKM).
Direktur Riset BRI Research Institute Anton Hendranata mengatakan, penurunan skor Indeks Bisnis UMKM pada triwulan III-2021 dibanding triwulan sebelumnya disebabkan beberapa hal. Faktor pertama adalah meningkatnya kasus penularan infeksi Covid-19 varian Delta sejak pertengahan Juni 2021. Kedua, pemberlakuan pembatasan kegiatan masyarakat (PPKM) mikro darurat menyebabkan aktivitas usaha/omzet menurun. Menurunnya omzet usaha menyebabkan indikator kegiatan usaha lainnya, seperti pemesanan, persediaan barang input, serta penggunaan tenaga kerja, ikut menurun.
”Indeks Bisnis UMKM mempunyai korelasi kuat dengan mobilitas warga. Kalau aktivitas masyarakat tertahan, bisnis UMKM juga ikut tertahan,” ujar Anton saat menghadiri webinar ”Outlook UMKM 2022” yang diselenggarakan Ralali.com, Kamis (23/12/2021), di Jakarta.
Sebagai gambaran, Indeks Bisnis UMKM pada triwulan III-2020 memiliki skor 84,2, triwulan IV-2020 turun menjadi 81,5, dan triwulan I-2021 naik menjadi 93. Pada triwulan III-2021, dalam riset itu disebutkan terdapat 22 provinsi yang memiliki skor Indeks Bisnis UMKM di bawah 100. Sebagian besar dari mereka merupakan provinsi yang jadi penyumbang besar ke perekonomian Indonesia, seperti Banten (86,1), Jawa Tengah (93,9), DKI Jakarta (95,5), dan Bali (77,5).
Indeks UMKM yang dilakukan BRI Research Institute itu juga menyurvei 6.523 debitor UMKM di 33 provinsi. Sebanyak 20 persen responden menyatakan usahanya pernah berhenti beroperasi selama masa pandemi. Alasan utama berhenti beroperasi adalah pembatasan kegiatan usaha, seperti PPKM dan PSBB, pembeli sepi sehingga penjualan sangat menurun, serta modal tergerus untuk kebutuhan sehari-hari.
Pada 2021 masih ada UMKM menjual aset demi bertahan hidup. Hasil survei BRI Research Institute menyebutkan, selama pandemi Covid-19, 26,6 persen responden menyatakan pernah menjual asetnya untuk memenuhi kebutuhan sehari- hari, modal usaha, dan membayar angsuran pinjaman.
Ketahanan segmen mikro cenderung lebih rendah dibanding segmen lain, tetapi cepat bangkit. Menurut Anton, sesuai riset yang sama pada triwulan sebelumnya, bisnis pelaku usaha segmen mikro kembali normal sekitar 74 persen dalam waktu enam bulan dan 85 persen responden menyatakan akan mampu membayar cicilan pokok jika pandemi Covid-19 berakhir.
”Pelaku usaha segmen mikro tergolong ringkih. Mereka bisa lekas pulih kalau ada bantuan, seperti bantuan pemerintah melalui program pemulihan ekonomi nasional dan relaksasi restrukturisasi kredit,” kata Anton.
Presiden Aruna Indonesia Budiman Goh menambahkan, di sektor industri perikanan, masih banyak UMKM tidak mendapat dukungan pemerintah. Kalaupun didorong terjun ke pemasaran dan penjualan digital, kebanyakan lokasi tempat tinggal mereka di pesisir yang belum terpapar infrastruktur telekomunikasi.
”Ketika pemerintah menerapkan PSBB ataupun PPKM, bisnis mereka amat terpukul. Hilirisasi hasil perikanan masih kecil sehingga belum bisa banyak membantu,” ujar Budiman.
Pada 2022, Aruna Indonesia berencana mengajak 250 pemerintah daerah kabupaten untuk mendukung pengembangan bisnis UMKM perikanan, terutama yang berlokasi di pesisir pantai. Salah satu harapan pengembangan berupa hilirisasi hasil perikanan sehingga mampu memberikan nilai tambah.
Wakil Wali Kota Payakumbuh Erwin Yunaz menceritakan, Pemerintah Kota Payakumbuh mengembangkan pencitraan produk kearifan lokal secara jangka panjang. Salah satunya adalah rendang yang menjadi warisan budaya tak benda. Bisnis rendang yang dirintis para UMKM di kota itu disatukan dan dibuatkan desain pencitraan oleh pemerintah. UMKM juga diminta bergabung ke koperasi. Segala fasilitas pendampingan ataupun bantuan pemerintah daerah bisa diakses melalui koperasi.
”Kalau menuntut UMKM bisa bertahan dan berdaya saing, program pendampingan semestinya tidak setengah-tengah. Instansi pemerintahan masih ada yang membantu sedikit-sedikit, seperti membantu hanya dari sisi kemasan produk,” ucapnya.
Sementara itu, Direktur Pelaksana Komite Ekonomi Kreatif dan Inovasi (Kreasi) Jawa Barat Harry Mawardi mengatakan, Pemerintah Provinsi Jawa Barat menilai digitalisasi pemasaran dan penjualan merupakan upaya tepat agar bisnis tetap bertumbuh di tengah pandemi Covid-19. Aparatur sipil negara didorong berbelanja produk-produk lokal melalui aplikasi borongdong.id.
”UMKM sektor kriya punya masalah distribusi dan pengiriman barang. Kami mencoba atasi melalui kemitraan dengan bekerja sama pelaku industri logistik. Barang-barang mereka dikirim dulu ke gudang kami, baru didistribusikan mitra perusahaan logistik,” ujar Harry.
Hasil pengukuran Ekspektasi Indeks Bisnis UMKM pada triwulan III-2021 yang dilakukan BRI Research Institute mencapai skor 132 yang berarti optimis. Menurut Anton, pada akhir triwulan III-2021, pemerintah sudah merelaksasi PPKM mikro dan pembukaan kembali kegiatan usaha karena pandemi Covid-19 dianggap terkendali.
”Banyak pelaku UMKM berharap kondisi pandemi Covid-19 semakin bisa dikendalikan sehingga perekonomian bisa pulih pada 2022,” imbuh Anton.
Direktur Departemen Pengembangan UMKM dan Perlindungan Konsumen Bank Indonesia (BI) Bandoe Widiarto menyampaikan, 87,5 persen UMKM yang disurvei BI mengaku terdampak pembatasan sosial karena pandemi Covid-19. Penjualan mereka sempat turun drastis.
Sejalan dengan relaksasi pembatasan sosial, BI mengamati sudah mulai terjadi pemulihan di kalangan pelaku UMKM. Dia memberikan ilustrasi dari hasil penyaluran kredit UMKM yang tumbuh 32,29 persen per November 2021. Jumlah rekening debitor naik sekitar 3,1 juta menjadi 27,7 juta. Tingkat risiko kredit UMKM mencapai 4,37 persen yang berarti terkendali.