Diskresi Pejabat Jadi Faktor Penting Capai Visi Indonesia Emas 2045
Diskresi sejatinya adalah sebuah kemerdekaan dalam membuat sebuah pilihan dalam mengambil keputusan. Cepat-lambatnya perjalanan negara ini menuju target Indonesia emas bergantung pada keputusan para pemangku kebijakan.
Oleh
Dimas Waraditya Nugraha
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Selain modal ekonomi dan sosial, diskresi yang tepat dari para pejabat pemerintahan menjadi faktor penting untuk mencapai visi Indonesia emas pada 2045. Diskresi sepatutnya didasarkan pada tata kelola yang baik dan berpihak kepada kepentingan publik.
Pentingnya diskresi tersebut tertuang dalam buku Diskresi Menuju Indonesia Emas 2045 yang ditulis anggota Dewan Pengawas Lembaga Pengelola Investasi (LPI) atau Indonesia Investment Authority (INA) periode 2021-2026, Darwin Cyril Noerhadi.
Peluncuran dan bedah buku tersebut diselenggarakan secara daring, Rabu (22/12/2021), dengan moderator Deputi Gubernur Senior Bank Indonesia Destry Damayanti. Turut hadir dalam acara ini, Wakil Menteri BUMN Kartika Wirjoatmodjo, staf ahli Menteri Keuangan Masyita Crystallin, Komisaris Bursa Efek Indonesia (BEI) Pandu Sjahrir, serta Wakil Rektor Bidang Akademik dan Kemahasiswaan Universitas Pertamina Budi W Soetjipto.
Buku ini merupakan buah hasil renungan dan refleksi Darwin dari 30 tahun perjalanannya dalam menapaki sejumlah profesi berbeda.
Darwin menyampaikan, buku ini merupakan buah hasil renungan dan refleksi dari 30 tahun perjalanannya dalam menapaki sejumlah profesi berbeda. Tulisan ini sekaligus memberikan gambaran tentang pentingnya sebuah diskresi untuk mengatasi tantangan.
Diskresi adalah keputusan atau tindakan yang ditetapkan oleh pejabat pemerintahan untuk mengatasi persoalan konkret yang dihadapi dalam penyelenggaraan pemerintahan dalam hal peraturan perundang-undangan memberikan pilihan, tidak mengatur, tidak lengkap atau tidak jelas, serta adanya stagnasi pemerintahan.
”Dengan adanya tata kelola yang baik dan mitigasi risiko atas potensi konflik dalam proses membuat keputusan, sebuah lembaga dapat lebih murni dalam mencapai sasaran. Tentu hal ini dapat diaplikasikan para pemangku kebijakan untuk mencapai Indonesia emas 2045,” ujarnya.
Indonesia emas 2045, lanjut Darwin, telah dicanangkan oleh pemerintah sebagai sasaran untuk dicapai saat Indonesia berusia 100 tahun. Terdapat sejumlah kriteria capaian ini berdasarkan ekonomi, salah satunya PDB per kapita sebesar 23.000 dollar AS per tahun.
Hal tersebut tidaklah mudah karena semua negara akan membutuhkan proses yang berbeda untuk bergerak menjadi negara berpenghasilan tinggi. ”Indonesia yang tengah berjalan ke arah sana harus terdampak oleh pandemi yang membuat pencapaian target sedikit tersendat,” ujarnya.
Ia menambahkan, sejumlah penelitian telah mengungkap kunci menuju Indonesia emas 2045 di antaranya adalah pasar tenaga kerja yang efisien, inovasi pada industri manufaktur, pasar keuangan yang efisien, infrastruktur yang memadai, serta bonus demografi.
”Sementara buku ini melihat indikator tersebut dari perspektif yang lain, yaitu diskresi, pilihan membuat keputusan menuju Indonesia emas. Seorang pemimpin selalu ditunggu untuk membuat keputusan,” ujar Darwin.
Darwin tercatat pernah menjabat sebagai Managing Director/CFO PT Medco Energi Internasional Tbk, lalu Partner PricewaterhouseCoopers Indonesia-Corporate Finance, dan bahkan pernah menjadi orang nomor satu di bursa efek, yang saat itu masih bernama PT Bursa Efek Jakarta (BEJ). Ia pun pernah memimpin PT KDEI dan Executive Director di PT Danareksa.
Darwin juga sempat menjabat sebagai Komisaris Utama (Independen) PT Mandiri Sekuritas serta Komisaris (Independen) PT Austindo Nusantara Jaya Tbk dan Direktur Utama/Senior Managing Director Creador Indonesia.
Dalam kesempatan yang sama, Masyita mengatakan, terdapat sebuah kata kunci penting dalam buku ini, yakni kesetaraan kesempatan. Kondisi saat ini adalah kue ekonomi Indonesia berdasarkan PDB masih dikuasai oleh wilayah di Pulau Jawa yang mencapai 60 persen.
Pembangunan infrastruktur, lanjutnya, sangat penting untuk diversifikasi ekonomi agar perekonomian lebih merata. Namun, pembangunan infrastruktur membutuhkan skema pembiayaan jangka panjang yang saat ini masih belum menjadi ”aktor utama” dalam sistem keuangan Tanah Air.
”Persoalannya adalah karakter sektor keuangan Indonesia masih lebih condong pada pembiayaan jang pendek oleh perbankan. Sementara untuk pembiayaan jangka panjang, seperti yang bersumber pada obligasi dan equity based crowdfunding, masih perlu ditingkatkan,” tuturnya.
Salah satu yang penting adalah peran negara dari sisi pembiayaan mencarikan katalisator pembiayaan karena tidak semua proyek dapat didanai oleh APBN. Dalam buku ini, lanjut Masyita, terdapat bab khusus soal INA yang memiliki misi mengumpulkan sumber pendanaan jangka panjang untuk pembangunan negara.
”Dalam buku ini, INA menjadi jembatan menuju Indonesia Emas 2045. Semakin besar dan semakin kuat INA, akan semakin cepat Indonesia mencapai Indonesia emas,” ujar Masyita.
Sementara itu, Budi W Soetjipto menuturkan bahwa tantangan dalam mencapai tujuan Indonesia emas 2045 dari sisi perguruan tinggi adalah menciptakan lulusan yang tidak hanya siap kerja, tetapi siap menciptakan peluang berbekal berbagai macam keterampilan sosial (soft skill)
”Saat ini pilihan profesi sangat luas. Kuncinya adalah agility (ketangkasan). Semua akan kembali kepada para peserta didik untuk banyak membaca dan banyak mencari tahu agar bisa menciptakan peluang mereka masing-masing,” ujar Budi.