Sektor Ketenagalistrikan di Indonesia Pengguna Tertinggi Batubara
Hingga 10 Desember 2021, serapan batubara di dalam negeri untuk sektor ketenagalistrikan mencapai 113 juta ton. Sisanya diserap oleh industri, seperti briket, pupuk, dan semen.
Oleh
Mediana
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Hingga 10 Desember 2021, realisasi produksi batubara Indonesia mencapai 560 juta ton atau 89,6 persen dari target tahun 2021 yang sebanyak 625 juta ton. Sementara realisasi pemanfaatan batubara domestik mencapai 121,3 juta ton atau 88,2 persen dari target sepanjang 2021 yang sebanyak 137,5 juta ton. Konsumsi batubara tertinggi di Indonesia datang dari sektor ketenagalistrikan.
Direktur Pembinaan Program Mineral dan Batubara Direktorat Jenderal Mineral dan Batubara Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Sunindyo Suryo Herdadi di sela-sela acara ”Minerba Virtual Fest 2021”, Selasa (21/12/2021), di Jakarta, mengatakan, sejak pertengahan hingga akhir 2021 terjadi fenomena alam yang memengaruhi pencapaian target produksi batubara. Sebagai contoh, curah hujan tinggi di Kalimantan memperlambat proses produksi.
Mengenai pencapaian pemanfaatan batubara domestik (domestic market obligation/DMO), data Kementerian ESDM menyebutkan, penyerapan terbesar masih ke sektor kelistrikan. Hingga 10 Desember 2021, serapan batubara untuk sektor tersebut mencapai 113 juta ton. Sisanya diserap oleh industri, seperti briket, pupuk, dan semen. Kementerian ESDM optimistis bisa mencapai target pemanfaatan di sisa waktu tahun ini.
Sunindyo menyampaikan, rencana target produksi ataupun pemanfaatan batubara domestik tahun 2022 masih dibahas. Kementerian telah menerima masukan dari pelaku industri. Sejauh ini, rentang target produksi batubara untuk tahun 2022 adalah 637 juta-664 juta ton, sedangkan proyeksi kebutuhan domestik 190 juta ton.
”Belum final (pembahasan proyeksi 2022). Kami harus mempertimbangkan rencana kerja dan anggaran biaya (RKAB) perusahaan, evaluasi pencapaian sebelumnya, dan target penerimaan negara bukan pajak (PNBP),” ujarnya.
Pemerintah menetapkan harga DMO batubara untuk listrik sebesar 70 dollar AS per ton serta harga DMO untuk industri semen dan pupuk 90 dollar AS per ton.
Sunindyo menambahkan, kementerian juga masih membahas harga patokan/acuan batubara Indonesia, termasuk menyangkut harga DMO batubara untuk listrik, pupuk, dan semen. Salah satu hal yang dibicarakan selama proses pembahasan harga itu adalah kepatuhan perusahaan tambang batubara. Pemerintah menetapkan harga DMO batubara untuk listrik sebesar 70 dollar AS per ton dan harga DMO untuk industri semen dan pupuk 90 dollar AS per ton.
Transisi energi
Sementara itu, mengutip laporan riset Institute for Essential Services Reform (IESR) ”Indonesia Energy Transition Outlook 2022”, hingga triwulan III-2021, porsi bauran energi baru dan terbarukan (EBT) masih sekitar 11,2 persen. Total kapasitas pembangkit listrik EBT yang hanya mencapai 10.827 megawatt (MW) atau bertambah sekitar 400 MW dari tahun lalu. Sementara untuk mencapai target Kebijakan Energi Nasional pada 2025, kapasitas pembangkit EBT minimal harus mencapai 24.000 MW atau tambahan 2.000 MW sampai 3.000 MW setiap tahun.
Dalam laporan yang sama, IESR menyampaikan hasil survei daring kepada 1.000 responden. Survei tersebut untuk mengetahui kesadaran dan dukungan guna bertransisi energi dari energi fosil ke energi bersih. Sebanyak 56 persen responden mengaku sangat setuju jika Indonesia berhenti menggunakan batubara untuk pembangkit listrik. Tiga sumber energi terbarukan yang mendapat dukungan publik tertinggi adalah surya (68 persen), air (60 persen), dan angin (39 persen).
Peneliti IESR, Handriyanti Puspitarini, mengatakan, sesuai laporan International Energy Agency 2021, pemakaian pembangkit listrik EBT di tingkat internasional diperkirakan naik 30 persen pada akhir tahun 2021. Penggunaan batubara untuk pembangkit listrik secara global turun 4 -4,5 persen dibandingkan dengan 2019.
Dia menuturkan, biaya teknologi EBT secara global dan di Indonesia terus menurun. Proyek pembangkit listrik tenaga surya (PLTS) baru-baru ini ditawarkan 0,04 dollar AS per kilowatt jam (kWh), dibandingkan dengan biaya PLTU berkisar 0,05-0,07 dollar AS per kWh.
Total kapasitas pembangkit listrik EBT hanya mencapai 10.827 megawatt (MW) atau bertambah sekitar 400 MW dari tahun lalu.
”Pengembang EBT menyatakan mereka sebenarnya memiliki akses teknologi termurah, tetapi kebanyakan barang impor. Teknologi lokal masih memiliki kekurangan dari sisi kuantitas dan kualitas,” ucap Handriyanti.
Laporan IESR juga menyoroti kebijakan energi di Indonesia yang dinilai belum memberikan rasa aman bagi pengembang untuk berinvestasi di EBT. Peraturan Menteri ESDM Nomor 10 Tahun 2017 tentang Pokok-Pokok Dalam Perjanjian Jual Beli Tenaga Listrik menyerahkan risiko sepenuhnya kepada pengembang jika terjadi perubahan kebijakan pemerintah.
Peraturan ESDM No 50/2017 tentang Pemanfaatan Sumber Energi Terbarukan untuk Penyediaan Tenaga Listrik menjadikan proyek EBT sebagai proyek yang sulit mendapat pendanaan dari bank. Peraturan Presiden tentang tarif energi baru dan terbarukan juga belum kunjung disahkan sehingga menyebabkan ketidakpastian dan menghambat investasi proyek EBT di Indonesia.
Vice President Pengendalian Rencana Umum Penyediaan Tenaga Listrik (RUPTL) pada PT Perusahaan Listrik Negara (Persero) Arief Sugiyanto menilai, bauran EBT ditargetkan mencapai 23 persen pada 2025 merupakan tantangan yang berat. PLN berencana mengganti pembangkit listrik tenaga diesel berbahan bakar minyak (BBM) dengan gas bumi dan sumber energi terbarukan.
Proses penambahan biomassa sebagai bahan bakar pengganti parsial atau campuran batubara (co-firing) sekarang sedang dilakukan oleh PLN di 52 PLTU. Sejauh ini, pencapaiannya baru 5 persen. PLN mengharapkan, pencapaian co-firing bisa naik menjadi 10-20 persen.
”Untuk mencapai target bauran EBT hingga 23 persen pada 2025, PLN membutuhkan biomassa sekitar 13 juta ton per tahun,” kata Arief.