Masukkan Produktivitas Sektor dalam Formula Kenaikan Upah
Agar kenaikan upah pekerja adil dan bisa diprediksi, baik pemberi kerja maupun pekerja, unsur produktivitas atau pertumbuhan sektor usaha dinilai perlu dimasukkan dalam formula penghitungan.
Oleh
Benediktus Krisna Yogatama
·6 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Pemerintah dinilai perlu memasukkan unsur produktivitas dan pertumbuhan per sektor dalam merumuskan formula kenaikan upah. Langkah ini dinilai bisa menghasilkan formula kenaikan upah yang proporsional sesuai dengan kinerja sektor sehingga lebih adil dan bisa diprediksi, baik bagi pengusaha maupun pekerja.
Formula itu juga dinilai bisa memacu produktivitas pekerja dan kinerja sektor yang lebih baik pada tahun berikutnya. Saat dihubungi pada Senin (20/12/2021), Direktur Eksekutif Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Tauhid Ahmad berpendapat, penghitungan upah seharusnya memasukkan unsur produktivitas serta pertumbuhan sektor terkait. Selain itu, penghitungan upah juga perlu memasukkan unsur pertumbuhan ekonomi dan inflasi.
Tauhid mencontohkan, ketika pertumbuhan sektor telekomunikasi lebih pesat ketimbang sektor pariwisata, secara alamiah sektor telekomunikasi menikmati keuntungan lebih baik ketimbang pariwisata. Dengan demikian, upah pekerja sektor telekomunikasi bisa lebih baik ketimbang pekerja di sektor pariwisata.
”Dengan memasukkan unsur produktivitas atau pertumbuhan sektor, kemampuan atau tren sektor bisa dilihat. Hal ini bisa diprediksi pengusaha dan buruh. Selain itu, (langkah itu) juga memberikan insentif agar terpacu meningkatkan kinerja sehingga mendapatkan upah lebih baik pada tahun berikutnya,” ujar Ahmad.
Saat ini, kata dia, formula penghitungan kenaikan upah buruh menurut Peraturan Pemerintah 36 Tahun 2021 tentang Pengupahan menggunakan juga memasukkan unsur pertumbuhan ekonomi dan inflasi. Namun, terdapat unsur batas bawah dan batas atas.
Dalam konteks paling relevan saat ini, misalnya, soal revisi kenaikan UMP DKI Jakarta 2022. Awalnya, pada 22 November 2021, Pemerintah Provinsi DKI Jakarta memutuskan kenaikan UMP 2022 sebesar 0,85 persen atau Rp 37.749 menjadi Rp 4,45 juta. Namun, keputusan itu direvisi pada 18 Desember 2021. Pemerintah Provinsi DKI Jakarta merevisi kenaikan UMP tahun 2022 menjadi Rp 4.641.854 atau naik 5,1 persen atau senilai Rp 225.667 dibandingkan dengan UMP tahun 2021.
Tauhid menilai, kenaikan UMP awal yang hanya 0,85 persen dinilai terlalu rendah. Apalagi, kondisi perekonomian saat ini sudah mulai membaik dan diprediksi akan terus meningkat tahun depan. ”Kalau hanya 0,85 persen, itu jelas tidak manusiawi,” ujar Tauhid.
Adapun kenaikan 5,1 persen, kata dia, cukup moderat sebab berdasarkan data Japan External Trade Organization (JETRO) 2020, selama pandemi, perusahaan dari negara-negara lain menaikkan upah pekerjanya. China, misalnya, memberikan kenaikan upah 5,4 persen, Thailand 3,9 persen, Vietnam 7,1 persen, dan India 8,8 persen. Adapun di Indonesia terjadi kenaikan upah 7,2 persen. ”Pengupahan kita masih kompetitif dibandingkan dengan negara lain,” ujar Tauhid.
Sebelumnya, pada Sabtu (18/12/2021), Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan merevisi besaran kenaikan Upah Minimum Provinsi (UMP) DKI Jakarta 2022. Dari semula hanya naik 0,85 persen, UMP diputuskan naik 5,1 persen.
Anies menjelaskan, revisi atas kenaikan besaran UMP DKI 2022 didasarkan pada kajian Bank Indonesia bahwa proyeksi pertumbuhan ekonomi Indonesia pada 2022 mencapai 4,7 persen sampai 5,5 persen, inflasi akan terkendali di posisi 3 persen (2-4 persen), dan proyeksi Indef bahwa tingkat pertumbuhan ekonomi Indonesia tahun 2022 sebesar 4,3 persen.
Selain mempertimbangkan sentimen positif dari kajian dan proyeksi ekonomi Indonesia, keputusan kenaikan UMP juga didasari kajian ulang dan pembahasan kembali bersama semua pemangku kepentingan terkait serta dengan semangat keberhati-hatian di tengah mulai berderapnya laju roda ekonomi di wilayah Jakarta.
Pada 22 November 2021, Pemerintah Provinsi DKI memutuskan kenaikan Rp 37.749 atau 0,85 persen dari UMP DKI 2021 sehingga menjadi Rp 4.453.935. Namun, pada 18 Desember, mereka merevisi kenaikan UMP tahun 2022 menjadi sebesar Rp 4.641.854 atau naik 5,1 persen atau senilai Rp 225.667 dari UMP tahun 2021.
Melanggar aturan
Asosiasi Pengusaha Indonesia atau Apindo menilai, revisi UMP DKI Jakarta tahun 2022 melanggar aturan pengupahan karena dilakukan sepihak tanpa melibatkan kalangan pengusaha. Apindo menilai, hal itu melanggar aturan pengupahan sehingga mereka membawa Surat Keputusan Gubernur DKI Jakarta soal UMP 2022 itu ke Pengadilan Tata Usaha Negara.
”Keluarnya Surat Keputusan Gubernur DKI Jakarta soal UMP 2022 yang merevisi keputusan sebelumnya telah menyalahi aturan pengupahan yang ada,” ujar Ketua Umum Dewan Pimpinan Pusat (DPP) Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Hariyadi Sukamdani dalam konferensi pers menyikapi revisi UMP DKI Jakarta 2022, Senin (20/12/2021).
Selain Hariyadi, turut hadir dalam kesempatan itu Wakil Ketua Apindo DKI Jakarta Nurjaman, Wakil Ketua Umum Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Bidang Ketenagakerjaan Adi Mahfudz Wuhadji, dan Ketua Kadin DKI Jakarta Diana Dewi.
Hariyadi menilai, Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan telah melanggar regulasi pengupahan yang berlaku saat ini, terutama Peraturan Pemerintah (PP) No 36 Tahun 2021 tentang Pengupahan, yaitu Pasal 26 mengenai cara perhitungan upah minimum dan Pasal 27 mengenai upah minimum provinsi. Selain itu, revisi ini bertentangan dengan Pasal 29 tentang waktu penetapan upah minimum yang selambat-lambatnya ditetapkan pada 21 November 2021 .
”Pemerintah Provinsi DKI Jakarta secara sepihak merevisi UMP DKI Jakarta 2022 tanpa memperhatikan pendapat dunia usaha, khususnya Apindo DKI Jakarta yang menjadi bagian dari Dewan Pengupahan Daerah sebagai unsur dunia usaha (pengusaha). Dewan Pengupahan Daerah terdiri atas unsur tripartit, yakni pemerintah, serikat pekerja, dan pengusaha,” ujar Nurjaman.
Mengingat keputusan revisi itu tidak sesuai aturan, Hariyadi menghimbau semua perusahaan di Jakarta untuk tidak menerapkan revisi UMP DKI Jakarta 2022 sembari menunggu Keputusan PTUN berkekuatan hukum tetap, tetapi tetap mengikuti Keputusan Gubernur DKI Jakarta Nomor 1395 Tahun 2021 yang ditetapkan tanggal 19 November 2021.
Perkara hukum
Merespons hal ini, Apindo akan menggugat Surat Keputusan Gubernur DKI Jakarta tentang revisi UMP 2022 ke Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) jika Gubernur DKI benar-benar mengimplementasikan regulasi perubahan tersebut.
Hariyadi berharap Kementerian Ketenagakerjaan memberikan sanksi kepada kepala daerah yang telah melawan regulasi, terutama pengupahan karena hal tersebut berpotensi menimbulkan iklim tidak kondusif bagi dunia usaha dan perekonomian Nasional.
Saat dihubungi terpisah, Kepala Biro Humas Kementerian Ketenagakerjaan Chairul Harahap mengatakan, pihaknya menyayangkan tindakan yang dilakukan Pemerintah Provinsi DKI Jakarta. Sebab, hal itu tidak sesuai aturan PP 36 tahun 2021 tentang pengupahan yang merupakan aturan pelaksana UU No 11/2020 tentang Cipta Kerja. ”Kita harus melaksanakan amanat undang-undang,” ujar Chairul.
Pada kesempatan terpisah, Senin pagi, Presiden Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI) Said Iqbal mengecam upaya Apindo yang ingin membawa SK Gubernur DKI Jakarta soal revisi UMP 2022 itu ke PTUN. ”Tindakan Apindo akan berpotensi menimbulkan eskalasi aksi buruh yang meluas dan tidak akan hanya terjadi di Jakarta saja, tetapi seluruh Indonesia. Aksi buruh akan mengeras dan meluas,” ujar Said.
Menurut dia, apa yang dilakukan Apindo itu tidak melihat kondisi ekonomi Indonesia yang membaik. Berkaca dari kondisi ekonomi 2020 yang jeblok ke jalur pertumbuhan negatif karena pandemi, rata-rata upah nasional yang diputuskan pada 2020 untuk tahun 2021 naik 3,14 persen. Sementara saat ini, ketika perekonomian kembali ke jalur positif, upah yang diputuskan untuk 2022 rata-rata hanya naik 1,09 persen secara nasional. ”Ini tidak masuk akal,” ujar Said.