Indonesia punya banyak potensi dan sumber daya untuk mengoptimalkan sumber energi terbarukan sebagai komitmen atas mitigasi perubahan iklim. Perlu konsistensi dan kepemimpinan yang kuat untuk merealisasikan komitmen itu.
Oleh
ARIS PRASETYO
·5 menit baca
Dalam Peraturan Pemerintah Nomor 79 Tahun 2014 tentang Kebijakan Energi Nasional disebutkan bahwa pada 2025 peran energi baru dan terbarukan sedikitnya 23 persen dan menjadi 31 persen pada 2050 sepanjang keekonomiannya terpenuhi. Dari catatan pemerintah, hingga 2020 lalu posisi energi baru dan terbarukan masih 11,5 persen. Tak mudah mencapai target 23 persen pada 2025 kalau tak ingin disebut mustahil.
Meningkatkan peran energi baru dan terbarukan yang disebut lebih bersih dan berkesinambungan adalah komitmen pemerintah untuk merespons perubahan iklim yang berdampak pada pemanasan global. Pemakaian energi untuk industri, transportasi, atau pembangkit listrik menjadi salah satu penyumbang emisi gas rumah kaca yang turut menaikkan suhu bumi. Untuk itulah, sesuai Perjanjian Paris 2015 ataupun Konferensi Tingkat Tinggi untuk Perubahan Iklim atau COP26 pada Desember 2021 lalu, kesepakatan mengurangi pemakaian energi fosil, yang menghasilkan emisi, terus menguat.
Sayangnya, di Indonesia tidak mudah merealisasikan janji-janji tersebut. Dalam bauran energi primer pembangkit listrik, batubara masih berperan amat dominan sekitar 65 persen lewat pembangkit listrik tenaga uap (PLTU). Apabila digabung dengan sumber energi fosil lainnya, seperti gas bumi dan bahan bakar minyak (BBM), porsinya naik menjadi 85 persen. Adapun sisanya, yakni sumber energi terbarukan, hanya 15 persen terdiri dari tenaga air, surya, panas bumi, bayu, dan lain-lain.
Pemerintah sudah menetapkan berbagai langkah strategis untuk mengurangi peran batubara. Misalnya, dengan skenario PLTU co-firing, yaitu pembakaran batubara bersama biomassa dengan kadar 5-10 persen. Ada pula strategi mengganti pembangkit listrik tenaga diesel (PLTD) dengan bahan bakar gas atau sumber energi terbarukan lain. Pemerintah juga bakal mengembangkan pembangkit listrik tenaga surya (PLTS) atap dalam skala masif.
Meningkatkan peran energi baru dan terbarukan yang disebut lebih bersih dan berkesinambungan adalah komitmen pemerintah untuk merespons perubahan iklim yang berdampak pada pemanasan global.
Tak hanya itu, sempat mencuat wacana untuk menghentikan operasi sejumlah PLTU lebih dini di Indonesia dengan total kapasitas mencapai 9.200 megawatt (MW). Artinya, PLTU tersebut dihentikan operasinya sebelum masa kontrak habis selambatnya pada 2030. Namun, semua itu butuh biaya yang tak murah. Perhitungan sementara pemerintah, dibutuhkan dana hampir Rp 500 triliun untuk menghentikan operasi sejumlah PLTU tersebut lebih dini. Duitnya dari mana? Itu yang belum ditemukan solusinya.
Tata kelola
Urusan manajemen energi di negeri ini memang pelik. Tak melulu soal tata kelola di hulu, baik itu masalah perundangan, regulasi turunan, berikut tetek-bengek birokrasinya, tetapi juga keruwetan hingga di hilir. Sebagai contoh, aturan yang sudah digadang-gadang segera terbit pada September 2019, yaitu ketetapan jual beli tarif tenaga listrik dari sumber energi terbarukan, sampai sekarang tak kunjung ada kabarnya. Aturan yang ditetapkan Presiden Joko Widodo tersebut disebut-sebut bakal berdampak positif terhadap pengembangan energi terbarukan di Indonesia.
Belum lagi penataan di sektor hulu minyak dan gas bumi (migas) lewat revisi Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi yang setiap tahun hanya menjadi wacana perubahan di DPR. Padahal, Indonesia sedang dihadapkan pada masalah serius, yakni produksi minyak bumi yang terus menurun di tengah proyeksi permintaan BBM yang terus naik, seiring laju pertumbuhan ekonomi dan pertambahan populasi penduduk. Apabila tak ada jalan keluarnya, Indonesia yang sudah bergantung pada impor minyak sejak 2004 akan semakin terikat pada impor.
Peta jalan pemanfaatan energi gas bumi pun serupa. Gas bumi disebut-sebut sebagai medium penting dalam transisi energi di Indonesia dan akan dimanfaatkan secara optimal. Namun, infrastruktur gas bumi belum siap untuk menjadi medium transisi energi. Bahkan, nasib pengembangan gas bumi di hulu pun masih menyisakan masalah. Blok Masela di laut lepas Maluku, sebuah lapangan gas bumi dengan cadangan luar biasa besar, hingga kini tak jelas bagaimana kelanjutan proyek tersebut gara-gara tidak konsistennya kebijakan pilihan pemerintah terkait dengan letak pengelolaan gas (on shore atau off shore).
Begitu pula di sektor hilir lainnya, seperti harga ritel energi, baik itu BBM maupun listrik. Pemerintah sangat lama memanjakan atau lebih memilih keputusan yang populer ketimbang yang realistis. Sadar bukan sebagai negara eksportir minyak, kebijakan harga BBM, khususnya jenis solar subsidi dan premium, menyisakan lubang subsidi yang membebani APBN. Begitu pula mekanisme pendistribusian elpiji 3 kilogram yang disubsidi negara yang sampai kini berlarut-larut tak kunjung ada kejelasan penyelesaiannya.
Urusan manajemen energi di negeri ini memang pelik. Tak melulu soal tata kelola di hulu, baik itu masalah perundangan, regulasi turunan, berikut tetek-bengek birokrasinya, tetapi juga keruwetan hingga di hilir.
Masalah tata kelola erat kaitannya dengan faktor kepemimpinan. Dibutuhkan figur yang tegas, konsisten, dan berani mengambil keputusan tak populer, tetapi sesuai dengan kebutuhan yang bersifat jangka panjang. Bukan kebutuhan yang sifatnya pendek, apalagi hanya untuk memenuhi janji-janji politik lima tahunan. Apabila cara jangka pendek yang ditempuh, generasi berikutnya yang akan menanggung beban lebih besar.
Kesadaran bahwa sumber energi fosil (minyak dan batubara) pasti habis suatu saat nanti harus dibarengi dengan upaya mengoptimalkan potensi sumber energi terbarukan di dalam negeri. Jangan menunggu dua jenis energi fosil itu habis, lalu terlambat mengembangkan sumber energi terbarukan. Pemerintah bertanggung jawab penuh untuk membawa arah transisi energi di Indonesia berjalan mulus tanpa kendala.
Janji 23 persen bauran energi baru dan terbarukan pada 2025 harus terus dikawal. Semua pemangku kepentingan di luar unsur pemerintah, baik itu organisasi nirlaba, sektor swasta, akademisi, maupun pers, harus bersama-sama mengawal dan mendorong agar tujuan Kebijakan Energi Nasional tercapai sesuai dengan rencana. Masalah energi bukan masalah sepele. Dan jangan jadikan negeri kaya sumber energi terbarukan ini sebagai pengimpor energi fosil.