Untuk menggenjot ekspor domestik, dunia usaha juga membutuhkan fasilitas pelonggaran dari negara mitra dagang. Meningkatkan ekspor dan konsumsi adalah bagian penting dalam pemulihan ekonomi dari pandemi.
Oleh
Dimas Waraditya Nugraha
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Pemulihan ekonomi diproyeksi berlanjut pada 2022 meskipun masih dibayangi ketidakpastian akibat pandemi Covid-19. Kunci pemulihan ekonomi pada tahun 2022 tersebut adalah dengan meningkatkan konsumsi serta mengoptimalkan ekspor.
Wakil Menteri Keuangan Suahasil Nazara menyampaikan hal itu pada hari kedua penyelenggaraan The 9th US-Indonesia Investment Summit secara virtual, Selasa (14/12/2021). Kegiatan yang diinisiasi bersama oleh Kamar Dagang Amerika di Indonesia (AmCham Indonesia) dan Kamar Dagang Amerika Serikat (US Chamber of Commerce) ini berlangsung selama tiga hari.
Selain delegasi AmCham Indonesia dan Kamar Dagang AS, turut hadir dalam acara ini Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Indonesia Haryadi Sukamdani, Koordinator Wakil Ketua Umum III Bidang Maritim, Investasi, dan Luar Negeri Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Shinta Kamdani, serta Kepala Badan Kebijakan Fiskal Kementerian Keuangan Febrio N Kacaribu.
Menurut Suahasil, kunci pemulihan ekonomi pada tahun 2022 adalah dengan meningkatkan konsumsi serta mengoptimalkan ekspor. Jika kedua sektor ini terus tumbuh di tengah penurunan angka kasus penularan Covid-19, kesempatan untuk konsolidasi fiskal pada tahun 2022 akan semakin terbuka.
”APBN 2022 akan tetap responsif terhadap kebutuhan pemulihan perekonomian. Kalau ekonominya membaik serta kesehatan bisa terjaga, ada kesempatan bagi APBN untuk konsolidasi,” kata Suahasil.
Kunci pemulihan ekonomi pada tahun 2022 adalah dengan meningkatkan konsumsi serta mengoptimalkan ekspor.
Suahasil menyampaikan, pemulihan ekonomi Indonesia termasuk yang tercepat di kawasan Asia didasarkan sejumlah fakta peningkatan indikator perekonomian. Indikator tersebut adalah aktivitas manufaktur Purchasing Managers Index (PMI) bulan Oktober 2021 sebesar 57,2 meski menurun pada November menjadi 53,9.
Kendati pemulihan ekonomi Indonesia akan berlanjut pada tahun 2022, pemerintah tetap mewaspadai kondisi ekonomi global yang masih dibayangi ketidakpastian akibat penyesuaian kebijakan moneter antarnegara. Situasi ini berpotensi memberi rambatan terhadap kinerja ekonomi negara berkembang, termasuk Indonesia.
Tantangan selanjutnya, lanjut Suahasil, adalah mutasi virus Covid-19 dapat menimbulkan efek berkepanjangan yang mengganggu proses pemulihan ekonomi. Terlebih lagi, kasus Covid-19 secara global masih dalam tren peningkatan di pengujung tahun.
”Pemerintah melihat tantangan ini dengan sangat hati-hati. Karena itu, sangat penting bagi pemangku kebijakan ekonomi untuk memahami dinamika ekonomi global,” ujar Suahasil.
Sementara itu, menurut Febrio, otoritas fiskal tahun depan akan mengumpulkan penerimaan dan menggunakannya semaksimal mungkin untuk mendorong konsumsi rumah tangga. Selain APBN, kemampuan dunia usaha dalam menyerap tenaga kerja juga jadi pendorong konsumsi rumah tangga yang efektif.
”Dunia usaha akan semakin bergeliat saat kondisi ekonomi makro, inflasi, dan pertumbuhan ekonomi stabil. Indonesia saat ini sudah berada di arah pemulihan yang benar,” ucap Febrio.
Kendati pemulihan ekonomi Indonesia akan berlanjut pada tahun 2022, pemerintah tetap mewaspadai kondisi ekonomi global yang masih dibayangi ketidakpastian akibat penyesuaian kebijakan moneter antarnegara.
Dari pelaku usaha, Hariyadi Sukamdani menilai, untuk menggenjot ekspor domestik, dunia usaha juga membutuhkan fasilitas pelonggaran dari negara mitra dagang. Salah satu contoh kebijakan yang cukup berdampak pada peningkatan ekspor adalah fasilitas generalized system of preference (GSP) dari Pemerintah AS.
GSP merupakan fasilitas perdagangan berupa pembebasan tarif bea masuk yang diberikan secara unilateral oleh Pemerintah AS kepada negara berkembang. Pemerintah AS meluncurkan program ini secara perdana pada 1974. Adapun Indonesia baru mendapat fasilitas pembebasan bea masuk ini pada 1980. ”Di periode Januari hingga Mei, ekspor dengan menggunakan fasilitas GSP tercatat sebesar 1,48 miliar dollar AS,” kata Hariyadi.
Sementara itu, Shinta Kamdani menyoroti kinerja pemerintah yang kurang dapat memanfaatkan momentum meningkatnya tensi dagang antara AS dan China. Ini terlihat dari banyaknya perusahaan AS dari China ke Vietnam, alih-alih ke Indonesia.
Shinta menuturkan, seperti yang tertuang dalam laporan Bank Dunia, setidaknya terdapat lima dari delapan pabrik yang pindah dari China lebih memilih masuk ke pasar Vietnam dibandingkan negara Asia Tenggara lainnya, termasuk Indonesia. ”Kemampuan Indonesia dalam memanfaatkan situasi global masih perlu terus diasah agar bisa lebih banyak terlibat dalam rantai pasok global,” ujarnya.
Meski begitu, Senior Vice President Global Initiatives Kamar Dagang AS Gary Litman menyebut, Pemerintah AS tidak akan pandang bulu terhadap setiap negara di dunia terkait penerapan kebijakan perdagangan mereka. ”Indonesia tidak harus bersaing dengan Vietnam dalam menarik investasi karena setiap korporasi punya kriteria dan kebutuhan masing-masing untuk berinvestasi,” katanya.
Litman justru mengajak Indonesia untuk terus bekerja sama agar dapat meningkatkan permintaan, sebab ia menilai Indonesia memiliki potensi besar. ”Bisa menjadi presidensi dalam G-20 adalah bukti bahwa Indonesia adalah negara dengan potensi ekonomi besar,” ujarnya.