Ekonomi Hijau Akan Mengalirkan Arus Investasi Global
Otoritas moneter dan sistem keuangan kini telah bergerak berdasarkan kewenangan masing-masing untuk mendorong kelancaran transisi ekonomi Indonesia menuju ekonomi hijau.
Oleh
Dimas Waraditya Nugraha
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Perekonomian rendah karbon diyakini akan membuka keran aliran masuk investasi global sehingga dapat mengakselerasi pertumbuhan ekonomi nasional. Otoritas moneter dan sistem keuangan telah bergerak berdasarkan kewenangan masing-masing demi kelancaran transisi ekonomi Indonesia menuju ekonomi hijau.
Deputi Gubernur Senior Bank Indonesia (BI) Destry Damayanti mengatakan, tuntutan global terhadap ekonomi hijau dan keuangan berkelanjutan semakin kuat. Kondisi ini membuat perekonomian Indonesia bakal rentan bila terlambat melakukan transisi menuju ekonomi hijau.
”Transisi menuju ekonomi rendah karbon dapat mengundang investasi global ke Indonesia yang mendorong pertumbuhan ekonomi dan cadangan devisa,” ujar Destry dalam webinar bertema ”Pungutan Keuangan Hijau dalam Menjawab Tantangan dan Peluang Perubahan Iklim bagi Stabilitas Sistem Keuangan,” Rabu (8/12/2021).
Transisi menuju ekonomi rendah karbon dapat mengundang investasi global ke Indonesia yang mendorong pertumbuhan ekonomi dan cadangan devisa. (Destry Damayanti)
Ekonomi hijau atau green economy adalah suatu gagasan ekonomi yang bertujuan untuk meningkatkan kesejahteraan dan kesetaraan sosial masyarakat, sekaligus mengurangi risiko kerusakan lingkungan secara signifikan.
Secara garis besar, konsepsi ekonomi hijau mengacu pada beberapa aspek mendasar seperti pengurangan emisi, penghematan sumber daya, transisi berbasis energi terbarukan, hingga berlandaskan keadilan sosial.
Adapun sistem keuangan berkelanjutan diartikan sebagai dukungan menyeluruh dari industri jasa keuangan untuk pertumbuhan ekonomi berkelanjutan yang dihasilkan dari keselarasan antara kepentingan ekonomi, sosial, dan lingkungan hidup.
Destry menambahkan, berdasarkan penghitungan menggunakan metode Tingkat Pertumbuhan Tahunan Majemuk (Compound Annual Growth Rate/CAGR), kenaikan produk domestik bruto (PDB) diproyeksikan bisa mencapai 0,62 persen per tahun bila transisi ekonomi hijau serta sistem keuangan berkelanjutan berlangsung mulus.
Di samping itu, tambahan kenaikan cadangan devisa diproyeksikan mencapai 51,9 miliar dolar AS.
Dalam rangka mendukung transisi dan ekonomi hijau, lanjut Destry, dalam 10 tahun terakhir BI telah melakukan sejumlah inisiatif hijau.
Inisiatif ini dilakukan dalam bentuk kerja sama dengan berbagai pihak di dalam negeri, khususnya kementerian dan otoritas, seperti Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK), Otoritas Jasa Keuangan (OJK), hingga beberapa forum keuangan hijau di luar negeri, seperti network for greening the financial system.
Pada inisiatif kebijakan, Destry menyampaikan, BI telah meluncurkan kebijakan insentif bagi pembiayaan green property dan kendaraan yang berwawasan lingkungan. Sementara pada sisi internal BI juga mencoba melakukan inisiatif seperti pengalokasian infestasi berkelanjutan dalam bentuk penempatan portofolio cadangan devisa hijau.
”Ke depannya, BI akan terus melanjutkan penguatan kebijakan keuangan hijau yang salah satunya ditujukan untuk memitigasi risiko terhadap stabilitas sistem keuangan,” ujarnya.
Kebijakan tersebut di antaranya dilakukan melalui penguatan kebijakan makro prudensial, pendalaman pasar keuangan, pengembangan ekonomi dan keuangan inkusif, hingga transformasi kelembagaan BI yang keseluruhannya memperhatikan lingkungan.
”BI juga akan terus bersinergi melakukan koordinasi yang erat dengan Komite Stabilitas Sistem Keuangan, dengan lembaga, dan tentunya dengan para pemangku terkait,” ujar Destry.
Sementara itu, Perencana Ahli Utama atau PLT Deputi Bidang Kemaritiman dan Sumber Daya Alam Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) Arifin Rudiyanto mengatakan berdasarkan hasil studi Bappenas, potensi kerugian akibat perubahan iklim bisa mencapai Rp 115 triliun terhadap produk domestik bruto (PDB) di tahun 2024.
”Kerugian tersebut dapat ditekan dengan adanya intervensi kebijakan ketahanan iklim, sehingga kerugian ekonomi dapat berkurang menjadi Rp 57 triliun,” tutur Arifin.
Arifin mengatakan, fenomena perubahan iklim akan berisiko terhadap pencapaian pembangunan berkelanjutan, baik terkait ketahanan pangan, pembangunan kesehatan, infrastruktur, maupun ekosistem.
Untuk memitigasi hal tersebut, pemerintah berkomitmen untuk mencapai pembangunan berkelanjutan. Ini selaras dengan prinsip Sustainable Development Goals (SDGs) tentang perubahan iklim sebagai fondasi dari ketiga pilar pembangunan berkelanjutan, yakni pilar ekonomi, sosial, dan lingkungan.
”Upaya penyeimbang ketiga pilar tersebut akan membuat pertumbuhan ekonomi Indonesia terangkat dalam jangka menengah dan panjang, agar kita dapat lepas dari middle income trap sebelum 2045,” kata Arifin.
Dalam kesempatan yang sama, Direktur Grup Kebijakan Sektor Jasa Keuangan Terintegrasi OJK, Greatman Rajab mengatakan, terdapat dua tantangan yang tidak ringan bagi Indonesia dalam bertransisi ke arah ekonomi hijau, antara lain terkait dana yang tidak sedikit dan proyek berkelanjutan yang masih terbatas.
”Selain terbatas, kita juga membutuhkan dana yang sangat besar, signifikan sekali angkanya, mencapai Rp 745 triliun per tahun hingga 2030,” katanya.
Sebagai otoritas sistem keuangan, sesuai kewenangannya OJK mendukung penuh kebijakan yang telah dan akan diambil pemerintah untuk memastikan kelancaran transisi ini. Kebijakan OJK akan mendorong sektor jasa keuangan agar dapat mengoptimalkan peran dan kapasitasnya di sektor hijau, termasuk mendukung pengurangan emisi karbon di Indonesia.
Komitmen OJK dalam mendukung pemerintah ini, lanjut Greatman, telah dituangkan dalam peta jalan keuangan berkelanjutan tahap 1 dengan periode 2015-2019 dan peta jalan keuangan berkelanjutan tahap 2 periode 2021-2025. Dalam peta jalan tersebut terdapat beberapa kebijakan yang mendukung pengembangan keuangan berkelanjutan.