Pemerintah Tampung Masukan Daerah Terkait UU Cipta Kerja
Satuan Tugas Percepatan Sosialisasi UU Cipta Kerja menggelar pertemuan di Batam. Hal itu untuk menampung masukan dari pemerintah daerah terkait implementasi dan upaya perbaikan UU Cipta Kerja.
Oleh
PANDU WIYOGA
·3 menit baca
Kompas/Priyombodo
Massa buruh perempuan dari Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia mengikuti unjuk rasa bersama massa buruh dari berbagai serikat di dekat patung kuda Arjuna Wijaya, Jakarta Pusat saat berunjuk rasa, Rabu (8/12/2021).
BATAM, KOMPAS — Satuan Tugas Percepatan Sosialisasi Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja menggelar pertemuan di Batam, Kepulauan Riau, Rabu (8/12/2021). Hal itu untuk menampung masukan terkait pelaksanaan UU Cipta Kerja dari pemerintah daerah di Kepulauan Riau, Riau, Bangka Belitung, dan Lampung.
Sasaran sosialisasi UU Cipta Kerja di Batam adalah pemerintah daerah di Provinsi Kepulauan Riau, Riau, Bangka Belitung, dan Lampung. Lokakarya itu merupakan pertemuan keenam yang digelar Satgas UU Ciptaker. Sebelumnya, pertemuan serupa juga diselenggarakan di Bekasi, Bandung, Surakarta, Surabaya, dan Medan.
Sekretaris Satgas UU Cipta Kerja Arif Budimanta, di Batam, mengatakan, lokakarya itu diselenggarakan untuk melihat implementasi UU Cipta Kerja di tingkat daerah. Dalam pertemuan itu, pemerintah daerah juga diajak bersama-sama mencari jalan keluar untuk menyelesaikan masalah-masalah yang dihadapi dalam upaya implementasi UU Cipta Kerja.
”Ini adalah strategi double track yang dilakukan pemerintah. Yang pertama untuk melihat implementasi UU Ciptaker dan kedua meminta masukan terkait perbaikan UU Cipta Kerja yang saat ini sedang disiapkan oleh pemerintah,” kata Arif yang merupakan juga Staf Khusus Presiden Bidang Ekonomi.
KOMPAS/PRAYOGI DWI SULISTYO
Arif Budimanta
Saat ini Mahkamah Konstitusi (MK) telah memutuskan UU Cipta Kerja inkonstitusional bersyarat. Dalam amar putusannya, MK memerintahkan pemerintah dan DPR agar melakukan perbaikan UU Cipta Kerja paling lama dua tahun sejak putusan keluar. Jika dalam tenggang waktu itu tidak dilakukan perbaikan, UU Cipta Kerja menjadi inkonstitusional secara permanen.
Terkait perintah putusan MK tersebut, pemerintah dan DPR akan mengupayakan agar revisi UU Cipta Kerja masuk dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas) Prioritas Tahun 2022. ”Sesuai dengan arahan Presiden, pemerintah akan bekerja dengan cepat. Pemerintah dan DPR sudah membahas upaya-upaya perbaikannya,” ujar Arif.
Pemerintah dan DPR sudah membahas upaya-upaya perbaikannya. (Arif Budimanta)
Wakil Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Eddy Omar Sharif Hiariej mengatakan, pemerintah menghadapi beberapa tantangan saat UU Cipta Kerja disusun. Waktu itu, pada 2019, terdapat 43,5 juta orang yang tidak bekerja secara penuh. Jumlah itu sekitar 32,6 persen dari total angkatan kerja.
Selain itu, pemerintah juga tidak bisa optimal menciptakan lapangan kerja karena terkendala birokrasi perizinan. Dalam laporan kemudahan berusaha (ease of doing business/EoDB) yang disusun Bank Dunia pada 2019, Indonesia berada di peringkat ke-73 dari 190 negara. Indonesia tertinggal jauh dari Singapura yang berada di peringkat ke-2, Malaysia di peringkat ke-15, dan Thailand di peringkat ke-27.
Menurut Eddy, dengan adanya UU Cipta Kerja diharapkan tercipta peningkatan lapangan kerja dengan memberikan kemudahan, pelindungan, dan pemberdayaan terhadap sektor koperasi dan usaha kecil, serta industri dan perdagangan nasional. Selain itu, UU Cipta Kerja juga akan menjamin hak setiap warga negara untuk memperoleh pekerjaan, serta mendapat imbalan dan perlakuan yang adil dan layak dalam hubungan kerja.
Dalam kesempatan yang sama, Kepala Badan Pengusahaan (BP) Batam Muhammad Rudi mengatakan, pihaknya sudah melaksanakan UU Cipta Kerja dengan menjalankan pelayanan izin berbasis elektronik yang dinamai Indonesia Batam Online Single Submission (IBOSS). Sejak Agustus-Desember 2021, BP Batam telah mengeluarkan lebih dari 385 izin berusaha.
Menurut Rudi, BP Batam diberi kewenangan mengeluarkan 67 jenis perizinan dari 8 sektor, yakni transportasi bidang kepelabuhanan, kesehatan, perdagangan, perindustrian, sumber daya air, limbah dan lingkungan, kehutanan, energi dan sumber daya mineral, serta kelautan dan perikanan.
”Soal perizinan tidak ada kendala di Batam, semua sudah berjalan baik. Yang belum terlaksana hanya tinggal satu, yakni pemberian izin hutan lindung dan lingkungan masih di pemerintah pusat. Kami sedang berusaha agar wewenang itu segera diberikan ke Kota Batam,” kata Rudi.