Revisi UU Cipta Kerja tidak cukup dimaknai sebagai formalitas meluruskan proses formil tanpa menyentuh perbaikan substansi. Putusan MK harus dijadikan momentum membenahi UU Cipta Kerja secara komprehensif.
Oleh
Agnes Theodora
·4 menit baca
Putusan Mahkamah Konstitusi bahwa Undang-Undang Cipta Kerja cacat formil merupakan teguran serius yang seharusnya disikapi sungguh-sungguh. Namun, pernyataan sejumlah menteri, elite politik, dan pengusaha mengindikasikan bahwa perbaikan regulasi untuk reformasi struktural ekonomi itu lagi-lagi akan dibahas secepat kilat.
Hal itu salah satunya disampaikan oleh Menteri Investasi Bahlil Lahadalia dalam konferensi pers virtual, Rabu (1/12/2021), yang khusus digelar untuk menyikapi hasil putusan Mahkamah Konstitusi (MK) atas UU Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja.
Dalam kesempatan itu, Bahlil mengatakan, para menteri sudah menghadap Presiden Joko Widodo, yang memberi arahan agar revisi UU Cipta Kerja bisa cepat diselesaikan. Menurut Bahlil, ”Mungkin di awal tahun depan (revisi UU) sudah bisa kita kebut untuk selesai.”
Perintah MK untuk merevisi UU Cipta Kerja juga dimaknai sejumlah elite politik dan pengusaha bahwa pembenahan regulasi sapu jagat itu cukup dilakukan secara formil. Artinya, revisi tidak perlu menyentuh substansi/materi UU Cipta Kerja.
Mereka menilai, UU Cipta Kerja tak perlu lagi direvisi kalau metode ”omnibus law” sudah disisipkan lewat revisi UU Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan (UU PPP). Dengan revisi UU PPP, mereka menilai pelanggaran konstitusional di UU Cipta Kerja dengan sendirinya sudah dikoreksi.
Putusan MK memang kompromistis dan memicu polemik. Namun, perintah MK sebenarnya jelas. UU Cipta Kerja harus dibenahi karena cacat formil. Waktu yang diberikan pun cukup lama, yakni dua tahun. Artinya, revisi UU harus dilakukan serius sampai ke substansi, tidak ala kadarnya dan tidak terburu-buru.
Sesuai isi pertimbangan MK, kelemahan formil dalam penyusunan UU Cipta Kerja tidak hanya sebatas pada absennya norma ”omnibus law” dalam UU PPP. Tetapi, juga minimnya partisipasi publik yang bermakna (meaningful participation) dalam proses pembentukan UU.
Partisipasi publik yang bermakna itu bukan sekadar sosialisasi UU setelah naskah akademik dan draf rancangan UU sudah rampung dan tinggal diperdebatkan di level elite oleh DPR dan pemerintah. Bukan pula hanya berupa tayangan berjam-jam live streaming rapat pembahasan RUU, melainkan adanya dialog sejak proses penyusunan RUU untuk mendengar dan mempertimbangkan kepentingan dan suara masyarakat.
Tak dimungkiri, sejumlah norma di UU Cipta Kerja diperlukan untuk mendorong reformasi perekonomian. Berbagai terobosan untuk memangkas birokrasi dan tumpang tindih regulasi dalam perizinan berinvestasi diperlukan untuk memperbaiki iklim berusaha. Investasi, jika dijalankan dengan prudent, dapat menjadi instrumen untuk menyejahterakan masyarakat.
UU Cipta Kerja juga memberdayakan pelaku usaha mikro kecil dan menengah (UMKM). Pelaku UMKM lebih mudah mendapat izin berusaha, akses pasar dibuka lebih lebar dengan keharusan melibatkan UMKM lokal dalam rantai pasok investasi besar, serta memasukkan produk-produk UMKM dalam pengadaan barang/jasa pemerintah.
Kontradiktif
Namun, atas nama investasi, UU Cipta Kerja ikut menerabas berbagai aturan yang selama ini melindungi lingkungan hidup, hak dan posisi tawar pekerja, serta kualitas hidup masyarakat. Sejumlah aturan justru menjauh dari prinsip ekonomi global yang kini semakin mengedepankan aspek perlindungan sosial, tata kelola yang baik, dan kelestarian lingkungan atau ESG (environment, social, and good governance).
Beberapa ketentuan bertentangan dengan komitmen Indonesia untuk bertransisi menuju ekonomi hijau ramah lingkungan. Sebut saja, sistem perizinan berusaha berbasis risiko (risk-based approach) yang melonggarkan perizinan usaha terkait analisis mengenai dampak lingkungan (amdal) dan membatasi keterlibatan masyarakat, sampai dispensasi pada pengusaha batubara dengan dikeluarkannya abu sisa pembakaran batubara dari limbah bahan berbahaya dan beracun (B3).
Dari segi ketenagakerjaan, beberapa ketentuan, seperti perombakan sistem pengupahan yang memunculkan standar upah lebih rendah, penurunan pesangon, keleluasaan mempekerjakan buruh kontrak (PKWT) dan borongan (outsourcing), bisa jadi cepat menarik investor, yang kerap mengeluhkan biaya buruh di Indonesia.
Namun, dalam jangka panjang, ketentuan itu akan semakin memukul kesejahteraan dan daya beli pekerja. Satu tahun setelah UU Cipta Kerja resmi berlaku, hal ini mulai nyata dirasakan buruh. Terutama, di tengah dampak pandemi Covid-19 yang semakin memukul kesejahteraan masyarakat pekerja. Padahal, sebagai negara dengan jumlah penduduk membeludak, perekonomian Indonesia sangat bergantung pada konsumsi masyarakat.
Beberapa norma di UU Cipta Kerja juga justru membuka pintu impor pangan yang lebih lebar. Ketentuan-ketentuan itu berpotensi menekan sumber penghidupan petani, peternak, dan nelayan kecil, serta membuat Indonesia semakin bergantung pada pangan impor. Cita-cita kedaulatan pangan semakin sulit dicapai.
Demi pertumbuhan ekonomi yang berkualitas, perbaikan UU Cipta Kerja tak cukup dimaknai sebagai formalitas untuk meluruskan proses formil saja. Revisi UU sapu jagat itu harus menyentuh substansi, merombak pasal-pasal problematik yang selama ini menjadi kekhawatiran berbagai elemen.
Kekhawatiran tentang kekosongan hukum selama proses revisi telah dijawab lewat putusan MK yang kompromistis, yang menyatakan bahwa UU Cipta Kerja masih berlaku selama masa tenggang dua tahun. Kendati hal ini menuai polemik mengingat UU sebenarnya sudah dinyatakan cacat formil dan inkonstitusional, tetapi di sini letak kompromi itu. Artinya, tidak ada lagi alasan untuk tidak membenahi substansi UU secara lebih serius dengan melibatkan partisipasi publik yang lebih deliberatif.
Putusan MK, meski membingungkan dan menuai polemik, dapat menjadi momentum untuk membenahi UU Cipta Kerja agar lebih bermanfaat bagi perekonomian, kesejahteraan masyarakat, dan lingkungan hidup. Revisi UU Cipta Kerja yang setengah hati akan melahirkan pembangunan ekonomi yang juga setengah hati. Kita tentu tidak ingin itu terjadi.