Pemerintah Upayakan Hasil Konkret dan Tindakan Nyata
Pemerintah berupaya memastikan agar forum-forum negara anggota kelompok 20 atau G-20 di bawah presidensi Indonesia dapat menghasilkan komitmen atas tindakan nyata dan konkret.
Oleh
Dimas Waraditya Nugraha
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Pemerintah berupaya memastikan agar forum-forum negara anggota kelompok 20 atau G-20 di bawah presidensi Indonesia dapat menghasilkan komitmen atas tindakan nyata dan konkret. Inisiatif konkret dan tindakan nyata dari forum G-20 akan menentukan pemulihan dunia pasca-pandemi Covid-19.
Kepala Badan Kebijakan Fiskal (BKF) Kementerian Keuangan Febrio N Kacaribu menuturkan, terdapat tiga agenda utama yang akan diusung Indonesia selama periode menjadi ketua presidensi dari forum-forum pertemuan negara yang tergabung dalam kelompok G-20.
Mengusung tema ”Recover Together, Recover Stronger”, ketiga isu utama yang akan menjadi pembahasan adalah pemulihan kesehatan serentak di semua negara, pembiayaan dalam menghadapi perubahan iklim, dan mekanisme perpajakan internasional.
”Indonesia tidak hanya mengharapkan diskusi wacana dalam forum-forum G-20, tetapi juga harus ada keputusan dan kesepakatan nyata,” kata Febrio dalam webinar yang diselanggarakan Kontan bertajuk ”Presidensi G-20, Manfaat bagi Indonesia dan Dunia”, Senin (6/12/2021).
Pemerintah, katanya, memastikan agar pertemuan-pertemuan G-20 bisa memberikan hasil yang nyata, yang puncaknya pada Konferensi Tingkat Tinggi G-20 pada Oktober 2022 di Bali.
Melalui presidensi Indonesia, agenda kesehatan akan memastikan vaksinasi seluruh dunia akan merata. Febrio menyatakan, pemulihan ekonomi tidak akan mungkin terjadi bila vaksinasi antarsatu negara berbeda.
”Katakanlah vaksinasinya ini sudah cukup di satu negara, di Afrika tidak cukup, lahir varian baru seperti sekarang Omicorn. Jadi tidak mungkin kita tidak pulih bersama. Inilah pesan yang harus kita dorong supaya semua negara melihat ini, berarti vaksin harus merata,” kata Febrio.
Terkait perubahan iklim, presidensi akan mengoordinasikan pembiayaan perubahan iklim untuk mencegah kenaikan suhu global 1,5-2 derajat celsius. G-20 akan bersama mengedepankan proyek-proyek yang sifatnya berkelanjutan.
Sementara itu, terkait perpajakan internasional, sudah ada hasil berupa dua pilar yang telah disepakati saat presidensi Italia.
Pilar pertama berupa kesepakatan bahwa negara pasar dari perusahaan multinasional walaupun tidak memiliki badan usaha tetap memiliki hak untuk menarik pajak perusahaan tersebut. Sementara pilar kedua terkait minimum tax rate global untuk mengatasi penghindaran pajak dan memperbaiki tax base.
Adapun pada gelaran KTT G-20 tahun depan, Febrio menilai agenda global yang akan diusung adalah pembangunan berkelanjutan dan inklusif. Konsep ini sejalan dengan kepentingan nasional Indonesia yang berada di posisi ke-16 sebagai negara dengan perekonomian terbesar dunia dari sisi produk domestik bruto (PDB).
Secara umum, G-20 merepresentasikan sekitar 60 persen populasi dunia, mencakup 75 persen perdagangan global, dan 80 persen PDB dunia.
Posisi strategis
Menurut Febrio, posisi Indonesia dalam presidensi G-20 cukup kuat dan strategis mengingat pertumbuhan ekonomi Indonesia tidak pernah berada di bawah perekonomian global dalam 20 tahun terakhir. Hal ini membuat posisi Indonesia dalam perekonomian global diperhitungkan.
”Dalam kurun 15-20 tahun sebelum adanya pandemi Covid-19, pertumbuhan ekonomi Indonesia selalu tumbuh di kisaran 5 persen. Hal tersebutlah yang telah meningkatkan kepercayaan diri dan modal untuk menunjukkan bahwa Indonesia bisa dan mampu memimpin G-20,” ujarnya.
Dalam kesempatan yang sama, Deputi Gubernur Bank Indonesia Dody Budi Waluyo menuturkan, pembahasan prioritas dalam pertemuan-pertemuan G-20 setahun ke depan adalah strategi keluar yang perlu disiapkan untuk memberikan dukungan bagi pemulihan global pascapandemi Covid-19.
Setelah strategi keluar untuk mendukung pemulihan global, kata Dody, pembahasan selanjutnya adalah strategi untuk mengatasi efek berantai terkait dampak dari upaya pemulihan guna mengamankan pertumbuhan ekonomi ke depan.
”Dua agenda ini telah banyak disambut negara anggota G-20 dan kami yakini akan lebih mudah untuk mencapai konsensus,” kata Dody.
Di luar kedua agenda tersebut, BI pun menekankan pentingnya mengangkat kembali pembahasan mata uang digital atau central bank digital currency (CBDC) secara lebih serius. ”Isu ini juga akan banyak diangkat dan mendapat dukungan dari negara lain. Karena ada beberapa risiko yang berdampak serius terhadap ekonomi makro jika tidak diantisipasi,” ujar Dody.
Dody menekankan, risiko utama jika tidak diantisipasinya keberadaan mata uang digital termasuk keharusan adanya rupiah digital adalah tidak terdatanya dengan baik aliran uang yang berada di masyarakat.
”Jika aliran uang itu tidak terdata dengan baik, maka dipastikannya akan sangat berpengaruh terhadap pola permintaan atau konsumsi masyarakat, khususnya berkaitan dengan inflasi,” ujarnya.
Negara berkembang
Ekonom Lembaga Penyelidikan Ekonomi dan Masyarakat Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia (LPEM FEB UI) Teuku Riefky menilai, presidensi Indonesia pada G-20 dapat menjadi momentum bagi Indonesia untuk menentukan dan mendorong diskusi bagi kepentingan negara berkembang.
”G-20 ini adalah satu-satunya forum yang mempertemukan negara-negara berkembang yang memiliki pengaruh kuat, seperti China, Indonesia dengan negara maju yang memang mereka ini punya kekuatan dalam berbagi teknologi dan pengetahuan,” ujarnya.
Di dalam forum G-20, terdapat dua pilar kerja, yakni pilar keuangan (finance track) dan pilar non-keuangan (sherpa track). Di bawah pilar sherpa track, forum-forum G-20 akan membahas isu yang lebih luas, seperti perubahan iklim, pembangunan, perdagangan, energi, antikorupsi, dan geopolitik.
Di sisi lain, Riefky menekankan pentingnya mendorong komitmen bersama dari seluruh negara G-20 untuk menuangkan hasil diskusi menjadi rencana aksi yang konkret yang disepakati seluruh negara.
”Presidensi G-20 Indonesia akan dijadikan acuan terhadap penyelenggaraan pertemuan-pertemuan G-20 selanjutnya sehingga penting bagi Indonesia untuk menetapkan agenda yang progresif tetapi realistis dan inklusif,” ujarnya.