Satuan Tugas Waspada Investasi menutup entitas yang menawarkan transaksi aset kripto. Entitas itu bodong karena tidak berizin dari Badan Pengawas Perdagangan Berjangka Komoditi Kementerian Perdagangan.
Oleh
Benediktus Krisna Yogatama dan Joice Tauris Santi
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Satuan Tugas Waspada Investasi meminta masyarakat mewaspadai penawaran transaksi aset kripto dari entitas bodong yang tidak terdaftar di Badan Pengawas Perdagangan Berjangka Komoditi atau Bappebti Kementerian Perdagangan. Lantaran tidak terdaftar, entitas tersebut luput dari pengawasan dan berpotensi merugikan nasabah.
Ketua Satgas Waspada Investasi (SWI) Tongam L Tobing mengatakan, pihaknya telah menghentikan satu entitas, yaitu PT Rechain Digital Indonesia, yang memperdagangkan aset kripto Vidy Coin dan Vidyx tanpa izin.
”Hati-hati dengan penawaran investasi aset kripto dengan keuntungan tetap karena ditunggangi oleh pihak-pihak yang tidak bertanggung jawab,” ujar Tongam dalam keterangan resmi, Jumat (3/12/2021).
Ia menambahkan, sebelum berinvestasi kripto, masyarakat harus melihat daftar pedagang kripto dan daftar aset kripto yang terdaftar di Bappebti. Bappebti adalah otoritas yang berwenang mengatur dan mengawasi kripto sesuai dengan Peraturan Bappebti Nomor 7 Tahun 2020 tentang Penetapan Daftar Aset Kripto yang Dapat Diperdagangkan di Pasar Fisik Aset Kripto.
Saat ini, jumlah investor pada perdagangan aset kripto hingga Oktober 2021 telah mencapai 9,5 juta orang. Transaksi pada aset ini semakin banyak sehingga pemerintah beranggapan para investor memerlukan perlindungan.
”Karena sudah banyak yang bertransaksi, pemerintah mengeluarkan aturan yang membentuk bursa fisik aset kripto untuk melindungi investor,” kata Tirta Karma Senjaya, Kepala Biro Pembinaan dan Pengembangan Bappebti Kementerian Perdagangan, dalam pembukaan The Kripto Odyssey (TKO) Summit 2021, Sabtu (4/12/2021).
Dia juga menjelaskan bahwa pemerintah sudah membuat banyak aturan untuk mencegah transaksi kripto disalahgunakan, seperti dijadikan sarana pencucian uang, pembiayaan terorisme, dan kejahatan keuangan lainnya.
Pemerintah sudah dalam tahap menyeleksi dewan direksi untuk bursa aset kripto yang akan diluncurkan tahun ini. Sudah ada 13 pedagang aset kripto yang berada dalam daftar Bappebti dan nantinya dapat bertransaksi pada bursa tersebut.
Kepercayaan dan transparansi sudah menjadi nilai dari Tokocrypto, kata CEO Tokocrypto Pang Xue Kai. ”Untuk mencapai legitimasi tersebut, diperlukan transparansi dan tingkat kepercayaan yang sangat tinggi,” kata Pang. Menurut dia, platform transaksi Tokocrypto sudah memiliki 2 juta pengguna.
Dalam kesempatan tersebut, Pang mengatakan, Tokocrypto akan bekerja sama dengan pemerintah sehingga aset kripto memiliki legitimasi. ”Kami berterima kasih kepada Bappebti karena dukungan yang konsisten,” ucapnya.
Tokocrypto juga akan menekankan edukasi kepada semua lapisan masyarakat mengenai perdagangan aset kripto. Salah satu fokus Pang adalah memanfaatkan teknologi blockchain untuk mempermudah transaksi. Dia mencontohkan, penggalangan dana dapat dilakukan dengan sangat mudah dengan aset kripto.
Setelah penggalangan dana, penyaluran dana pun dapat dilakukan dengan mudah dan transparan dengan bantuan teknologi blokchain. Menurut dia, pengunaan blockchain dapat digunakan di berbagai sektor.
Investasi bodong
Selain satu entitas pedagang aset kripto, yakni PT Rechain Digital Indonesia, SWI juga menghentikan lima kegiatan usaha yang diduga money game dan tiga kegiatan usaha robot trading tanpa izin. Selama November 2021, SWI juga menutup 103 entitas pinjaman daring ilegal.
Sejak 2018 sampai November 2021, Satgas sudah menutup 3.734 pinjaman daring ilegal. SWI mendorong penegakan hukum kepada para pelaku pinjaman daring ilegal dengan terus-menerus melakukan pemblokiran situs dan aplikasi agar masyarakat tidak ada yang mengakses.
Anggota Dewan Komisioner Otoritas Jasa Keuangan (OJK) Bidang Edukasi dan Perlindungan Konsumen, Tirta Segara, menjelaskan, OJK banyak menemukan entitas pinjaman daring ilegal dan investasi bodong yang berkeliaran menawarkan penipuan selama pandemi Covid-19. Sejak Januari sampai Oktober 2020, tercatat ada 425 entitas investasi bodong, 1.734 pinjaman daring ilegal, dan 88 entitas pegadaian bodong.
”Ada saja pihak tak bertanggung jawab memanfaatkan kondisi masyarakat yang membutuhkan dana cepat, yang tergoda iming-iming imbal hasil besar, di kala pandemi seperti ini,” kata Tirta pada acara konferensi Otoritas Jasa Keuangan-Organisasi untuk Kerja Sama dan Pembangunan Ekonomi (OECD) untuk inklusi keuangan, perlindungan konsumen jasa keuangan, dan literasi keuangan di Asia dan Pasifik 2021, pekan lalu.
Tirta dan Tongam mengatakan, peningkatan literasi keuangan kepada masyarakat secara terus-menerus menjadi kunci untuk memberantas entitas ilegal. ”Bila sudah ada keterampilan dan pemahaman tentang bagaimana mekanisme layanan jasa keuangan dan memahami potensi risiko, masyarakat bisa menjadi lebih bijak dan terlindungi dari iming-iming entitas abal-abal ini,” ujar Tirta.
Tongam mengingatkan masyarakat untuk memahami tiga hal sebelum melakukan investasi. Pertama, pastikan pihak yang menawarkan investasi tersebut memiliki perizinan dari otoritas yang berwenang sesuai dengan kegiatan usaha yang dijalankan.
Kedua, pastikan pihak yang menawarkan produk investasi memiliki izin dalam menawarkan produk investasi atau tercatat sebagai mitra pemasar. Adapun yang ketiga, jika nasabah melihat pencantuman logo instansi atau lembaga pemerintah dalam media penawarannya, pastikan bahwa itu telah dilakukan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Dalam berbagai kesempatan, Ketua Yayasan Perlindungan Konsumen Indonesia Tulus Abadi menekankan untuk selalu berpedoman pada 2 L sebelum berinvestasi, yaitu legalitas dan logis. Masyarakat harus memastikan legalitas perusahaan tersebut sebelum memutuskan investasi. Selain itu, masyarakat juga harus berpikir logis dan menghitung dengan baik apakah tawaran itu masuk akal atau tidak.
”Investasi bodong selalu menawarkan imbal hasil yang sangat tinggi dan tidak selalu mengatakan ada risiko kerugian,” ucap Tulus.