Tak Cuma Insentif, Investor Pun Butuh Jaminan Keberlanjutan Usaha
Pelaku industri menilai, insentif yang disiapkan pemerintah sudah menarik. Namun, pelaku industri membutuhkan lebih dari itu, yaitu kepastian berusaha dan kesempatan bersaing yang adil untuk menghadapi produk impor.
Oleh
Agnes Theodora
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Pengembangan kawasan ekonomi khusus tidak hanya bergantung pada fasilitas insentif fiskal dan nonfiskal yang ditawarkan pemerintah kepada investor. Lebih dari itu, pelaku industri pun membutuhkan jaminan keberlanjutan usaha dan kesempatan bersaing yang adil di tengah serbuan produk impor.
Menurut Ketua Asosiasi Industri Besi dan Baja Nasional (IISIA) Silmy Karim, pelaku industri yang berinvestasi di kawasan ekonomi khusus dan kawasan industri membutuhkan jaminan pengembalian atas modal yang sudah dikeluarkan. Seringkali, hal ini sulit dicapai karena pelaku industri kewalahan bersaing dengan produk impor.
Pengembangan kawasan ekonomi khusus (KEK) sejauh ini lebih banyak fokus pada upaya menarik investasi, baik melalui insentif fiskal dan nonfiskal maupun fasilitas lainnya yang bisa mengurangi biaya logistik dan produksi.
Menurut Silmy, dari segi insentif, fasilitas yang disiapkan pemerintah sudah menarik. Namun, pelaku industri membutuhkan lebih dari itu, yaitu kepastian berusaha dan kesempatan bersaing yang adil (level playing field) dengan produk-produk impor.
”Kawasan ekonomi khusus tidak hanya tentang menarik investasi dan mendorong industrialisasi, tetapi juga bagaimana pemerintah bisa mendukung keberlanjutan investasi yang sudah ditanamkan itu,” ujar Silmy, yang juga Direktur Utama PT Krakatau Steel, dalam acara Kompastalks ”Tantangan dan Solusi Pengembangan KEK untuk Mendorong Industrialisasi”, Kamis (2/12/2021).
Turut hadir sebagai pembicara Wakil Gubernur Jawa Timur Emil Dardak, Direktur Utama PT Pelindo Arif Suhartono, Direktur Perwilayahan Industri Kementerian Perindustrian Adie Rochmanto Pandiangan, dan Direktur Utama PT Berkah Kawasan Manyar Sejahtera Bambang Soetiono Soedijanto.
Silmy mengatakan, tantangan itu terutama dirasakan oleh industri baja yang dari tahun ke tahun harus bersaing dengan tingginya impor baja. Pada periode 2016-2019, impor produk baja terus mengalami peningkatan, sebelum kemudian sempat turun pada 2020 akibat terdampak pandemi Covid-19.
Pada triwulan III-2021, volume impor baja meningkat sebesar 20 persen dibandingkan periode yang sama tahun 2020, dari 3,6 juta ton menjadi 4,3 juta ton. Impor baja paduan mencapai 1,6 juta ton atau 37 persen dari total impor baja. Silmy mengatakan, porsi ini melebihi kebutuhan baja paduan untuk industri dalam negeri yang hanya sekitar 10 persen.
”Investor perlu jaminan bahwa mereka mendapat level playing field yang adil. Ini yang harus diperhatikan oleh pemerintah ketika membangun kawasan ekonomi khusus atau kawasan industri. Bagaimana industri bisa berkembang tanpa harus kehabisan energi menghadapi impor,” katanya.
Silmy menilai, jenis perlindungan yang dibutuhkan pelaku industri bukan proteksi yang meninabobokkan, melainkan yang bisa mendorong kesempatan bersaing yang adil bagi pelaku industri.
”Ketika industri tidak bisa bersaing dengan adil, perusahaan itu tidak bisa berkembang, bahkan rugi. Kalau mereka sampai terpaksa tutup, itu bisa menjadi promosi yang buruk bagi iklim investasi di Indonesia. Ini yang harus kita jaga,” ujarnya.
Mengantisipasi
Direktur Perwilayahan Industri Kementerian Perindustrian Adie Rochmanto Pandiangan mengatakan, pemerintah terus berupaya untuk mengantisipasi tekanan produk impor melalui sejumlah kebijakan perdagangan, seperti tindakan pengamanan (safeguard) untuk melindungi pasar dan industri domestik dari banjir produk impor.
”Ini tantangan yang tidak hanya dirasakan oleh investor di KEK dan kawasan industri, tetapi juga di luar itu,” katanya.
Salah satu upaya pemerintah untuk mengontrol hal tersebut adalah menyusun neraca komoditas, yang nantinya akan berisi informasi mengenai ketersediaan bahan baku dan penolong industri yang bisa disediakan oleh industri dalam negeri.
Informasi di neraca komoditas itu akan menjadi bahan pertimbangan dalam menentukan kebijakan impor, dari bahan baku sampai produk akhir. ”Saat ini, kami (Kemenperin) dan seluruh kementerian/lembaga lainnya sudah menetapkan bahan baku dan penolong yang akan dimasukkan dalam kebijakan neraca komoditas,” ujar Adie.
Lebih lanjut, ia mengatakan, pemerintah sedang mengembangkan kawasan industri yang hijau dan berbasis digital (smart-eco industrial park). ”Saat ini, kawasan industri kita masih generasi ketiga. Tahap selanjutnya adalah mendorong kawasan industri yang smart untuk mendukung revolusi industri 4.0 dan lebih ramah lingkungan,” ujarnya.
Ia mengatakan, pengembangan kawasan industri yang hijau itu dilakukan sebagai wujud upaya mengurangi emisi karbon dan mendorong ekonomi sirkular. ”Ini menjadi antisipasi kita juga ke depan untuk menghadapi tren kebijakan ekonomi dunia, seperti Green Deal Uni Eropa,” katanya.
Direktur Utama PT Berkah Kawasan Manyar Sejahtera Bambang Soetiono Soedijanto mengatakan, KEK Java Integrated Industrial and Port Estate (JIIPE) di Gresik, Jawa Timur, mulai mengembangkan kawasan industri yang lebih hijau dengan menggunakan pembangkit listrik tenaga gas, seiring dengan upaya industri untuk mengurangi konsumsi batubara.
”Selain gas, kami juga sedang mengembangkan listrik tenaga surya. Untuk sementara ini, akan bergantian, tenaga surya dipakai di siang hari, dan pada malam hari diganti dengan gas,” kata Bambang.