Asa Buruh Beranjak dari Upah Minimum ke Upah Layak
Dinamika ketegangan buruh-pengusaha soal penetapan upah minimum provinsi ibarat agenda rutin tiap tahun negeri ini. Meski upah minimum jadi landasan, pemerintah kerap menyampaikan upah minimum menjadi jaring pengaman.
Dinamika ketegangan antara kalangan buruh dan pengusaha dalam penetapan upah minimum provinsi ibarat telah menjadi agenda rutin kalender tiap tahun di negeri ini. Kondisi ini pun terjadi di tengah pandemi Covid-19 saat perusahaan maupun kaum pekerja sama-sama dihadapkan pada kondisi yang memang tidak ideal. Duduk bersama seluruh pemangku kepentingan pun ditawarkan sebagai solusi terbaik untuk mencari titik temu.
Pemerintah kerap menyampaikan bahwa upah minimum merupakan jaring pengaman bagi para pekerja atau buruh dengan masa kerja kurang dari satu tahun. ”Tapi faktanya di lapangan, sampai hari ini, banyak upah minimum menjadi landasan upah tertinggi,” kata Ketua Umum Kongres Aliansi Serikat Buruh Indonesia (KASBI) Nining Elitos dalam acara Satu Meja the Forum bertajuk ”Buruh Menjerit di Tengah Covid” yang disiarkan Kompas TV, Rabu (1/12/2021) malam.
Diskusi yang dipandu Wakil Pemimpin Umum Kompas Budiman Tanuredjo itu diikuti sejumlah narasumber lainnya, yakni Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Hariyadi B Sukamdani, Staf Khusus Menteri Ketenagakerjaan Dita Indah Sari, Pakar Perburuhan dari Universitas Gadjah Mada Nabiyla Risfa Izzati, dan anggota Komisi IX Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia dari Fraksi Partai Golkar, Melki Laka Lena.
”Tapi, faktanya di lapangan, sampai hari ini, banyak upah minimum menjadi landasan upah tertinggi.”
Nining menuturkan, kenaikan UMP 2022 sebesar 1,09 persen memang menunjukkan kenaikan secara angka, tetapi tidak secara riil. KASBI pun bilang, pemerintah menekankan kenaikan upah semakin rendah. ”Coba lihat tren pascareformasi. Justru upah landai ke bawah, bukan lagi bagaimana peningkatan. Coba bayangkan kalau di saat ini, Jepara naik 800 perak. Bayangkan di mana letak kemanusiaan terhadap pekerja yang harus menanggung beban hidup yang begitu besar (sementara itu) mereka harus produktif, memberikan kontribusi terhadap pengusaha dan pemerintah,” ujarnya.
Baca Juga: Upah Minimum 2022 Terlalu Kecil, Buka Lagi Ruang Negosiasi
Nining pun meminta harus ada keterbukaan dan pelibatan berbagai pemangku kepentingan dalam pengambilan sebuah keputusan. KASBI juga melihat sejak turunnya PP 78/2015 sampai PP 36/2021—keduanya tentang pengupahan— terlihat betul bagaimana pemerintah tidak lagi mengedepankan peningkatan kesejahteraan kaum buruh.
”Mulai dari berbagai macam regulasi, peraturan pemerintah, tiba-tiba sudah keluar. Tiba-tiba sudah muncul. Walaupun kita diundang, sebatas sosialisasi. Kita tidak terlibat sejak dari awal, tentang persoalan, tentang konsepsi membuat satu kebijakan. Bagi kami, memang, sering pemerintah tidak memberikan ruang demokratis, tidak memberikan ruang transparansi terhadap bagaimana kita juga memberikan masukan. Kemudian bagaimana supaya ada rasa berkeadilan bagi kaum buruh. Ini yang jauh sampai saat ini,” ujar Nining.
Bicara persoalan pengupahan, KASBI pun memberikan tawaran. ”Sejak dari 2006 kami memberikan bagaimana konsepsi upah layak secara nasional agar ada pemerataan dari berbagai macam kota, dari Sabang sampai Merauke. (Hal ini) agar tidak terjadi ketimpangan daerah yang satu dengan daerah yang lain. Mari kita buat konsep upah layak itu seperti apa? Kita duduk bareng,” kata Nining.
Baca Juga: Kenaikan Semu Upah Minimum
Menghadapi kebuntuan soal UMP, KASBI mengusulkan agar ada standardisasi upah layak secara nasional. ”Nah, apa standardisasi upah layak? Misalkan, buruh paling tidak bisa memenuhi persoalan pangan, papan, sandang, pendidikan, kesehatan, dan sosial. Tinggal bagaimana kita membuat konsepsi upah layak ini seperti apa? Ini yang belum pernah terjadi. Sehingga, setiap terjadi penentuan upah, kita bisa lihat masih banyak rata-rata upah ini justru terjadi penurunan, riilnya,” kata Nining.
Staf Khusus Menteri Ketenagakerjaan Dita Indah Sari menuturkan bahwa terkait formulasi kenaikan upah, pemerintah bukan hanya menggunakan data inflasi atau pertumbuhan ekonomi. Pemerintah juga menggunakan seperangkat data yang diupayakan dapat cukup obyektif untuk memotret kemampuan dan kebutuhan daerah.
Perkuat bipartit
Pemerintah pun berharap dengan situasi upah minimum yang baru ini kedua belah pihak, yakni kalangan buruh dan pengusaha, dapat memperkuat bipartit. ”(Hal ini) karena upah minimum itu hanya safety net. Jadi, itu untuk anak (pekerja) di bawah usia kerja 1 tahun. Maka di atas satu tahun tidak boleh. Tadi Mbak Nining bilang banyak tuh yang di atas 1 tahun diupah (minimum). Dalam situasi PP 36 (Tahun 2021) sekarang ini, itu kriminal,” ujar Dita.
Pemerintah pun meminta tolong Kamar Dagang dan Industri Indonesia (Kadin) serta Apindo untuk mengawasi anggotanya agar tidak membayar upah minimum kepada pekerja yang masa kerjanya sudah di atas satu tahun, dalam situasi tidak ada kesepakatan. ”Kecuali kalau memang perusahaannya sudah bangkrut atau dah mau tutup, itu lain cerita. Tapi dalam keadaan perusahaan baik, sektor-sektor yang tadi dibilang tumbuh, itu harus bayar di atas upah minimum. Ini juga warning kita ke dunia usaha,” kata Dita.
Baca Juga: Tidak Ikuti Aturan UMP, Gubernur Dikenai Sanksi
Sehubungan dengan pelibatan buruh, Dita menuturkan bahwa selama ini ada dua mekanisme. Pertama, mekanisme formal melalui forum tripartit. Di situ ada 7 konfederasi dan federasi serta kemudian Dewan Pengupahan Nasional yang sudah meng-endorse PP 36/2021 dan pelaksanaannya. ”Itu forum formal. Itu menjadi forum konsultasi rutin. Hampir tidak ada keputusan menteri, apakah berupa surat edaran, tanpa konsultasi di forum formal,” katanya.
”Kecuali kalau memang perusahaannya sudah bangkrut atau dah mau tutup, itu lain cerita. Tapi dalam keadaan perusahaan baik, sektor-sektor yang tadi dibilang tumbuh, itu harus bayar di atas upah minimum. Ini juga warning kita ke dunia usaha”
Kedua, ada pula forum di luar itu. Hal ini karena ada banyak serikat buruh, yakni ada 16 konfederasi, 275 federasi, dan ribuan PUK (pengurus unit kerja). Pihak Kemenaker menerima ketika ada di antara mereka yang datang untuk berdemo, berkonsultasi, atau berdialog. ”Jadi, instrumen untuk berkomunikasi dengan pemerintah banyak. Tapi problemnya, dengan begitu besarnya jumlah stakeholder yang ada, begitu dinamisnya mereka, begitu banyaknya tuntutan, bahwa ada yang belum terakomodasi atau belum terajak bicara itu mungkin saja,” ujar Dita.
Dita pun menuturkan jangan menggunakan Undang-undang Cipta Kerja sebagai alasan untuk menurunkan upah. Upah tidak boleh turun. Pemerintah teguh bahwa upah minimum harus diterapkan dengan PP 36/2021. Terkait banyaknya perdebatan tentang upah minimum dan sebagainya, Dita menuturkan, menurut putusan Mahkamah Konstitusi, UU Cipta Kerja dan PP masih dinyatakan berlaku bagi pemerintah. ”Kita jalankan ini dengan sebaik-baiknya,” katanya.
Menurut Dita upaya mengembalikan upah minimum pada khitahnya, yakni sebagai jaring pengaman, merupakan poin penting ekosistem untuk struktur skala upah atau upah berdasarkan produktivitas. Merujuk Kamus Besar Bahasa Indonesia, khitah diartikan sebagai cita-cita, langkah, rencana, tujuan dasar, garis haluan, landasan perjuangan, atau kebijakan.
Khitah upah minimum itu adalah safety net. Jaring, basic pengaman bagi anak (pekerja) di bawah satu tahun. Dikembalikan ke situ, baru kita bisa bangun ekosistem yang lain untuk pengupahan berdasarkan produktivitas dan kinerja.
”Khitah upah minimum itu adalah safety net. Jaring, basic pengaman bagi anak (pekerja) di bawah satu tahun. Itu khitahnya upah minimum, dikembalikan ke situ, baru kita bisa bangun ekosistem yang lain untuk pengupahan berdasarkan produktivitas dan kinerja,” katanya.
Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Hariyadi B Sukamdani menuturkan, titik beranjak upah minimum dari jaring pengaman menjadi upah rata-rata terlihat sejak reformasi. Upah minimum berada paling bawah. Tetapi, karena terus didorong naik, maka kemudian menyundul lapis di atasnya yang sebetulnya adalah upah di atas upah minimum.
”Istilah kita itu menjadi upah sundulan. Jadi yang bawah ini menyundul ke atas. Sehingga ruang yang tadi disampaikan oleh Mbak Dita (agar) harusnya itu ruang untuk bipartit, yang namanya struktur skala upah itu, tidak terjadi, karena terlalu mepet,” kata Hariyadi.
Ada proses panjang, sejak UU 13/2003 diundangkan sampai PP 78/2015, yang menjadikan upah minimum menjadi dasar upah rata-rata. ”Terjadi seperti itu. Jadi memang akhirnya pemahaman yang terjadi di lapangan adalah upah minimum itu menjadi upah rata-rata. Itu yang menurut saya salah kaprah juga jadinya. Ini yang saya lihat, pemerintah melihat, bahwa kalau terus-terusan seperti ini juga tidak baik,” kata Hariyadi.
> Baca juga: Buruh Minta Ada Jalan Tengah Upah Minimum
Menurut Hariyadi hal yang juga mesti dilihat jangan semata-mata soal upah minimum. Negara harus melihat dalam perspektif lebih luas dengan melihat seluruh masyarakat. Adalah merupakan fakta bahwa jumlah penerima subsidi atau ketergantungan masyarakat terhadap subsidi negara besar sekali. “Jaminan kesehatan nasional, JKN, itu 96,8 juta orang. (Orang) yang menerima subsidi listrik kurang lebih 98 juta orang. Jadi kalau diiris, itu kira-kira, over all 100 jutaan orang yang terima subsidi,” katanya.
Hariyadi menuturkan pihaknya melakukan program pemagangan nasional tahun 2017 yang diikuti 57.000 orang, tetapi yang diterima hanya 15 persen. Hal ini bukan karena mereka tidak lulus vokasi, tetapi karena memang tidak ada lapangan kerjanya. Data Badan Koordinasi Penanaman Modal pun menunjukkan tren penurunan serapan tenaga kerja per Rp 1 triliun investasi, yakni dari 5.014 orang di tahun 2010 menjadi tinggal hanya 1.200 orang di tahun 2019.
Persoalan besar seperti ini mesti juga diperhatikan agar potensi bonus demografi tidak justru menjadi bencana demograsi akibat tingginya masyarakat yang tergantung pada subsidi. ”Ini masalah besar dan kita mau cari solusi. Kalau misalnya kembali seperti ini, terus aja debat kusir, setiap tahun akan jadi kalender yang bermasalah untuk perdebatan (soal upah minimum) ini,” ujar Hariyadi.
Poin utama kekisruhan dan saran
Pakar perburuhan dari Universitas Gadjah Mada Nabiyla Risfa Izzati menuturkan, dari kacamata akademik, ada dua poin utama terkait kisruh soal penetapan UMP yang berulang setiap tahun. Pertama, ada isu disparitas atau kesenjangan upah yang sangat lebar di daerah. Upah minimum daerah yang sudah tinggi mungkin cukup representatif terhadap kebutuhan hidup layak.
Namun, ada cukup banyak kesenjangan di daerah dengan upah yang masih sangat rendah. ”Seperti Yogya, yang langganan jadi paling rendah upah minimumnya. Padahal sebenarnya, kalau misalnya dilihat, kebutuhan hidup layak di Yogya juga tidak jauh-jauh berbeda sebenarnya dengan kota-kota atau daerah-daerah yang upahnya tinggi. Sehingga, ini masuk ke dalam kritik mengenai formulasi upah yang memang sekarang tidak representatif terhadap kebutuhan hidup layak,” ujar Nabiyla.
Baca Juga: UMP DIY Naik 4,30 Persen, Pengusaha yang Melanggar Terancam Sanksi
Kedua, upah minimum selalu menjadi isu karena memang di antara sekian banyak kebijakan pengupahan yang ada, baik di Undang-undang Ketenagakerjaan maupun di Peraturan Pemerintah tentang Pengupahan, kebijakan mengenai upah minimum merupakan satu-satunya kebijakan yang bisa dipegang. Kebijakan terkait upah minimum paling terlihat pelaksanaannya oleh publik.
Pemerintah memang selalu mengatakan bahwa seharusnya jangan fokus hanya di upah minimum karena sebenarnya ada banyak kebijakan pengupahan yang lain, misalnya skala pengupahan dan lain sebagainya. ”Tapi kita harus jujur mengakui bahwa kebijakan-kebijakan yang lain ini enforcement di lapangan masih nol besar,” kata Nabiyla.
Sayangnya, upah minimum yang seharusnya hanya menjadi safety net di tahun pertama tersebut menjadi satu-satunya pegangan bagi pekerja dan buruh. Alhasil, menjadi sangat penting bagi pekerja dan buruh untuk memperjuangkan agar upah minimum dapat memenuhi kebutuhan hidup mereka.
”Perlu ada pembicaraan lebih lanjut mengenai perhitungan upah minimum. Ada cukup banyak kritik terhadap perhitungan upah minimum yang dinilai tetap perlu dipertimbangkan. Hal ini karena cukup banyak yang menunjukkan bahwa perhitungan yang sekarang, terutama di berbagai daerah dengan upah minimum awal sudah cenderung rendah, itu tidak representatif terhadap kebutuhan hidup layak.”
Saran pertama, menurut Nabiyla, perlu ada pembicaraan lebih lanjut mengenai perhitungan upah minimum. Ada cukup banyak kritik terhadap perhitungan upah minimum yang dinilai tetap perlu dipertimbangkan. Hal ini karena cukup banyak yang menunjukkan bahwa perhitungan yang sekarang, terutama di berbagai daerah dengan upah minimum awal sudah cenderung rendah, itu tidak representatif terhadap kebutuhan hidup layak.
Baca Juga: Menilik Tingkat Upah dan Standar Hidup Layak Buruh
Saran kedua, perlu mendorong pelaksanaan kebijakan pengupahan yang lain, misalnya terkait struktur dan skala upah. Apabila pelaksanaan di lapangan menjadi lebih baik, buruh bisa melihat bahwa upah minimum memang tidak dijadikan sebagai upah rata-rata, tetapi benar-benar hanya dijadikan sebagai jaring pengaman. ”(Sehingga) kita akan bisa bergerak untuk tidak hanya berdebat di sisi upah minimum tapi bisa ke arah upah yang produktif,” ujar Nabiyla.
Anggota Komisi IX Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia dari Fraksi Partai Golkar Melki Laka Lena berpendapat, titik temu dari masing-masing sudut pandang dapat dicari apabila ruang komunikasi yang disiapkan dalam konteks keputusan terkait upah minimum ini dipakai seoptimal mungkin.
”Mau kita pakai PP yang lama atau PP yang baru, sebenarnya, (hal) yang selalu akan jadi soal adalah ketika ruang untuk duduk bicara tidak dioptimalkan. Ini bisa dua hal, dari sudut pandang pemerintah mungkin kurang membuka ruang bagi keterlibatan kelompok pekerja. Atau juga sebaliknya, dibuka ruang oleh pemerintah (namun) tidak dioptimalkan oleh kelompok pekerja,” katanya.
Menurut Melki untuk menyelesaikan problem ritual tahunan berkaitan dengan UMP, bagi masyarakat secara umum dan terutama pekerja, intinya adalah negara hadir membuat pendapatan bertambah atau paling tidak mengurangi pengeluaran. ”Itulah tugas negara hadir dalam rangka mengurus rakyatnya. Rakyat itu sebagian (adalah) kelompok kategori pekerja,” ujarnya.
Baca Juga: UU Cipta Kerja Cacat Formil, Buruh Minta Upah Minimum Dianulir
Di satu sisi, pembicaraan soal upah adalah salah satu bagian dari upaya menjamin pendapatan masyarakat yang masuk kategori pekerja berada pada batas minimal agar dia bisa menghidupi diri dan keluarganya. Pada saat yang sama, negara juga bertanggung jawab membantu pengeluaran warga di sisi kesehatan, pendidikan, dan sebagainya.
”Nah, yang tadi saya bilang perlu dialog itu karena setahu saya diberi ruang oleh dewan pengupahan baik itu di provinsi, kabupaten, kota, ataupun di tingkat nasional untuk berbicara tentang berbagai kondisi rakyat yang masuk kategori pekerja ini. Mereka juga dipastikan hidup layak di negeri ini,” ujar Melki.