Tren kendaraan listrik membawa peluang kesetaraan antarpelaku industri di sejumlah negara.
Oleh
Mediana
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Indonesia perlu mengambil peluang di tengah pesatnya pertumbuhan industri kendaraan listrik global. Peluang itu bisa dioptimalkan dengan sumber daya yang dimiliki Indonesia, seperti mineral nikel sebagai bahan baku baterai kendaraan listrik, iklim investasi yang kondusif, dan pasar yang besar sembari terus mendukung penelitian dan pengembangan teknologi kendaraan listrik.
Demikian yang mengemuka dalam webinar Kompas Talks bertajuk ”Peduli Lingkungan melalui Investasi Mobil Listrik”, Rabu (1/12/2021), di Jakarta. Sebagai pembicara kunci ialah Direktur Utama PT Perusahaan Listrik Negara (Persero) Zulkifli Zaini dan Sekretaris Kementerian Investasi Ikmal Lukman. Adapun narasumber webinar adalah Sekretaris Umum Gabungan Industri Kendaraan Bermotor Indonesia (Gaikindo) Kukuh Kumara, Direktur Niaga dan Manajemen Pelanggan PLN Bob Saril, Direktur Eksekutif Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Tauhid Ahmad; serta praktisi kendaraan listrik, Niko Questera.
Menurut Ikmal, Indonesia adalah negara yang memiliki cadangan nikel terbesar di dunia. Sebagai bahan baku utama baterai kendaraan listrik, nikel akan semakin bernilai tambah tinggi ketimbang diekspor dalam bentuk material mentah. Apalagi, baterai adalah penyumbang komponen terbesar pada kendaraan listrik, yaitu sebesar 35 persen.
”Pemerintah tidak ingin nikel hanya diekspor sebagai bahan mentah. Nikel mesti ditingkatkan nilai tambahnya dalam ekosistem kendaraan listrik. Setidaknya, ada sembilan rantai pasok kendaraan listrik yang semuanya memakai nikel,” kata Ikmal.
Berbagai kebijakan, ujar Ikmal, telah diterbitkan untuk mempercepat hilirisasi nikel ataupun keandalan rantai pasok industri kendaraan listrik. Sebagai contoh, pembentukan Kawasan Industri Terpadu di Batang, Jawa Tengah; pembebasan bea masuk untuk bahan baku ataupun mesin; serta penerbitan Keputusan Presiden (Keppres) Nomor 11 Tahun 2021 tentang Satuan Tugas Percepatan Investasi.
Sebagai bahan baku utama baterai kendaraan listrik, nikel akan semakin bernilai tambah tinggi ketimbang diekspor dalam bentuk material mentah.
Dari sisi pasokan daya listrik, menurut Bob Saril, daya terpasang listrik yang dimiliki PLN sangat mencukupi untuk kebutuhan daya kendaraan listrik. Apalagi, PLN saat ini sedang mengalami kelebihan pasokan listrik. Hal itu didukung oleh proyek 35.000 megawatt (MW) yang sebagian akan beroperasi secara komersial pada beberapa tahun mendatang.
Selain itu, PLN pun telah membangun fasilitas stasiun pengisian kendaraan listrik umum (SPKLU) sekitar 60 unit. Guna mempercepat pembangunan SPKLU, PLN memberikan insentif, seperti insentif tarif listrik curah Rp 714 per kilowatt jam (kWh) serta keringanan biaya penyambungan dan jaminan langganan.
”Swasta bisa bermitra dengan kami (untuk membangun SPKLU). Pembangunan SPKLU tidak membutuhkan lahan luas. Lahan parkir apartemen atau perkantoran bisa dimanfaatkan sepanjang tersambung listrik,” ujar Bob.
Selain mendapatkan potongan tarif sebesar 30 persen untuk pengisian daya baterai mobil listrik di rumah pelanggan pada jam tertentu, PLN juga memberikan insentif penambahan daya listrik. Bagi pemilik kendaraan listrik bisa mendapatkan harga spesial Rp 150.000 dengan tambah daya sampai 11.000 volt ampere (VA) dan Rp 450.000 untuk tambah daya sampai 16.500 VA.
Rantai pasok
Dari sisi industri, menurut Kukuh, tidak masalah untuk menyambut produksi kendaraan listrik di dalam negeri. Industri manufaktur mobil di Indonesia memiliki kapasitas produksi kendaraan hingga 1,4 juta unit per tahun. Saat ini, yang termanfaatkan baru 50 persen. Ekosistem kendaraan listrik dipastikan tidak akan mengancam industri mobil konvensional yang sudah mapan.
Daya terpasang listrik yang dimiliki PLN sangat mencukupi untuk kebutuhan daya kendaraan listrik. Apalagi, PLN saat ini sedang mengalami kelebihan pasokan listrik.
”Anggota kami bisa produksi sejumlah tipe mobil listrik. Permasalahannya sekarang adalah serapan pasar mobil listrik masih rendah. Daya beli warga Indonesia sekitar di bawah Rp 250 juta, sedangkan harga mobil listrik paling murah adalah Rp 600 juta,” ucap Kukuh.
Adapun dari sisi investasi, Tauhid Ahmad berpendapat, pemerintah perlu memastikan komitmen investasi yang sudah ada bisa terealisasi. Untuk membangun keseluruhan industri rantai pasok kendaraan listrik di Indonesia, kebutuhan anggaran diperkirakan Rp 200 triliun. Ini tidak bisa dipenuhi dan dikerjakan sendiri oleh badan usaha milik negara.
”Pengembangan investasi bagi publik perlu dibuka lebih luas. Kerangka pembiayaan dari sisi perbankan harus dibuat lebih menarik. Riset dan pengembangan kendaraan listrik di dalam negeri sudah marak berkembang dan ini butuh dukungan insentif,” ujarnya.
Sementara itu, Niko Questera berpendapat, pada era kendaraan listrik yang sekarang mulai berkembang, semua jenama otomotif memiliki kedudukan setara. Ini berarti produsen lokal di Indonesia mempunyai peluang yang sama. Apalagi, mereka mempunyai kelebihan, yaitu lebih memahami kebutuhan pasar dalam negeri.
Niko menilai, mutu talenta Indonesia pun setara dengan negara lain. Insinyur ataupun akademisi yang memiliki kemampuan riset kendaraan listrik terbilang banyak. Namun, Indonesia perlu lebih memperhatikan penelitian dan pengembangan dalam ekosistem kendaraan listrik.
”Pemikiran bahwa tidak perlu riset dan pengembangan karena tidak bisa produksi harus dihilangkan. Pengalaman negara lain, seperti Jerman, Perancis, dan Inggris, memiliki merek kendaraan listrik lokal yang kuat. Bantuan insentif itu penting, tetapi pencitraan merek lokal juga tak kalah penting,” kata Nico.
Pemerintah menargetkan 15 juta kendaraan listrik, terdiri dari 2 juta roda empat dan 13 juta roda dua, beroperasi di Indonesia pada 2030. Selain itu, ditargetkan bisa terbangun 2.400 SPKLU sampai tahun 2025.