Moratorium Penyedia Pinjaman Daring Baru Masih Berlanjut
Moratorium pendaftaran dan perizinan baru untuk penyedia layanan pinjaman daring atau pinjol dilanjutkan. Momentum ini dipakai OJK untuk mendorong penyedia yang ada meningkatkan kualitas layanan.
Oleh
Mediana
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Otoritas Jasa Keuangan melanjutkan moratorium penyedia baru layanan pinjam-meminjam uang berbasis teknologi informasi. Upaya ini diambil agar perbaikan kualitas kepada penyedia yang sudah terdaftar dan berizin bisa lebih optimal.
Deputi Direktur Pengaturan, Perizinan, dan Pengembangan Fintech Otoritas Jasa Keuangan (OJK) Munawar Kasan menceritakan, pada akhir tahun 2020, jumlah penyedia layanan pinjam-meminjam uang berbasis teknologi informasi yang terdaftar dan berizin mencapai 160 perusahaan. Moratorium dimulai sekitar Februari 2020.
”Hanya dalam kurun waktu tiga tahun atau sejak Peraturan OJK Nomor 77/POJK.1/2016 diundangkan 29 Desember 2016), jumlah penyedia layanan pinjam-meminjam uang berbasis teknologi informasi sudah di atas seratus. Kami menganggap jumlah tersebut sangat banyak. Kami melakukan moratorium untuk mengedepankan kualitas penyedia yang sudah terdaftar dan berizin,” ujar Munawar saat hadir di webinar ”Pandemi Covid-19 Jadi Momentum Percepat Akselerasi Transformasi Digital” oleh Fintech Pendanaan Bersama, Rabu (1/12/2021), di Jakarta.
Saat ini, jumlah penyedia layanan pinjam-meminjam uang berbasis teknologi informasi yang terdaftar dan berizin di OJK mencapai 104 perusahaan. Sepanjang tahun ini, OJK melakukan evaluasi. Dari hasil evaluasi, terdapat sejumlah penyedia yang akhirnya diminta mengembalikan tanda pendaftaran. Berdasar evaluasi, beberapa faktor penyebab pengembalian tanda pendaftaran itu meliputi, antara lain ketidakmampuan menyelesaikan komitmen peningkatan operasional, tidak mampu meneruskan usaha, dan belum memenuhi persyaratan perizinan.
Menurut Munawar, OJK belum memutuskan waktu mencabut moratorium penyedia baru terdaftar dan berizin. Pada kesempatan terpisah, Presiden Joko Widodo sempat menyebutkan perlunya industri pinjam-meminjam uang berbasis teknologi informasi dimoratorium.
”Fokus kami kepada industri layanan pinjam-meminjam uang berbasis teknologi informasi sekarang adalah kualitas para penyedia, bukan mengejar pertumbuhan jumlah. Misalnya, bunga pinjaman dan kualitas dan keakuratan teknologi penilaian kredit (credit scorring),” katanya.
Selama Januari-Oktober 2021, total pinjaman yang disalurkan oleh penyedia layanan pinjam-meminjam uang berbasis teknologi informasi mencapai Rp 69,3 triliun. Sebanyak 53,6 persen di antaranya disalurkan ke sektor produktif.
OJK mendorong penyedia layanan pinjam-meminjam uang berbasis teknologi terdaftar dan berizin untuk lebih banyak mengarahkan bisnisnya kepada sektor produktif, terutama pelaku usaha skala mikro, kecil, dan menengah (UMKM). Mereka diharapkan bisa terus berkolaborasi dengan pelaku industri perbankan umum, syariah, bank perkreditan rakyat, dan perusahaan pembiayaan (multifinance).
OJK juga mengapresiasi adanya penandatangan nota kesepahaman kerja sama antara Asosiasi Fintech Pendanaan Bersama Indonesia (AFPI) dengan Asosiasi E-Ecommerce Indonesia (idEA). Ini dinilai sebagai langkah strategis untuk mempermudah penyaluran pinjaman kepada pemilik platform ataupun UMKM mitra perusahaan platform perdagangan secara elektronik atau e-dagang.
Ketua Umum AFPI Adrian A Gunadi mengatakan, tahun 2021 merupakan tahun yang menantang bagi penyedia layanan pinjam-meminjam uang berbasis teknologi informasi. Ini ditandai dengan pemulihan perekonomian yang semula diharapkan terjadi 2021, tetapi justru terjadi gelombang kedua pandemi Covid-19. Kemudian, penyedia layanan pinjam-meminjam uang berbasis teknologi informasi yang lahir sebelum POJK No 77/2016 umumnya telah berusia lima-enam tahun. Mereka sedang berusaha meningkatkan skala bisnis lebih besar yang menurut dia tidak mudah dilakukan.
”Mereka harus berhadapan dengan pesatnya perkembangan teknologi, perubahan iklim bisnis, sekaligus serbuan penyedia layanan pinjam-meminjam uang berbasis teknologi informasi ilegal,” kata Adrian.
Adanya moratorium pendaftaran dan perizinan penyedia baru mendorong penyedia yang sudah ada terus memperbaiki kualitas sesuai arahan OJK. Dia menuturkan, perbaikan kualitas ini juga dilakukan di antara anggota AFPI, di samping terus meningkatkan skala usaha.
”Meski suasana tahun 2021 tidak bagus, ada anggota AFPI yang bersiap melakukan pencatatan saham perdana di pasar saham. Ini merupakan pencapaian yang positif,” imbuh Adrian.