G-20 Dorong Perluasan Inklusi dan Akses Keuangan untuk UMKM
Perluasan inklusi keuangan menjadi salah satu dari enam agenda utama pertemuan G-20.
Oleh
Benediktus Krisna Yogatama
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Peningkatan inklusi keuangan untuk usaha mikro kecil menengah menjadi salah satu dari enam agenda utama dalam pertemuan negara-negara yang tergabung dalam G-20. Perluasan inklusi keuangan kepada UMKM yang belum tak terjangkau layanan keuangan bisa mendorong aktivitas ekonomi akar rumput yang pada akhirnya ikut menggulirkan perekonomian negara.
”Perluasan inklusi keuangan akan menjadi salah satu dari enam agenda utama pertemuan G-20,” ujar Menteri Keuangan Sri Mulyani pada acara konferensi Otoritas Jasa Keuangan (OJK)-Organisasi untuk Kerja Sama dan Pembangunan Ekonomi (OECD) untuk inklusi keuangan, perlindungan konsumen jasa keuangan, dan literasi keuangan di Asia dan Pasifik 2021, Kamis (2/12/2021).
Sri Mulyani menjelaskan, pembahasan perluasan inklusi keuangan untuk Asia-Pasifik pada G-20 menjadi relavan karena sesuai dengan tema G-20, yakni ”Recover Together, Recover Stronger”. Pandemi Covid-19 telah memberikan tekanan ekonomi ke hampir seluruh sektor, tak terkecuali UMKM.
”Dengan pembahasan mengenai perluasan inklusi keuangan, khususnya memberikan pendanaan bagi UMKM, mereka bisa ikut serta pulih dan bangkit berkat akses jasa keuangan. Tidak ada yang tertinggal,” kata Mulyani.
Pembahasan mengenai perluasan inklusi keuangan untuk UMKM itu memiliki tiga fokus tujuan. Pertama adalah penerapan kerangka kerja inklusi keuangan melalui layanan digital yang bisa menjangkau segmen UMKM yang belum tersentuh. Kedua adalah peningkatan kapasitas UMKM melalui layanan keuangan digital. Adapun yang ketiga adalah memberikan pelatihan dan pendampingan untuk UMKM agar bisa terampil memanfaatkan secara optimal digitalisasi layanan jasa keuangan.
Ketua Dewan Komisioner OJK Wimboh Santoso mengatakan, pandemi telah mengubah cara hidup masyarakat, termasuk bagaimana mengakses layanan jasa keuangan. Muncul layanan jasa keuangan digital berupa perbankan digital dan teknologi finansial yang mampu mendorong inklusi keuangan yang lebih luas kepada masyarakat. Gejala ini tidak hanya terjadi di Indonesia tetapi seluruh dunia, termasuk area Asia-Pasifik yang menjadi agenda pembahasan inklusi keuangan G-20.
”Perluasan inklusi keuangan berupa pemberian akses kepada segmen UMKM yang tidak terjangkau ini mendorong perekonomian pada akar rumput. Secara tidak langsung ini pun ikut menggerakkan perekonomian negara,” ujar Wimboh.
Deputi Sekretaris Jenderal OECD Yoshiki Takeuchi mengatakan, kepemimpinan Indonesia di G-20 berada pada waktu yang sangat kritis di mana semua negara hendak bersama-sama bangkit dari tekanan ekonomi yang dipicu pandemi. Pemilihan agenda inklusi keuangan sangat cocok dengan tema G-20 agar seluruh negara peserta bisa bersama-sama bangkit dan bertumbuh lebih kuat.
”Kita harus fokus bagaimana bangkit kembali dari tekanan ekonomi dan lebih tangguh menghadapi gejolak ke depan,” ujar Takeuchi.
G-20 adalah forum kerja sama multilateral beranggotakan 19 negara utama dan Uni Eropa. Di forum ini, bergabung negara berkembang dan maju, dengan kelas pendapatan menengah hingga tinggi. G-20 merepresentasikan sekitar 60 persen populasi dunia, mencakup 75 persen perdagangan global, dan 80 persen produk domestik bruto dunia. Mulai 1 Desember hingga setahun ke depan, Indonesia akan menjadi ketua presidensi dari pertemuan negara-negara ini.
Perlindungan konsumen
Ketua Satuan Tugas G-20 untuk Perlindungan Konsumen Layanan Keuangan Richard Monks menjelaskan, tak hanya membahas soal inklusi keuangan, agenda ke depan juga akan membahas literasi keuangan dan perlindungan konsumen.
”Perluasan inkluasi keuangan itu adalah satu hal. Tahapan berikutnya adalah bagaimana menciptakan masyarakat yang memiliki keterampilan agar bisa mengoptimalkan layanan jasa keuangan itu untuk dirinya,” ujar Richard yang juga Direktur Strategis Financial Conduct Authority United Kingdom atau OJK Inggris Raya.
Dengan meningkatnya literasi keuangan, konsumen menjadi paham bagaimana cara kerja dan risiko layanan jasa keuangan. Ini penting untuk menciptakan perlindungan konsumen.
Digitalisasi layanan keuangan memang mempermudah perluasan inklusi keuangan. Akses jasa keuangan jadi lebih mudah, murah, cepat, dan praktis hanya dari genggaman tangan. Namun, di sisi lain juga ada potensi risiko pencurian data pribadi, peretasan, dan berbagai kejahatan siber layanan keuangan lainnya.
”Fokus pembahasan adalah memperluas inkluasi keuangan yang diikuti literasi keuangan sehingga memberikan keuntungan optimal bagi masyarakat dan negara. Dan memberikan keamanan digital bagi konsumen layanan jasa keuangan,” ujar Richard.