Selain hambatan investasi yang belum terselesaikan, Indonesia menghadapi tekanan di tengah transisi energi menuju emisi nol tahun 2060. Tantangan menggenjot produksi makin berat.
Oleh
Mukhamad Kurniawan
·4 menit baca
BADUNG, KOMPAS — Usaha Indonesia mengejar target produksi 1 juta barel minyak per hari dan gas 12 miliar standar kaki kubik per hari tahun 2030 dinilai makin berat. Selain problem hambatan investasi di hulu, pemerintah dan pelaku industri juga menghadapi ketidakpastian di tengah transisi energi dan komitmen global mengejar target nol emisi.
Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) mencatat, produksi minyak nasional per 5 Oktober 2021 mencapai 630.381 barel per hari. Angka itu di bawah target APBN 2021 yang ditetapkan 705.000 barel per hari. Sementara produksi gas bumi mencapai 6.057 juta standar kaki kubik per hari (MMSCFD) atau di atas target yang ditetapkan 5.638 MMSCFD.
Kendala investasi terkait dengan perizinan, birokrasi, dan proses memulai usaha di hulu migas mengemuka dalam beberapa panel diskusi di konvensi internasional ”The 2nd International Convention on Indonesian Upstream Oil and Gas (IOG) 2021” yang digelar Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Hulu Minyak dan Gas Bumi (SKK Migas) secara hibrida di Nusa Dua, Kabupaten Badung, Bali, Senin-Selasa (29-30/11/2021).
Rancangan Undang-Undang Migas diharapkan dapat mengatasi kendala tersebut. Namun, regulasi yang disusun guna merevisi Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2001 tentang Migas itu terus tertunda dan belum jelas penyelesaiannya. Pemerintah melalui sejumlah kementerian/lembaga berupaya mengatasi hal itu dengan menyusun regulasi.
Rina Rudd dari Husky Energy, perusahaan energi yang berbasis di Kanada, meyakini, dari sisi potensi migas, Indonesia bisa mengejar target produksi minyak 1 juta barel per hari tahun 2030. Namun, ada banyak tantangan investasi yang mesti diselesaikan agar industri hulu migas lebih menarik bagi investor.
Direktur Utama PT Pertamina Hulu Energi Budiman Parhusip berharap keberadaan UU Migas bisa mendorong investasi di sektor hulu lebih cepat. ”Waktu (yang tersedia) untuk mengembangkan cadangan (migas) dan memproduksi semakin terbatas. Kami berharap rancangan undang-undang bisa mendorong percepatan investasi, termasuk perizinan lahan, lingkungan hidup, dan (hambatan) lainnya sehingga investasi bisa lebih cepat,” ujarnya.
Tertunda
Wakil Kepala SKK Migas Fatar Yani menyatakan, regulasi direncanakan dalam bentuk peraturan presiden dan disusun bersama dengan kementerian/lembaga terkait, seperti Kementerian ESDM, Kementerian Keuangan, dan Kementerian Investasi. ”Percepatan perizinan hulu migas bisa dicapai dengan regulasi tersebut,” ujarnya.
Peraturan itu disusun guna mengejar target di tengah waktu yang semakin pendek. Menurut Wakil Ketua Komisi VII DPR RI Maman Abdurrahman, pihaknya menargetkan revisi UU Migas disahkan tahun 2022. ”Kami berkomitmen mendorong pembahasan rancangan UU (Migas) ini. Targetnya akhir tahun 2022. Sebab, setelah itu (2023), anggota DPR akan sibuk di daerah pemilihan masing-masing,” ujarnya pada sesi yang sama di ajang IOG 2021.
Menurut Maman, UU Migas memiliki peran krusial di tengah kecenderungan turunnya produksi minyak nasional, sementara kebutuhannya cenderung ke arah sebaliknya. Perbaikan regulasi melalui revisi UU Migas diharapkan mengatasi kendala-kendala yang dihadapi industri migas nasional selama ini.
Pembahasan revisi UU Migas terus tertunda. Pada tahun 2018, rancangan UU Migas sempat masuk pada program legislasi nasional prioritas tahun 2018 dan dibawa ke sidang paripurna tahun 2019. Namun, pembahasannya tertunda, antara lain karena ada pengujian yudisial (judicial review) di Mahkamah Konstitusi.
”Ada pula isu tentang net zero emission (emisi nol) karbon sehingga kami menunggu agar pembahasan undang-undang tidak sepotong-sepotong,” kata Maman.
Terkait dengan itu, Direktur Jenderal Minyak dan Gas Bumi Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral Tutuka Ariadji, yang hadir secara daring, menyatakan, pihaknya menerima masukan dari para pelaku industri serta kementerian/lembaga terkait untuk menyempurnakan rancangan UU Migas. Pihaknya meyakini perbaikan regulasi diperlukan guna mendorong kinerja sektor migas.
Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati, saat memberikan pengantar pada panel diskusi Selasa pagi, mengatakan, produksi minyak bumi nasional cenderung turun dan menciptakan kesenjangan permintaan yang semakin lebar. Hal ini perlu diatasi agar tidak berdampak lebih besar pada neraca perdagangan dan neraca transaksi berjalan.
Menurut dia, dukungan dari sisi fiskal disediakan guna mendukung produksi migas. Namun, tujuan itu perlu ditopang kepastian kontrak industri, efisiensi, pemanfaatan teknologi, dan transparansi yang baik di industri hulu migas.
Sri Mulyani menambahkan, masa transisi kali ini krusial bagi Indonesia, terutama untuk menjaga ketahanan energi sekaligus memastikan partisipasi dalam upaya global mengatasi problem perubahan iklim. Indonesia berkomitmen menekan emisi dan menetapkan peta jalan untuk mencapai nol emisi pada 2060.
Target itu diterjemahkan dalam target mendorong penggunaan energi baru terbarukan, mengurangi pemakaian energi fosil, serta mengoptimalkan pemanfaatan teknologi untuk mengurangi emisi karbon.