Undang-Undang Cipta Kerja yang cacat formil akan segera direvisi. Perbaikan diharapkan menyeluruh, dari aspek formil pembentukan undang-undang sampai substansi demi kemaslahatan masyarakat dan lingkungan.
Oleh
Agnes Theodora
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Pemerintah dan DPR akan merevisi Undang-Undang Cipta Kerja sesuai putusan Mahkamah Konstitusi (MK). Revisi diharapkan menjadi peluang untuk membenahi pasal-pasal problematik, tidak hanya formalitas perbaikan formil. Selama masa revisi itu, regulasi turunan dan kebijakan yang dibuat sebelum putusan MK dinyatakan tetap berlaku agar tidak mengganggu kepastian berusaha dan iklim investasi.
Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto, Senin (29/11/2021), mengatakan, pemerintah bersama Dewan Perwakilan Rakyat akan merevisi Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja dan UU No 12/2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan.
Pemerintah akan menyampaikan surat ke pimpinan DPR untuk memasukkan revisi UU sapu jagat itu ke dalam Program Legislasi Nasional Prioritas Tahun 2022, tepatnya dalam daftar kumulatif terbuka. Ini sesuai dengan putusan MK pada akhir pekan lalu yang menyatakan UU Cipta Kerja cacat formil dan perlu dibenahi dalam tenggang waktu dua tahun.
Sesuai dengan arahan Presiden, Airlangga mengatakan, kebijakan operasional yang mengacu pada peraturan turunan UU Cipta Kerja yang sudah keluar sebelum putusan MK akan tetap berlaku. Hal itu untuk memberikan kepastian iklim berusaha dan menjaga keyakinan investor.
Sebagai contoh, kemudahan berusaha di bidang perpajakan dan pelaksanaan kegiatan perizinan berusaha (OSS) berbasis risiko yang diatur dalam UU Cipta Kerja. ”OSS tetap berjalan untuk perizinan usaha baru ataupun perpanjangan,” katanya dalam pernyataan pers daring.
Demikian juga operasional Lembaga Pengelola Investasi (LPI) atau Indonesia Investment Authority (INA). Pemerintah telah memberikan penyertaan modal negara (PMN) dalam bentuk tunai sebesar Rp 30 triliun serta dalam bentuk saham negara senilai Rp 45 triliun.
Selain itu, pembentukan empat kawasan ekonomi khusus (KEK) baru yang telah menarik komitmen investasi sekitar Rp 90 triliun. Juga program pemberdayaan dan perlindungan usaha mikro, kecil, dan menegah (UMKM), seperti kemudahan izin berusaha, sertifikasi, dan alokasi bagi UMKM di pengadaan barang dan jasa pemerintah.
Hal lain yang menurut Airlangga tidak terdampak putusan MK adalah kebijakan ketenagakerjaan, khususnya terkait pengupahan dan Jaminan Kehilangan Pekerjaan. Ini bertentangan dengan permintaan pekerja agar kebijakan upah minimum 2022 kembali mengacu pada UU No 13/2003 tentang Ketenagakerjaan.
”Terkait dengan hal-hal ini, Menteri Dalam Negeri akan menyampaikan instruksi kepada para kepala daerah terkait dengan operasionalisasi UU Cipta Kerja ini,” katanya.
Jangan hanya formalitas
Direktur Eksekutif Indonesia for Global Justice (IGJ) Rachmi Hertanti, selaku salah satu penggugat uji formil dan materiil UU Cipta Kerja, mengatakan, momen revisi jangan hanya dijadikan formalitas untuk membenahi proses formil dan mengabaikan perbaikan substansi.
UU Cipta Kerja perlu dibahas ulang dengan melibatkan partisipasi publik dan pihak terkait lainnya untuk membenahi sejumlah pasal problematik yang bisa merugikan masyarakat dan mengancam lingkungan.
”Berkaitan dengan proses demokrasi yang sejati, sesuai dengan yang dipersoalkan hakim MK dalam pertimbangan hukum adalah meaningful participation dalam proses legislasi. Tidak boleh lagi ada proses pembahasan yang rahasia, tertutup dari publik, dan dikebut terburu-buru,” katanya.
Ia menilai, lebih baik pemerintah dan DPR mengevaluasi regulasi itu secara menyeluruh dari awal, tidak hanya pasal per pasal. Sebab, problem UU Cipta Kerja sudah terlihat sejak dalam penyusunan naskah akademik (NA). ”Mulai dari membenahi NA. Dari sana akan terbaca, apakah pemerintah ada political will untuk benar-benar memperbaiki UU ini,” ujarnya.
Menurut Direktur Eksekutif Institute for Development of Economics and Finance Tauhid Ahmad, beberapa pasal bermasalah itu, di antaranya, terkait dengan aspek ketenagakerjaan, hubungan dan kewenangan antara pemerintah pusat dan daerah, dan kemudahan perizinan berbasis risiko yang berpotensi mengancam lingkungan.
”Sayang jika substansi UU tidak ikut dibenahi. Mumpung saat ini ada kesempatan untuk merevisi, jangan hanya prosedur formil yang diperbaiki, materinya juga harus direvisi,” ujar Tauhid Ahmad.
Ia menambahkan, tidak hanya UU Cipta Kerja, berbagai peraturan turunannya pun pada akhirnya perlu direvisi untuk membenahi secara komprehensif regulasi yang cacat formil itu.
“Apalagi, ada banyak PP-PP yang mengatur norma baru, yang sebenarnya tidak ada di UU Cipta Kerja. Hal-hal problematik seperti ini juga harus direvisi nantinya, tidak bisa hanya merevisi UU, dan tidak bisa hanya membenahi proses formilnya,” katanya.