Pembatasan akibat Covid-19 mendorong pola bekerja hibrida (gabungan bekerja dari rumah dan bekerja jarak jauh) sebagai salah satu opsi. Solusi mengatasi aneka tantangan memerlukan kompromi individu dan tim manajerial.
Oleh
Mediana
·5 menit baca
KOMPAS/RADITYA HELABUMI
Sejumlah karyawan bekerja di ruang kerja bersama (coworking space) Impact Hub di kawasan Setiabudi, Jakarta Selatan, Kamis (25/11/2021). Pandemi Covid-19 turut membuat pengelola coworking space melakukan penyesuaian dan adaptasi.
Hampir dua tahun pandemi Covid-19, pola bekerja dari jarak jauh, bekerja di kantor, ataupun hibrida masih menjadi dilema. Hasil survei konsultan ketenagakerjaan, Robert Walters, terhadap pekerja profesional berusia 24–50 tahun pada Juli 2021 tentang persepsi produktivitas, sekitar satu dari dua responden mengatakan bahwa tidak ada perubahan produktivitas ketika mereka bekerja dari rumah atau di kantor.
Survei Indeks Tren Kerja Microsoft, seperti dikutip dari artikel ”Let’s Redefine Productivity for Hybrid Era” di Harvard Business Review, (9/9/2021), menunjukkan, produktivitas lebih dari 30.000 pekerja global di luar kantor Microsoft tetap sama atau lebih tinggi. Survei karyawan tahunan Microsoft menunjukkan hasil yang serupa.
Terkait aktivitas, data sebuah studi di salah satu divisi Microsoft menunjukkan bahwa jumlah fitur yang diperiksa oleh pengembang per jam meningkat 1,5 persen, sementara waktu fokus meningkat 6 persen. Sekitar 49 persen karyawan Microsoft dalam satu penelitian melaporkan bekerja lebih lama dan hanya 9 persen yang melaporkan bekerja lebih sedikit. Dalam sebuah studi global terhadap pekerja di luar Microsoft, 54 persen mengatakan merasa terlalu banyak bekerja dan 39 persen melaporkan merasa lelah.
The New York Times melalui artikel ”Out of Office:The Office Will Never Be The Same”, (20/8/2021), menuliskan, di Amerika Serikat, orang-orang yang dapat bekerja dari rumah cenderung diistimewakan dengan cara lain: mereka lebih cenderung berkulit putih dan berpenghasilan tinggi. Beberapa bos menjadwalkan rapat daring secara terus-menerus agar bisa memantau kinerja karyawan.
Bagi pekerja yang harus menjalankan pekerjaan jarak jauh di musim dingin, hal itu dianggap membosankan dan membuat sepi. Untuk pekerja kulit berwarna, bekerja dari jarak jauh membawa pertimbangan tambahan. Ini bisa memperburuk tantangan yang mungkin sudah mereka hadapi, seperti dikucilkan dari peluang.
Dalam sebuah studi global terhadap pekerja di luar Microsoft, 54 persen mengatakan merasa terlalu banyak bekerja dan 39 persen melaporkan merasa lelah.
Dugaan bahwa sektor industri teknologi digital yang dianggap paling mampu dan sukses menerapkan pola bekerja jarak jauh tidak sepenuhnya benar. CEO Microsoft Satya Nadella bahkan menyebut pola hibrida pun penuh paradoks. The New York Times dalam artikel ”The Long, Unhappy History of Working From Home”, (4/1/2021), menceritakan, jauh sebelum pandemi Covid-19, pola bekerja jarak jauh memunculkan keluhan yang sama seperti yang sekarang terjadi.
Pada tahun 2009, IBM memutuskan 40 persen dari 386.000 karyawannya di 173 negara bekerja dari jarak jauh. Namun, pada tahun 2017, dengan pendapatan yang merosot, manajemen memanggil ribuan dari mereka untuk kembali ke kantor. Selain IBM, perusahaan yang menarik kembali telecommuting selama dekade terakhir adalah Aetna, Best Buy, Bank of America, Yahoo, AT&T, dan Reddit. Karyawan yang bekerja jarak jauh sering merasa terpinggirkan dan membuat mereka kurang loyal. Mereka juga merasa kekurangan kreativitas dan berinovasi.
Namun, pendiri CoCreate Work — konsultan yang membantu bisnis memiliki budaya inklusif — La’Kita Williams mengatakan, beberapa orang yang bekerja dari jarak jauh dapat meredakan ketegangan sehari-hari, seperti komentar tidak sensitif atau bodoh yang dibuat di kantor. Di Indonesia, hasil survei Robert Walters Indonesia menunjukkan, alasan utama pola bekerja jarak jauh sepenuhnya disukai oleh sebagian pekerja usia 24–50 tahun, yaitu penghematan biaya, seperti perjalanan, makan, pakaian, dapat memiliki jadwal yang fleksibel, dan keseimbangan kehidupan kerja yang lebih baik.
Apabila diberi pilihan, Country Manager Robert Walters Indonesia Eric Mary mengatakan, karyawan akan lebih memilih fleksibilitas dalam jumlah hari di kantor. Sebagian besar karyawan yang disurvei oleh Robert Walters lebih suka tinggal di kantor selama 2-3 hari dan 31 persen sisanya yang lebih suka menghabiskan tiga hari di kantor.
Beberapa orang yang bekerja dari jarak jauh dapat meredakan ketegangan sehari-hari, seperti komentar tidak sensitif atau bodoh yang dibuat di kantor.
Polisi memeriksa dokumen warga yang ingin keluar melalui jalur darurat dan khusus tenaga kesehatan di pos penyekatan Mapolda Metro Jaya, Jalan Gatot Subroto, Jakarta Selatan, pada hari keempat pelaksanaan pemberlakuan pembatasan kegiatan masyarakat darurat, Rabu (7/7/2021).
Bagi calon karyawan saat mencari pekerjaan baru, dia menyebutkan, satu dari dua sangat mungkin menolak pekerjaan yang membutuhkan kehadiran hampir 100 persen di kantor. Minat yang signifikan pada perusahaan yang menawarkan opsi kerja jarak jauh terbilang tinggi. Lebih dari setengah calon karyawan berpendapat bahwa mereka akan mempertimbangkan tawaran pekerjaan yang sepenuhnya memperbolehkan kebebasan lokasi bekerja.
”Alasan utama opsi pola bekerja secara hibrida dipilih karena alasan membawa keseimbangan hidup. Alasan lain yang mereka yakini bahwa pola bekerja hibrida akan mampu menjaga keindahan interaksi antarkolega,” ujar Eric dalam wawancara secara virtual, Jumat (12/11/2021), di Jakarta.
Sementara berdasarkan cerita Managing Director PT Headhunter Indonesia Haryo Utomo Suryomarto, semakin muda usia karyawan, mereka menyukai pola bekerja jarak jauh ataupun hibrida meski mereka menuntut kepada perusahaan peduli terhadap keseimbangan hidup. Dari sisi perusahaan, sejumlah perusahaan yang pimpinannya berusia muda cenderung lebih suka pola bekerja hibrida atau sepenuhnya jarak jauh. Kelompok seperti ini memiliki prinsip bahwa apa pun pilihan pola bekerja, yang penting tujuan perusahaan tetap tercapai.
”Latar belakang generasi ini amat memengaruhi keputusan pola bekerja yang kami rasa terjadi di banyak negara. Generasi lebih senior dan mungkin telah menduduki jabatan manajer ke atas cenderung merasa bahwa bekerja harus dari kantor. Ini di luar faktor latar belakang sektor industri,” kata Haryo saat dihubungi, Minggu (28/11/2021), di Jakarta.
Rekomendasi
Terlepas dari kontradiksi pola bekerja yang ideal selama pandemi, Haryo berpendapat, momentum ini perlu dimanfaatkan untuk memperbaiki komunikasi antara calon pekerja dan pekerja dengan manajerial perusahaan. Misalnya, jika opsinya tetap mengedepankan pola bekerja hibrida, calon pekerja dan pekerja perlu memastikan kualitas kondisi infrastruktur akses internet. Setelah itu, mereka perlu memastikan sarana bekerja disediakan kantor atau pribadi. Saran terakhir adalah disiplin sesuai kesepakatan tanggung jawab yang dibebankan.
Dari sisi perusahaan, sejumlah perusahaan yang pimpinannya berusia muda cenderung lebih suka pola bekerja hibrida atau sepenuhnya jarak jauh.
”Kondisi organisasi setiap kantor sebuah perusahaan satu dengan lainnya itu berbeda. Ada organisasi didominasi pekerja generasi muda dan ada pula sebaliknya. Cara komunikasi antargenerasi berbeda sehingga perlu satu pemahaman dulu dan akhirnya opsi pola bekerja jarak jauh atau hibrida tetap mencapai tujuan perusahaan,” ucap Haryo.
Pendapat senada disampaikan Chief Scientist Microsoft Jaime Teevan seperti dikutip dari Harvard Business Review. Menurut dia, lingkungan hibrida menawarkan kesempatan untuk menciptakan pendekatan yang lebih berkelanjutan untuk bekerja. Triknya adalah menemukan apa yang berhasil untuk setiap individu. Selama beberapa bulan ke depan, dia menyarankan orang-orang tersebut perlu meluangkan waktu untuk merenungkan kapan dan di mana mereka merasa paling produktif atau sebaliknya.
Di Microsoft, organisasi meminta setiap tim membuat seperangkat norma tim yang menentukan bagaimana mereka ingin bekerja sama dengan pola bekerja hibrida. Aspek kunci untuk membuat pekerjaan hibrida menjadi produktif, menurut Teevan, adalah menemukan kompromi antara gaya kerja individu dan kebutuhan tim.
”Pekerjaan jarak jauh dan pekerjaan tatap muka memiliki kelebihan dan kekurangan yang berbeda, dan daripada mengharapkan hasil yang sama dari masing-masing, karyawan dan manajerial harus dapat membuat masing-masing sukses,” ujarnya.