Pemerintah diminta segera menerapkan peta jalan budidaya lobster dan menyusun standar budidaya yang tepat bagi pelaku budidaya lobster dalam negeri. Indonesia diharapkan tidak kehilangan momentum kebangkitan lobster.
Oleh
BM Lukita Grahadyarini
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Pemerintah diminta mempercepat pengaturan tata cara budidaya lobster dan pendampingan teknis untuk pengembangan usaha budidaya lobster di Indonesia. Budidaya lobster yang kini masih di tahap awal dinilai berjalan sendiri-sendiri dengan standar yang belum jelas sehingga dikhawatirkan memicu masalah baru.
Aturan pembudidayaan lobster tertuang dalam Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor 17 Tahun 2021 tentang Pengelolaan Lobster (Panulirus spp), Kepiting (Scylla spp), dan Rajungan (Portunus spp) di Wilayah Negara Republik Indonesia. Aturan itu juga melarang ekspor benih lobster.
Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) telah menetapkan lobster menjadi satu dari empat komoditas budidaya unggulan untuk ekspor perikanan, selain udang, kepiting, dan rumput laut.
Ketua Umum Himpunan Pembudidaya Ikan Laut Indonesia (Hipilindo) Effendy Wong mengemukakan, sejak budidaya lobster digaungkan, sampai saat ini belum ada kejelasan peta jalan terkait budidaya, pengaturan tata ruang, standar budidaya, hingga pencegahan penyakit.
Sementara itu, di beberapa wilayah mulai muncul serangan penyakit susu (milky disease) pada lobster, di antaranya di Bali, Situbondo (Jawa Timur), dan Lombok (Nusa Tenggara Barat). Serangan penyakit itu perlu diantisipasi lewat metode budidaya dan penataan yang baik. Tanpa keseriusan pengembangan budidaya, dikhawatirkan terjadi banyak kegagalan akibat serangan penyakit menular itu.
Sejak budidaya lobster digaungkan, sampai saat ini belum ada kejelasan peta jalan terkait budidaya, pengaturan tata ruang, standar budidaya, hingga pencegahan penyakit.
Effendy mengingatkan, pembudidayaan lobster di Indonesia masih tergolong pemula. Saat ini, budidaya lobster di sejumlah wilayah cenderung berjalan sendiri-sendiri dengan kualifikasi cara budidaya beragam. Sebagian pembudidaya masih menerapkan cara usang yang diterapkan Vietnam 25 tahun lalu yang kini sudah ditinggalkan.
”(Semua pemangku kepentingan) perlu duduk bersama untuk menyatukan teknik budidaya lobster yang tepat. Jangan sampai momentum kebangkitan budidaya lobster terlewatkan,” kata Effendy saat dihubungi, Minggu (28/11/2021).
Ia menambahkan, momentum budidaya lobster perlu dioptimalkan dan bisa mengatasi ketertinggalan dari Vietnam yang maju pesat meskipun mengandalkan benih lobster dari Indonesia. Pemerintah perlu mengundang seluruh pemangku kepentingan usaha budidaya lobster untuk menyusun peta jalan dan teknik budidaya lobster, termasuk teknologi yang diterapkan.
Secara terpisah, Ketua Kelompok Pembudidaya Lobster Maju Jaya di Desa Jerowaru, Lombok Timur, Mashur mengemukakan, pembudidaya lobster tengah bergairah mengembangkan usahanya. Namun, gairah itu terganggu serangan penyakit susu.
Momentum budidaya lobster perlu dioptimalkan dan bisa mengatasi ketertinggalan dari Vietnam yang maju pesat meski mengandalkan benih lobster dari Indonesia.
Di sisi lain, harga benih lobster masih mahal, yakni jenis mutiara Rp 18.000 per ekor dan jenis pasir Rp 12.000 per ekor. Dalam kondisi normal, harga benih lobster pasir di kisaran Rp 5.000 per ekor. Ia menengarai masih banyak benih lobster yang dibawa keluar Indonesia meski dilarang pemerintah sehingga memicu kenaikan harga benih.
Dari data KKP, sepanjang 17 Juni sampai 9 November 2021 pemerintah menggagalkan 21 kasus penyelundupan benih bening lobster (BBL). BBL yang diselamatkan tersebut sebanyak 1,3 juta benih, meliputi 90,5 persen jenis lobster pasir dan 9,5 persen jenis lobster mutiara.
Sebelumnya, pemerintah menegaskan terus memperketat pintu keluar-masuk sumber daya perikanan di Indonesia. Hal ini untuk mencegah penyelundupan, khususnya BBL, untuk dibawa ke luar negeri. Penyeludupan tersebut justru menguntungkan negara lain yang mengandalkan benih lobster dari Indonesia.
Menurut Kepala Badan Karantina Ikan, Pengendalian Mutu dan Keamanan Hasil Perikanan (BKIPM) Rina, masih terdapat titik rawan penyelundupan BBL, seperti di Sungai Musi (Sumatera Selatan) dan Kalimantan Utara. Kerja sama dengan aparat penegak hukum untuk mempersempit ruang gerak penyelundup terus dilakukan.