Sistem pelacakan ini membantu negara-negara di dunia untuk memantau perkembangan dan perdagangan vaksin dari hulu hingga hilir. Sistem itu juga bisa jadi pijakan kebijakan untuk mewujudkan keadilan atau pemerataan vaksin
Oleh
Hendriyo Widi
·4 menit baca
Organisasi Perdagangan Dunia (WTO) dan Dana Moneter Internasional (IMF) membangun sistem Pelacak Perdagangan Vaksin dunia atau Vaccine Trade Tracker. Melalui sistem yang diluncurkan pada 22 November 2021 itu, alur perdagangan vaksin dari hulu atau negara produsen hingga hilir atau negara penerima dapat terpantau dan terdata.
Sistem itu memberikan berbagai informasi tentang jenis vaksin, jumlah pasokan vaksin dunia, produksi dan distribusi, serta ekspor dan impor vaksin. Sistem itu menyajikan pula data tingkat atau cakupan vaksinasi setiap negara berdasarkan benua dan status negara mulai dari berpenghasilan rendah, menengah ke bawah, menengah ke atas, dan tinggi.
Sumber data sistem Pelacak Perdagangan Vaksin itu merupakan data olahan dari berbagai sumber. Sumber-sumber itu antara lain COVAX Global Vaccine Market Assessment, Dana Anak-anak Perserikatan Bangsa-Bangsa (UNICEF), Duke Global Health Innovation Center, Airfinity, Our World in Data, Bank Dunia, Bank Pembangunan Asia (ADB), dan Tim Tugas Akuisisi Vaksin Afrika (AVATT).
Dari sistem itu, misalnya, dapat diketahui bahwa China merupakan negara pengekspor vaksin terbanyak, yaitu 1,33 miliar dosis per 31 Oktober 2021. Disusul oleh Uni Eropa dan Amerika Serikat yang masing-masing sebanyak 300,8 juta dosis dan 128,7 juta dosis.
Adapun pengimpor vaksin terbanyak adalah negara-negara berpenghasilan menengah ke atas, yakni 1,36 miliar dosis dengan rata-rata cakupan vaksin sebanyak 46,4 dosis per 100 orang. Sementara negara-negara berpenghasilan rendah baru mengimpor vaksin sebanyak 94,6 juta dosis dengan rata-rata cakupan vaksin sebanyak 13,9 dosis per 100 orang.
Dari sistem itu pula, tercatat tingkat cakupan vaksin penuh (dosis pertama dan kedua) yang telah diberikan di negara-negara berpenghasilan rendah baru sekitar 2,2 persen. Tingkat cakupan vaksin itu jauh di bawah negara-negara berpenghasilan tinggi dan menengah ke atas, yaitu masing-masing 64,2 persen dan 56,5 persen per 31 Oktober 2021.
WTO menyebutkan, sistem itu membantu negara-negara di dunia untuk memantau perkembangan dan perdagangan vaksin dari hulu hingga hilir. Sistem itu juga bisa menjadi pijakan para pemimpin dunia untuk mewujudkan keadilan atau pemerataan vaksin.
Masih banyak negara yang belum menuntaskan vaksinasi dosis pertama dan kedua. Di tengah kondisi itu, sudah banyak negara yang mulai mendorong, bahkan menerapkan, vaksin booster (penguat) atau dosis ketiga. Persetujuan dosis vaksin booster yang berbeda-beda antarnegara dapat berkontribusi pada kekurangan pasokan vaksin global.
”Dunia, terutama negara-negara anggota WTO, harus menemukan solusi bersama atas ketidakadilan vaksin ini. Hal ini akan menjadi prioritas WTO,” kata Direktur Jenderal WTO Ngozi Okonjo-Iweala.
Sistem itu membantu negara-negara di dunia untuk memantau perkembangan dan perdagangan vaksin dari hulu hingga hilir. Sistem itu juga bisa menjadi pijakan para pemimpin dunia untuk mewujudkan keadilan atau pemerataan vaksin.
Pada Oktober lalu, IMF menyebutkan, pemulihan ekonomi global akan berjalan lambat jika vaksinasi di negara berkembang dan miskin masih minim. Dunia diperkirakan akan kehilangan penambahan produk domestik bruto (PDB) sekitar 5,3 triliun dollar AS selama lima tahun ke depan jika vaksinasi yang belum merata itu menyebabkan sumbatan-sumbatan yang dapat menghambat akselerasi pemulihan ekonomi dunia.
"Apabila sebagian besar dunia tetap tidak divaksin, maka tragedi kemanusiaan akan berlanjut. Pemulihan akan tertahan, sehinga dunia berpotensi kehilangan pendapatan," kata Direktur Pelaksana IMF Kristalina Georgieva.
Upaya mewujudkan keadilan produksi dan distribusi vaksin sebenarnya sudah digulirkan di WTO sejak 2020. Salah satunya melalui proposal akses kesetaraan atau pengabaian sementara hak atas kekayaan intelektual vaksin dan obat (Trade-Related Aspects of Intellectual Property Rights/TRIPS Waiver.
Namun, pembahasan proposal yang diusulkan India dan Afrika Selatan pada 6 Oktober 2020 itu masih belum tuntas. Proposal itu juga akan menjadi salah satu agenda pembahasan dalam Konferensi Tingkat Menteri WTO ke-12 di Geneva, Swiss, pada 30 November-3 Desember 2021.
Namun, WTO memutuskan menunda pertemuan itu setelah kasus Covid-19 merebak di sejumlah negara di Eropa dan Afrika seiring dengan penemuan varian Covid-19 baru Omicron atau Botswana. WTO berencana mengadakan kembali KTM itu sesegara mungkin, setelah kasus mereda.
"(Pembatalan) ini bukan keputusan yang mudah untuk direkomendasikan dan dibuat. Namun prioritas saya adalah kesehatan dan keselamatan peserta," kata Okonjo-Iweala, melalui siaran pers, Jumat (26/11/2021), waktu Geneva.
Selain membahas proposal tersebut, WTO juga ingin membahas berbagai hambatan perdagangan vaksin global. Salah satunya tentang tingginya bea masuk impor vaksin, bahan baku atau penolong dalam produksi vaksin, dan produk-produk penting yang dibutuhkan untuk menangani Covid-19 di sejumlah negara.
Mendesak pula tingginya bea masuk yang dikenakan atas barang impor bagi negara yang tidak memiliki perjanjian perdagangan khusus (most favourable nations/MFN). Tarif bea masuk MFN ini dapat memengaruhi harga vaksin Covid-19 serta obat-obatan penunjangnya.
WTO menyebutkan, dari 27 negara produsen vaksin, kelengkapan vaksin, dan produk-produk penunjang penanganan Covid-19, sebanyak 15 negara memberlakukan tarif rata-rata MFN di bawah 5 persen, sedangkan 12 negara di atas 5 persen. India, Kazakhstan, Argentina, Kuba, dan Iran memiliki tarif rata-rata MFN tertinggi, yaitu 8,9 persen-11,9 persen.
Cepat atau lambat, perebutan obat Covid-19 bakal terjadi dan mewarnai kesenjangan vaksinasi global.
Munculnya varian baru dan lonjakan kasus Covid-19 di berbagai negara, bahkan negara produsen vaksin dan obat, berpotensi membuat kesenjangan vaksinasi global kian melebar. "Perlombaan" vaksinasi antar negara untuk menyelamatkan penduduk dan ekonominya akan semakin kompetitif.
Negara-negara yang telah menyelesaikan vaksinasi penuh akan mengejar vaksin booster. Negara-negara yang belum merampungkan vaksinasi penuh akan berupaya menyelesaikannya sembari mengejar vaksin booster.
Seiring dengan itu, cepat atau lambat, perebutan obat Covid-19 bakal terjadi dan mewarnai kesenjangan tersebut. Dunia membutuhkan kesepakatan bersama untuk menambah negara produsen vaksin dan obat Covid-19. Hal ini penting untuk mencapai imunitas global. TRIPS Waiver yang tertunda pembahasannya itu akan berperan penting dalam pemerataan vaksin dan obat Covid-19.