Indonesia dinilai memiliki peluang besar menjadi pemain kunci di industri kendaraan listrik global. Peluang ada di depan mata. Namun, jika tidak berpacu untuk mengejar peluang itu, Indonesia bisa kehilangan momentum.
Oleh
Mukhamad Kurniawan
·4 menit baca
Era kendaraan listrik datang lebih awal. Selain faktor regulasi yang mengatur tenggat larangan menjual kendaraan berbahan bakar fosil guna menekan emisi karbon di sejumlah negara dan kawasan, percepatan elektrifikasi kendaraan didorong oleh tuntutan konsumen yang makin bergeser ke arah mobilitas yang berkelanjutan.
McKinsey dalam artikel ”Why the Automotive is Electric” menyebut, tahun ini diskusi dipusatkan pada tanggal akhir penjualan kendaraan bermesin pembakaran internal (internal combustion engine/ICE). Target regulasi baru di Uni Eropa dan Amerika Serikat, misalnya, bertujuan untuk pangsa kendaraan listrik 50 persen pada 2030, sementara beberapa negara telah mengumumkan batas waktu larangan penjualan ICE dipercepat pada 2030 atau 2035.
Di tingkat global, adopsi kendaraan listrik terus tumbuh, bahkan di tengah tekanan ekonomi akibat pandemi global Covid-19. Eropa, China, dan Amerika Serikat menjadi representasi utama perkembangan transisi global ke kendaraan listrik. Sejumlah produsen mobil premium telah mematok target hanya akan menjual kendaraan listrik pada 2025-2030, sementara sebagian lainnya mulai 2030-2035.
Sejumlah produsen mobil telah menyampaikan targetnya. Menurut laporan BBC, produsen mobil Jaguar berencana hanya menjual mobil listrik mulai tahun 2025, Volvo mulai tahun 2030, sementara perusahaan mobil sport Inggris, Lotus, mulai 2028. Selain itu, General Motors hanya akan membuat kendaraan listrik pada 2035, Ford menyatakan semua kendaraan yang dijual di Eropa merupakan kendaraan listrik tahun 2030, sementara VW menyatakan 70 persen penjualannya adalah kendaraan listrik pada 2030.
Indonesia memiliki peluang besar untuk berperan di tengah derap percepatan tersebut. Selain sejumlah sumber daya bahan baku utama baterai, seperti nikel, kobalt, aluminium, dan mangan, Indonesia memiliki pasar yang besar. Jumlah kelas menengah yang diperkirakan lebih dari 40 juta orang merupakan pasar kendaraan listrik yang terbesar di Asia Tenggara.
Momentum itu sedang terjadi dan ada sederet keuntungan jika Indonesia mampu mengoptimalkannya. Selain mendorong nilai tambah melalui hilirisasi tambang menjadi baterai, pengembangan ekosistem kendaraan listrik hulu hingga hilir bakal membuka lapangan kerja, mengurangi ketergantungan Indonesia pada bahan bakar minyak (BBM) impor, sekaligus menekan emisi karbon.
Pemerintah menerbitkan regulasi dan menetapkan peta jalan untuk membangun ekosistem industri kendaraan listrik yang terintegrasi. Ekosistem itu terdiri dari industri bahan baku, baterai dan komponen, pabrikan mobil dan motor, serta daur ulang baterai. Namun, selain konsistensi mengejar tahap-tahap yang telah ditetapkan dalam peta jalan, pemerintah perlu memastikan Indonesia tidak hanya menjadi pasar agar cita-cita menjadi pemain penting di rantai pasok global kendaraan listrik bisa terwujud.
Selain meningkatkan nilai tambah hasil tambang, pengembangan kendaraan listrik nasional semestinya menggerakkan industri komponen serta menggairahkan iklim penelitian, pengembangan, dan inovasi teknologi di dalam negeri. Ada sederet hasil karya mahasiswa, perguruan tinggi, serta instansi/lembaga penelitian terkait kendaraan listrik yang potensial untuk dikembangkan hingga siap masuk dan bersaing di pasar komersial.
Percepatan adopsi kendaraan listrik juga bakal mendisrupsi industri komponen otomotif di dalam negeri. Gabungan Industri Alat Mobil dan Motor memperkirakan, elektrifikasi kendaraan akan berdampak pada lebih dari 47 persen dari total industri komponen mobil dan motor yang pada 2019 jumlahnya sekitar 1.500 perusahaan dan menyerap 3 juta tenaga kerja. Mayoritas di antaranya adalah industri kecil dan menengah. Risiko itu idealnya menjadi salah satu pertimbangan dalam proses transisi.
Hal lain yang dinilai penting terkait pengembangan ekosistem kendaraan listrik adalah soal keterjangkauan harga kendaraan. Hingga kini, harga kendaraan listrik dinilai masih terlalu mahal bagi sebagian besar konsumen Indonesia. Di pasaran otomotif nasional, harga kendaraan listrik roda empat yang paling murah berkisar Rp 600 juta, sementara kemampuan beli masyarakat berkisar Rp 270 juta hingga Rp 300 juta per unit.
Benar saja kata sejumlah konsumen, percuma kendaraannya ramah lingkungan, tetapi tidak ”ramah” kantong. Jika terus begitu kondisinya, adopsi kendaraan listrik pasti akan tersendat karena masyarakat tak mampu membelinya. Oleh karena itu, inovasi dan insentif diperlukan guna menekan harga kendaraan agar lebih terjangkau dan menarik pasar yang lebih luas.
Waktunya tidak banyak dan kini momentum ada di depan mata. Jika tidak berpacu, Indonesia bisa tertinggal dan hanya akan menjadi negara pasar.