UU Cipta Kerja Cacat Formil, Buruh Minta Upah Minimum Dianulir
Kalangan buruh meminta pemerintah menganulir kebijakan upah minimum sejalan dengan putusan Mahkamah Konstitusi yang menyatakan Undang-Undang Nomor 11/2020 tentang Cipta Kerja cacat formil dan inkonstitusional bersyarat.
Oleh
Agnes Theodora, Dimas Waraditya
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Mahkamah Konstitusi menyatakan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja cacat formil dan inkonstitusional bersyarat. Atas dasar itu, buruh meminta agar kebijakan upah minimum dicabut dan kembali pada aturan lama yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan.
Saat ini, kebijakan upah minimum 2022 mengacu pada Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 36 Tahun 2021 tentang Pengupahan, yang merupakan peraturan turunan dari Undang-Undang Cipta Kerja. Regulasi itu menerapkan sistem pengupahan baru yang menahan laju kenaikan upah minimum menjadi lebih rendah dari sebelumnya untuk menjaga iklim investasi dan berusaha.
Hingga hari ini, sudah ada 33 provinsi yang menetapkan upah minimum provinsi (UMP) 2022 berdasarkan UU Cipta Kerja. Sementara upah minimum kabupaten/kota (UMK) masih akan dibahas sampai 30 November 2021. Adapun rata-rata kenaikan UMP tahun depan adalah 1,09 persen, di bawah tingkat inflasi tahunan nasional sebesar 1,66 persen.
Menyusul putusan MK yang menyatakan bahwa UU Cipta Kerja cacat formil dan bertentangan dengan konstitusi, kelompok buruh meminta agar kebijakan upah minimum 2022 dicabut.
Presiden Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI) Said Iqbal, Kamis (25/11/2021), mengatakan, penetapan upah minimum dan berbagai persoalan ketenagakerjaan harus kembali pada UU Ketenagakerjaan karena UU Cipta Kerja telah dinyatakan cacat formil.
Buruh pun menurunkan tuntutan kenaikan upah minimum, dari yang awalnya meminta kenaikan 7-10 persen menjadi 4-5 persen dari besaran upah minimum 2021.
”Gubernur-gubernur harus mencabut surat keputusan (SK) tentang upah minimum dan kembali pada UU Ketenagakerjaan dan PP yang lama. Tuntutan kami sekarang sampai pada angka kompromi, yaitu 4-5 persen kenaikan,” kata Said dalam konferensi pers seusai putusan MK.
Menurut Sekretaris Jenderal Organisasi Pekerja Seluruh Indonesia Timboel Siregar, sesuai dengan pertimbangan yang disampaikan dalam putusan MK, kebijakan yang strategis dan memengaruhi masyarakat luas berdasarkan UU Cipta Kerja seharusnya ditangguhkan.
”Kami berharap pemerintah untuk sementara menangguhkan dulu kehadiran UU Cipta Kerja, khususnya untuk persoalan ketenagakerjaan, seperti upah minimum, PHK, dan pembayaran pesangon. Sebab, ini berkaitan dengan isu-isu strategis yang terkait langsung dengan persoalan masyarakat luas di lapangan,” katanya.
Menurut dia, jika ditafsirkan secara tepat, putusan MK itu bisa meredakan situasi polemik terkait penetapan upah minimum yang belakangan memanas. Terkait perbaikan UU Cipta Kerja dalam kurun waktu dua tahun ke depan, masyarakat dan kelompok buruh harus ikut dilibatkan.
”Kami berharap bisa bersama-sama memperbaiki UU Cipta Kerja. Keterlibatan masyarakat dan buruh jangan sebatas sosialisasi di akhir, tetapi dari awal benar-benar ikut dilibatkan dalam proses pembahasannya,” ujar Timboel.
Masih menggantung
Putusan uji formil MK itu membawa tafsir yang berbeda-beda. Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Indonesia Hariyadi Sukamdani menilai, putusan MK tidak berpengaruh terhadap penetapan upah minimum 2022 yang sudah berlaku. Kebijakan upah minimum tidak bisa lagi diganggu-gugat.
”Upah minimum itu tercantum di PP 36/2021 dan sudah keluar sehingga harus tetap berjalan. PP tidak bisa serta-merta dibatalkan dengan adanya revisi yang diamanatkan MK. Berbeda halnya kalau (PP) belum diterbitkan, itu berdasarkan putusan MK memang harus ditunda sampai ada revisi UU,” ujar Hariyadi.
Untuk sementara ini, nasib kebijakan upah minimum 2022 masih menggantung. Sampai Kamis malam, Kementerian Ketenagakerjaan dan Dewan Pengupahan Nasional masih mengadakan rapat untuk membahas dampak dari putusan MK itu terhadap kebijakan upah minimum 2022 serta berbagai urusan ketenagakerjaan lainnya.
Wakil Ketua Depenas Surnadi mengatakan, belum ada kesimpulan terkait dampak putusan MK terhadap kebijakan upah minimum. Ia menilai, ada kesulitan untuk menafsirkan dampak dari putusan MK tersebut karena bunyi putusannya tidak tegas.
Kendati demikian, menurut dia, ada kemungkinan penetapan upah minimum tidak akan berubah dan tetap mengacu pada PP 36/2021. ”Sepertinya tidak berubah. Ini yang lagi kami kaji,” katanya.
Saat dihubungi, Direktur Hubungan Kerja dan Pengupahan Dinar Titus Jogaswitani dan Sekretaris Jenderal Kemenaker Anwar Sanusi belum bisa memberikan komentar.
Terkait implikasi dari putusan MK itu, Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto menilai, berbagai peraturan turunan dari UU Cipta Kerja yang sudah diterbitkan akan tetap berlaku. Pemerintah akan menindaklanjuti putusan MK itu melalui mempersiapkan revisi atau perbaikan UU Cipta Kerja dalam dua tahun ke depan.