Tafsir Melebar, Pengusaha Minta Isi UU Cipta Kerja Tidak Diubah
Kalangan pengusaha meminta agar substansi UU Cipta Kerja tidak perlu diperbaiki untuk menjaga iklim berusaha. Sementara kelompok buruh meminta ada perbaikan substansi karena proses pembentukannya cacat formil.
Oleh
Agnes Theodora
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Putusan Mahkamah Konstitusi terkait dengan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja memunculkan berbagai tafsir. Kalangan pengusaha meminta agar substansi undang-undang tidak perlu diperbaiki untuk menjaga iklim berusaha. Sementara kelompok buruh meminta ada perbaikan substansi, mengingat proses pembentukan awal UU sudah dinyatakan cacat formil.
Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Hariyadi Sukamdani menilai, hal yang dipermasalahkan dalam putusan Mahkamah Konstitusi (MK) adalah proses formil pembentukan Undang-Undang (UU) Cipta Kerja. Dengan demikian, menurut dia, yang perlu diperbaiki hanya UU Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, bukan UU Cipta Kerja.
Ia mengkhawatirkan, jika UU Cipta Kerja direvisi, itu dapat memunculkan ketidakpastian iklim berusaha dan investasi. Sementara itu, jika yang direvisi hanya UU No 12/2011, dampaknya tidak akan serius terhadap kondisi usaha.
”Putusan MK itu, kan, tidak mempermasalahkan materinya. Yang dipermasalahkan adalah formil pembentukan undang-undangnya. Yang diminta direvisi adalah UU Nomor 12 Tahun 2011. Jadi, materi tidak ada perubahan, yang diubah adalah aspek legal formil dalam membentuk UU Cipta Kerja,” kata Hariyadi dalam konferensi pers daring.
Ia juga menyampaikan bahwa UU Cipta Kerja masih berlaku selama kurun waktu dua tahun ini, seperti isi putusan MK. ”Maka, semua peraturan turunan dari UU Cipta Kerja pun tetap efektif dan berjalan, termasuk Peraturan Pemerintah Nomor 36 Tahun 2021 tentang Pengupahan yang sekarang jadi dasar kebijakan upah minimum 2022,” ujarnya.
Sebelumnya, dalam amar putusan poin ke-5, majelis hakim MK memerintahkan kepada pembentuk undang-undang untuk melakukan perbaikan UU dalam waktu paling lama dua tahun sejak putusan MK keluar. Jika dalam tenggang waktu itu tidak dilakukan perbaikan, UU Cipta Kerja menjadi inkonstitusional secara permanen.
Dalam bagian pertimbangan hukum poin 3.21, majelis hakim MK menyatakan bahwa pembentuk UU memiliki kesempatan untuk mengkaji kembali beberapa substansi yang menjadi keberatan kelompok masyarakat.
Konferensi pers itu turut menghadirkan anggota Badan Legislasi DPR, Firman Soebagyo. Menurut politisi Partai Golkar itu, karena UU No 12/2011 tidak mencantumkan norma pembentukan UU secara sapu jagat (omnibus law), maka UU itu yang harus diubah.
”Kalau frasa ’omnibus law’ sudah masuk dalam UU 12/2011, maka pelanggaran konstitusional yang dianggap bertentangan dengan UUD 1945 sudah tidak ada. Clear di situ,” katanya.
Ia menilai, materi atau substansi UU Cipta Kerja tidak harus mengalami perubahan. Namun, ia menyerahkan tafsir dan keputusan itu kepada pemerintah selaku pengusul awal UU Cipta Kerja.
”Kami serahkan kepada pemerintah untuk melakukan revisi (UU Cipta Kerja). Namun, agar UU ini tidak dianggap inkonstitusional, DPR mulai hari ini telah bersiap menginisiasi dan melakukan revisi UU 12/2011 untuk memasukkan frasa omnibus law,” ujar Firman.
Targetnya, Desember ini DPR akan memasukkan revisi UU No 12/2011 dalam daftar kumulatif terbuka di Program Legislasi Nasional (Prolegnas) 2022. ”Ini akan kami dorong dan siapkan supaya pada awal tahun depan, setidaknya pada Januari atau paling lambat Maret, revisinya sudah selesai dan memenuhi putusan MK. Kami akan maraton membahasnya,” katanya.
Sementara itu, kelompok buruh meminta pemerintah tidak hanya mengikuti suara pengusaha dan mau melakukan perbaikan substansi UU Cipta Kerja. Pemerintah juga seharusnya menangguhkan segala peraturan dan kebijakan yang bersifat strategis dan berdampak luas yang mengacu pada UU Cipta Kerja, seperti bunyi pertimbangan hakim MK.
Presiden Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia Said Iqbal mengatakan, dalam kesempatan revisi UU Cipta Kerja, pemerintah dan DPR harus aktif melibatkan serikat pekerja dalam proses penyusunan UU. ”Kami nanti akan membawa konsep kami sendiri, tetapi kami tidak mau dijadikan stempel legitimasi pemerintah. Jika konsep kami tidak dipertimbangkan, kami akan siapkan perlawanan hukum dan gerakan,” katanya.