Meski tergolong baru, sejumlah pencapaian telah diraih lembaga ini. Hingga November 2021, INA menghimpun dana investasi senilai 3,75 miliar dollar AS atau Rp 54 triliun untuk investasi ruas jalan tol.
Oleh
BM Lukita Grahadyarini & M Fajar Marta
·6 menit baca
Lembaga Pengelola Investasi atau Indonesia Investment Authority (INA) dibentuk Februari 2021 dan menjadi pengelola dana abadi (SWF) yang dimiliki Indonesia. Pembentukan INA mengacu pada Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja, serta Peraturan Pemerintah Nomor 74 Tahun 2020 tentang Lembaga Pengelola Investasi.
Meski tergolong baru, sejumlah pencapaian telah diraih lembaga ini, di antaranya, menghimpun dana investor melalui konsorsium untuk membeli aset badan usaha. Hingga November 2021, INA menghimpun dana investasi senilai 3,75 miliar dollar AS atau Rp 54 triliun untuk investasi ruas jalan tol. Selain itu, mendorong pendanaan hingga 800 juta dollar AS untuk investasi di perusahaan infrastruktur telekomunikasi PT Dayamitra Telekomunikasi (Mitratel), anak usaha PT Telkom Indonesia (Persero).
Meski demikian, masih terdapat pertanyaan dan kebingungan sebagian kalangan terkait tugas dan fungsi INA. Dalam diskusi dengan Harian Kompas, Rabu (24/11/2021), Chief Executive Officer INA Ridha DM Wirakusumah dan Chief Investment Officer INA Stefanus Ade Hadiwidjaja, menjelaskan, minat asing untuk bermitra dengan INA dalam kepemilikan saham perusahaan di Indonesia semakin besar.
Sebagai entitas bisnis, INA berperan menggalang dana investor untuk bersama diinvestasikan pada aset perusahaan yang optimal. Kepercayaan investor harus dikelola transparan dan menghasilkan nilai tambah bagi perusahaan. Tantangannya, tidak mudah mencari aset yang benar dan optimal. Berikut petikan wawancara tersebut:
Mengingat ini lembaga negara yang tergolong baru, masih banyak kebingungan di masyarakat. Apa bedanya INA ini dengan BKPM/Kementerian Investasi? Boleh dijelaskan apa tugas dan fungsi INA?
INA adalah entitas bisnis, dan melaporkan kinerja ke presiden. Kami menarik investor untuk bersama-sama melakukan investasi. Berbeda dengan Kementerian Investasi, kami tidak berwenang menentukan kebijakan terkait investasi, karena kami masuk untuk investasi di perusahaan. Kami harus mencari aset yang benar agar investasi bisa memberikan nilai tambah atau imbal hasil yang optimal.
Visi kami adalah membantu pembangunan berkelanjutan dan membangun kekayaan bagi generasi mendatang. Prioritas kami adalah aspek komersial, membangun kapabilitas untuk memberikan nilai tambah pada investasi. Kedua, kami berkolaborasi dengan investor yang kredibel. Dan kalau bisa investasi yang masuk itu juga membawa keahlian. Ketiga, memberikan nilai tambah atas investasi berdasarkan global best practice. Mimpi kami, memastikan uang yang dipercayakan ini bisa berlipat ganda dengan audit yang transparan.
Apa saja fokus investasi INA saat ini?
Investasi yang kami kerjakan saat ini berfokus pada beberapa sektor, seperti infrastruktur tol, pelabuhan dan bandara, infrastruktur digital, ekonomi digital, dan kesehatan (healthcare). Kami juga berencana menggarap logistik, energi terbarukan, dan manajemen sampah dalam beberapa tahun ke depan.
INA tidak masuk ke proyek yang benar-benar baru (greenfield). Kami investasi ke perusahaan yang sudah ada dan yang bisa kami optimalkan. Mekanisme investasi bisa melalui struktur pendanaan, investasi langsung di perusahaan, ataupun IPO. Kami mempunyai kewenangan penuh dalam mengambil keputusan investasi dan tidak ada campur tangan pemerintah.
INA sudah beroperasi sekitar sembilan bulan. Apa saja capaian sejauh ini?
Dalam kurun 190 hari sejak beroperasi, kami menghimpun dana 3,75 miliar dollar AS untuk investasi di proyek ruas tol, dan 800 juta dollar AS untuk investasi di infrastruktur digital. Di pelabuhan, kami bekerjasama dengan Dubai Ports World (DP World) untuk investasi di Belawan, Jakarta I dan Jakarta II. Mereka akan bangun warehouse, interlab, membawa teknologi dan sistem. Kami akan kawal.
Kami yakinkan investor bahwa kami adalah pengelola professional, kami dan partner investasi bersama-sama dan mengelola (aset) bersama-sama. Kami juga terbuka untuk investor dalam negeri. Kami tidak membatasi (investor) harus perusahaan asing.
Dana kami sangat dibutuhkan untuk membantu menyelesaikan persoalan dana kelolaan jangka pendek dari perbankan untuk pembiayaan jangka panjang (maturity mismatch) proyek tol, dan masalah rasio utang terhadap ekuitas (DER) yang tinggi. Banyak hal di Indonesia yg masih sangat timpang antara konsesi pengelolaan tol dan pendanaan.
Terkait proyek tol. INA menjalin kerjasama dengan Caisse de dépôtet placement du Québec (CDPQ), APG Asset Management (APG), dan anak usaha dari Abu Dhabi Investment Authority (ADIA) untuk investasi pembangunan jalan tol. Bagaimana perkembangannya?
Per tahun 2020, terdata 2.028 kilometer (km) ruas tol yang beroperasi. Dalam 70 tahun Indonesia merdeka, panjang tol kita hanya 750 km dan di masa pemerintahan Presiden Joko Widodo, pembangunan tol dikebut hingga 1.200 km. Akan tetapi, pembangunan tol yang dikebut membuat check and balance berkurang jika dibandingkan di masa lalu.
INA telah menghimpun dana 3,75 miliar dollar AS untuk investasi pada ruas tol, dengan komposisi dana berasal dari INA 750 juta dollar AS, ADIA 1 miliar dollar AS, APG 1 miliar dollar AS, dan CDPQ 1 miliar dollar AS. Nama besar investor ini akan berinvestasi jangka panjang. Dana investasi sudah ada, namun membeli aset perusahaan tidak gampang karena antara harga dan nilai (aset) kerap jauh. Kami sedang dalam tahap negosiasi pembelian aset perusahaan untuk investasi pada beberapa ruas tol di Jawa dan Sumatera.
Setelah dibeli, kami akan membuat platform tol. Aset itu harus menghasilkan nilai tambah melalui penguatan struktur finansial, hingga operasional jalan tol. Banyak hal yang bisa dilakukan oleh pemilik jalan tol, seperti tempat istirahat digarap dengan baik dan pengaturan lalu lintas secara digital. Diharapkan pengelola tol yang lain akan terus berbenah memperbaiki diri. Kami juga menempatkan orang untuk operasional.
Bagaimana dengan investasi di infrastruktur digital?
Ekonomi digital tumbuh pesat, tetapi belum diimbangi pengembangan infrastruktur digital. Padahal, pertumbuhan penggunaan data di Indonesia mencapai 98 persen per tahun.Sebagai contoh, Singapura memiliki data center tujuh kali lipat dari data center Indonesia.
Investasi perdana kami pada infrastruktur digital, yakni Telco Tower. INA berkolaborasi dengan investor membeli saham mayoritas Mitra Tel dengan total investasi 800 juta atau 60 persen saham dalam proses IPO. Dari nilai itu, porsi pendanaan INA senilai 200 juta dollar AS, dan selebihnya dari ADIA, Government of Singapore Investment Corporation (GIC), dan Abu Dhabi Growth Fund (ADG). Investor yang kita bawa ini juga kelas dunia untuk investasi jangka panjang.
Ada tiga fokus yang kami cari dalam berinvestasi di infrastruktur digital, yakni Telco Tower, data center dan serat optik. Setiap tahun pertumbuhan penggunaan data sangat cepat, perkembangan serat optik jika tidak kuat akan menjadi penghambat. Saat ini, kami juga sudah bekerjasama dengan Telkom untuk pemasangan infrastruktur 5G.
Kami melihat peran digital dalam pertumbuhan ekonomi di Indonsia sangat penting, bahkan salah satu yang bisa membawa Indonesia mengalami lompatan pertumbuhan. Namun, kami ingin menggarap secara end to end, ada agroteknologi, logistik, kesehatan, dan edutech. Kami akan mengambil beberapa peran di area itu.
Apa kunci atau kiat agar investor tertarik untuk berparner dengan INA?
Kita mengerti keinginan investor. Mereka mau masuk itu jika jelas model investasi, risiko, keamanan usaha, siapa yang menjalankan. Selain itu, regulasi, prospek industri, kompetisi bagaimana dan finansial. Kami sudah membuktikan bahwa pengumpulan dana itu mungkin. Justru yang susah cari asetnya.
Kami ceritakan kondisi Indonesia. Indonesia sebenarnya cantik dari segi prospek. Tetapi, lebih penting adalah mengubah potensi ke realitas. Kami nggak mau bicara janji. Kami jelaskan kalau mau investasi ada risikonya, tetapi reward-nya begini. Transparansinya besar. Kami memiliki sangat banyak hal yang harus dikerjakan, dan ranjaunya banyak sekali. Uang yang didapat dari kepercayaan harus dijaga dengan benar. Simpelnya, detail ekskusi sangat penting, governance, dan regulasi.
Mereka melihat aset atau sektor yang menarik, serta valuasi atau harga yang optimal. Jika risiko tinggi maka imbal hasil tinggi, dan sebaliknya. Selain itu, syarat dan ketentuan invetsasi yang adil. Kalaupun ketiga ini oke, permintaan terhadap peluang di Indonesia itu lumayan baik.
Bagaimana dengan target INA sampai 2024?
Kami sedang formulasikan, nanti di Januari 2022 akan kami informasikan.