Pemerintah dipastikan menghapus alokasi anggaran insentif bagi dunia usaha dalam program Pemulihan Ekonomi Nasional (PEN) 2022. Alasannya, perekonomian telah mulai pulih.
Oleh
Dimas Waraditya Nugraha
·4 menit baca
Pemerintah dipastikan menghapus alokasi anggaran insentif bagi dunia usaha dalam program Pemulihan Ekonomi Nasional atau PEN 2022. Alasannya tidak lain ialah perekonomian telah berada pada jalur positif menuju kepulihan dan pertumbuhan.
Berdasarkan data Kementerian Keuangan, total anggaran PEN pada tahun depan tercatat senilai Rp 414,14 triliun. Nilai ini turun 44,41 persen dibandingkan anggaran program PEN tahun 2021 yang tercatat Rp 744,77 triliun.
Dirinci berdasarkan penggunaannya, anggaran PEN 2022 akan terbagi untuk tiga pos. Pertama pos kesehatan dengan alokasi senilai Rp 117,94 triliun, kedua pos perlindungan masyarakat atau sosial senilai Rp 154,8 triliun, dan ketiga alokasi untuk penguatan pemulihan ekonomi senilai Rp 141,4 triliun. Dalam anggaran PEN 2022 tersebut tak ada lagi insentif untuk dunia usaha.
Postur anggaran tersebut cukup mengejutkan dunia usaha. Ini mengingat sejak pandemi Covid-19 melanda negeri ini pada tahun 2020, pelaku usaha selalu mendapatkan insentif.
Pada tahun ini saja, pagu anggaran yang disediakan oleh pemerintah untuk insentif dunia usaha tercatat mencapai Rp 62,83 triliun. Adapun per 19 November 2021, penyerapan anggaran insentif telah mencapai Rp 62,47 triliun atau 99,4 persen.
Realisasi ini menggambarkan bahwa kalangan pelaku usaha masih sangat membutuhkan sokongan serta dukungan dari pemerintah, terutama dari sisi fiskal, untuk bisa bangkit dari keterpurukan.
Secara terperinci, insentif yang selama ini dinikmati kelompok pengusaha mencakup Pajak Penghasilan (PPh) PPh Pasal 21 Ditanggung Pemerintah (DTP), PPh Final UMKM DTP, dan pembebasan PPh Pasal 22 Impor.
Selain itu, juga pembebasan bea masuk, pengurangan angsuran PPh Pasal 25, restitusi Pajak Pertambahan Nilai (PPN) Dipercepat, PPN sewa unit di mal DTP, Pajak Penjualan atas Barang Mewah (PPnBM) mobil DTP, dan PPN rumah DTP.
Melalui keputusan peniadaan insentif usaha pada 2022, dipastikan pemerintah menghapus insentif-insentif yang sebelumnya diberikan. Jika mencoba melihat dari sudut pandang dunia usaha, tentu ada harapan pemerintah masih sudi untuk mengalokasikan insentif fiskal tahun depan.
Persoalannya, tidak seluruh sektor bisnis telah berhasil bangkit dari keterpurukan akibat pandemi Covid-19. Memang betul situasi saat ini mulai baik, tetapi belum bisa dibilang normal karena pandemi Covid-19 masih tetap menjadi ancaman yang signifikan.
Sejumlah sektor usaha masih berjalan gontai hingga penghujung 2021. Tanpa adanya PPN properti DTP, pengembang pasti akan harap-harap cemas dengan belum pulihnya daya beli masyarakat yang pada gilirannya akan memengaruhi tingkat penjualan properti.
Kecemasan serupa juga pasti dirasakan para pengusaha di sektor otomotif yang khawatir permintaan mobil, yang saat ini pun belum kunjung pulih, akan kembali anjlok apabila PPnBM mobil DTP dihapuskan.
Pemerintah memang seyogianya melakukan evaluasi atas efektivitas insentif pajak yang telah diberikan selama pandemi. Terlebih ekonomi pada paruh kedua tahun ini telah menunjukkan adanya perbaikan. Demikian pula prospek ekonomi tahun depan yang terlihat cerah.
Badan Pusat Statistik juga mencatat, jumlah penganggur di Indonesia turun dari 9,77 juta orang pada Agustus 2020 jadi 9,1 juta orang pada Agustus 2021. Tingkat pengangguran terbuka (TPT) juga turun dari 7,07 persen pada Agustus 2020 menjadi 6,49 persen pada Agustus 2021.
Kendati demikian, bukan berarti insentif untuk dunia usaha bisa sepenuhnya dihapus. Skenario yang bersifat antisipatif tetap perlu disiapkan dalam rangka memitigasi risiko ekonomi.
Keputusan untuk memangkas atau menghapus stimulus kepada dunia usaha patut dipertimbangkan dengan cermat.
Apalagi, performa dari pemulihan konsumsi masyarakat masih sangat rentan. Hal ini terbaca jelas dari data penurunan upah imbas dari pandemi Covid-19.
Pada Agustus 2021, rata-rata upah buruh Rp 2.736.463, turun 0,72 persen dibandingkan dengan Agustus 2020. Penurunan upah terjadi di 12 dari 17 sektor lapangan usaha.
Jika dunia usaha kehilangan booster untuk bisa tumbuh, dikhawatirkan tren penurunan upah terus berlanjut sehingga bisa mengganggu sektor konsumsi yang selama ini diandalkan negara untuk menopang pertumbuhan ekonomi.
Perlu diingat, besarnya kebutuhan dunia usaha terhadap insentif fiskal pemerintah tecermin pada realisasi PEN 2021 yang mencatatkan penyerapan paling tinggi dibandingkan dengan sektor lain.
Hal ini semakin menegaskan bahwa stimulus dalam bentuk keringanan pajak masih diharapkan pengusaha. Mereka belum tentu siap untuk memasuki era pemulihan ekonomi tanpa insentif usaha.