Suku Bunga Acuan Diprediksi Tetap hingga Akhir Tahun
Bank Indonesia (BI) mengindikasikan tidak akan menaikkan tingkat suku bunga acuan tahun ini. BI baru akan mempertimbangkan kenaikan suku bunga acuan tatkala inflasi mulai melonjak.
Oleh
Benediktus Krisna Yogatama
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Bank Indonesia mengindikasikan tidak akan menaikkan tingkat suku bunga acuan tahun ini. BI baru akan mempertimbangkan kenaikan suku bunga acuan tatkala inflasi mulai melonjak.
Gubernur Bank Indonesia (BI) Perry Warjiyo mengatakan, pihaknya akan tetap mempertahankan tingkat suku bunga acuan BI 7-Day Reverse Repo Rate (7DRRR) pada level 3,5 persen. ”Suku bunga acuan tetap kami pertahankan sampai tanda-tanda awal meningkatnya inflasi,” ujar Perry pada Pertemuan Tahunan Bank Indonesia 2021, Jakarta, Rabu (24/11/2021).
Sampai dengan Oktober 2021, inflasi berada pada level 1,66 persen. Ini jauh di bawah target inflasi BI, yakni 3 persen dengan deviasi 1 persen lebih besar atau lebih kecil. Sepanjang tahun, inflasi terjaga 1,3 persen-1,6 persen. Adapun tahun depan, target inflasi sama seperti tahun ini, yakni 3 persen plus minus 1 persen.
Dihubungi terpisah, Direktur Riset Center of Reform on Economics (CORE) Piter Abdullah mengatakan, hingga kini belum ada tanda-tanda inflasi akan meningkat. Artinya, tingkat suku bunga acuan belum akan dinaikkan dalam waktu dekat.
Piter mengatakan, seiring dengan terkendalinya jumlah kasus Covid-19 dan dilakukannya vaksinasi massal, sektor-sektor ekonomi kembali dibuka. Dengan demikian, konsumsi masyarakat meningkat dan akan diikuti oleh kenaikan inflasi.
”Melalui pesan itu, Pak Perry mengisyaratkan tingkat suku bunga tahun depan pasti naik. Sebab, ekonomi akan kembali melaju diikuti kenaikan konsumsi dan inflasi,” ujar Piter.
Ia menambahkan, inflasi saat ini rendah karena perekonomian memang tengah lesu. Tingkat suku bunga acuan saat ini pun terendah sepanjang sejarah BI. Posisi tingkat suku bunga acuan sebesar 3,5 persen ini telah bertahan sejak Februari 2021. Ini diharapkan bisa memicu penurunan suku bunga kredit perbankan.
Namun, Piter mengingatkan bahwa kebijakan menaikkan atau menurunkan tingkat suku bunga acuan tidak semata hanya bergantung inflasi, tetapi juga melihat gejolak nilai tukar rupiah. Dengan terus membaiknya perekonomian negara dunia, khususnya Amerika Serikat, mereka akan melakukan normalisasi kebijakan moneternya. Hal ini bisa memicu gejolak nilai tukar dan mengganggu stabilitas sistem keuangan.
”Selama inflasi terkendali, BI akan melihat indikator stabilitas nilai tukar. Begitu juga sebaliknya. Ketika itu terjadi, BI harus menyesuaikan tingkat suku bunga acuannya,” ujar Piter.
Ekonom Lembaga Penyelidikan Ekonomi dan Masyarakat Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia, Teuku Riefky, mengatakan, kondisi ekonomi di Indonesia ini berbeda dengan Brasil, Rusia, dan Turki yang mengalami hiperinflasi sehingga bank sentralnya sudah mengetatkan kembali kebijakan moneternya. Kondisi di Indonesia, lanjut Riefky, bahkan belum sampai terjadi pertumbuhan inflasi yang signifikan.
Berkaca dari hal itu, Riefky mengatakan, BI sudah mengambil tindakan yang tepat dengan tak terburu-buru menaikkan tingkat suku bunga acuan. Tingkat suku bunga acuan yang rendah akan mendorong penurunan suku bunga kredit sehingga permintaan kredit dari sektor riil akan meningkat. Ujungnya, diharapkan akan mendorong pertumbuhan ekonomi. Di sisi lain, BI juga harus menjaga kestabilan nilai tukar dan stabilitas sistem keuangan.
”Kondisinya saat ini memang sudah tepat untuk mempertahankan tingkat suku bunga acuan itu,” ujar Riefky.