Putusan MK tentang UU Cipta Kerja Dinilai Bawa Ketidakpastian Hukum
Putusan Mahkamah Konstitusi soal Undang-Undang Cipta Kerja dinilai ambigu dan bisa membawa ketidakpastian hukum. Jika cacat formil dan inkonstitusional, UU dan peraturan pelaksananya seharusnya batal demi hukum.
Oleh
Agnes Theodora
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Pemohon uji formil Undang-Undang tentang Cipta Kerja menilai putusan Mahkamah Konstitusi ambigu dan bisa membawa ketidakpastian hukum. Jika memang cacat formil dan inkonstitusional, UU Cipta Kerja dan peraturan pelaksananya seharusnya batal demi hukum sampai UU tersebut direvisi lagi dalam waktu dua tahun.
Direktur Eksekutif Indonesia for Global Justice (IGJ) Rachmi Hertanti, Kamis (25/11/2021), mengatakan, di satu sisi, putusan Mahkamah Konstitusi (MK) sebenarnya dapat menjadi dasar hukum kuat yang membuktikan bahwa UU Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja memang cacat formil dan bertentangan dengan konstitusi, sebagaimana yang digugat oleh banyak pihak.
Namun, putusan MK dinilai tidak konsisten. Di satu sisi, MK menyatakan bahwa UU Cipta Kerja cacat formil dan bertentangan dengan konstitusi. Dalam putusannya, MK meminta agar pelaksanaan UU Cipta Kerja yang berkaitan dengan hal-hal strategis dan berdampak luas ditangguhkan terlebih dahulu selama tenggang waktu dua tahun.
Tak hanya itu, putusan MK juga melarang penyelenggara negara mengambil kebijakan strategis yang dapat berdampak luas berdasarkan UU Cipta Kerja, yang secara formil telah dinyatakan inkonstitusional bersyarat. Putusan MK juga melarang adanya peraturan pelaksana baru yang mengacu ke UU Cipta Kerja.
Akan tetapi, MK juga menyebut bahwa UU Cipta Kerja adalah ”inkonstitusional bersyarat” dan bahwa UU itu tetap berlaku sampai dengan dilakukan perbaikan dengan tenggang dua tahun. Poin-poin itu dinilai inkonsisten.
”Di sini terkesan bahwa MK memberikan putusan yang setengah hati. Seharusnya, kalau memang cacat formil dan bertentangan dengan konstitusi, dampaknya adalah UU Cipta Kerja dan peraturan pelaksananya batal demi hukum,” kata Rachmi saat dihubungi.
IGJ, lembaga swadaya masyarakat yang fokus pada isu perdagangan bebas dan keadilan ekonomi, merupakan pemohon gugatan uji formil UU Cipta Kerja dengan nomor perkara 107/PUU-XVII/2020.
Ia menilai, dalam poin itu, tidak cukup jelas apakah peraturan pelaksana UU Cipta Kerja yang telah disahkan masih dapat diberlakukan atau ikut ditangguhkan pemberlakuannya. ”Hal ini tentu akan membuka ruang abu-abu dan ketidakpastian hukum,” kata Rachmi.
Tafsir berbeda
Tafsir yang berbeda terhadap putusan MK tampak dari pernyataan perwakilan serikat buruh, yang juga merupakan pemohon uji formil UU Cipta Kerja, dengan pihak pengusaha.
Dalam konferensi persnya, kuasa hukum pemohon uji formil UU Cipta Kerja dari Federasi Serikat Pekerja Metal Indonesia (FSPMI), Said Salahuddin, menilai, dampak dari putusan MK itu adalah segala kebijakan yang mengacu pada UU Cipta Kerja otomatis tidak berlaku karena payung hukumnya sudah dinyatakan cacat formil dan inkonstitusional.
”Berarti, dalam konteks aturan ketenagakerjaan yang sifatnya strategis dan berdampak luas itu harus kembali ke UU Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan. Artinya, memang ada normanya, ada aturannya, tetapi tidak boleh dilaksanakan dulu selama dua tahun ini,” kata Said.
Tafsir berbeda disampaikan Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Indonesia Hariyadi Sukamdani dalam konferensi pers. Ia menilai putusan MK itu tidak membatalkan substansi UU Cipta Kerja dan kebijakan yang terkait tetap berlaku.
Hariyadi menafsirkan, seluruh peraturan turunan dan kebijakan pemerintah yang berbasis UU Cipta Kerja dan telanjur dikeluarkan tetap berjalan. Tafsir ini sejalan dengan yang disampaikan oleh Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto.
”Memang ada klausul amar putusan yang menyatakan aturan turunan UU Cipta Kerja yang belum dikeluarkan diminta ditunda dulu sambil menunggu revisinya. Tetapi, yang sudah keluar itu berarti tetap berjalan, termasuk soal upah minimum,” kata Hariyadi.
Siap kawal revisi
Sementara itu, menanggapi perintah MK untuk merevisi UU Cipta Kerja dalam waktu dua tahun, Presiden Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI) Said Iqbal mengatakan, buruh siap mengawal penyusunan ulang UU Cipta Kerja selama dua tahun ke depan.
”Kami akan ikuti dan siap sepanjang tidak bertentangan dengan undang-undang dan sepanjang tidak mengurangi hak-hak dasar kaum buruh,” ujarnya.
Ia meminta agar dalam kesempatan berikutnya, pemerintah dan DPR lebih aktif melibatkan serikat pekerja dalam proses penyusunan undang-undang. ”Kami tentu akan membawa konsep kami, tetapi kami tidak mau jadi stempel legitimasi pemerintah. Jika konsep kami tidak dipertimbangkan, kami akan melakukan perlawanan hukum dan gerakan,” katanya.