Illa Syukrillah Syarief Pendiri Posyandu Terakota Jatiwangi
Usaha pembuatan genteng milik Illa Syukurillah Syarief pernah bangkrut. Namun, semangatnya mengangkat Jatiwangi menjadi salah satu sentra kerajinan tanah liat terpandang.
Oleh
Abdullah Fikri Ashri
·5 menit baca
KOMPAS/ABDULLAH FIKRI ASHRI
Illa Syukrillah Syarief (44) menunjukkan salah satu produk olahan tanah di Posyandu (Pos Pelayanan Terpadu) Terakota di Desa Ranji Kulon, Kecamatan Kasokandel, Kabupaten Majalengka, Jawa Barat, Senin (15/11/2021). Illa mendirikan Posyandu Terakota untuk membuat aneka produk olahan tanah dan menjadi ruang belajar bagi siapa saja untuk mengolah tanah.
Illa Syukrillah Syarief (44) terpukul setelah pabrik genteng keluarganya bangkrut. Tak ingin menyerah, warga Jatiwangi, Kabupaten Majalengka, Jawa Barat, ini mendirikan Posko Layanan Terpadu atau Posyandu Terakota. Lewat posyandu, ia ikut menjaga tradisi mengolah tanah Jatiwangi.
Alunan musik dangdut menemani Illa mengukir ubin berbahan tanah liat sore itu, Senin (15/11/2021). Di hadapannya, Iip Fatullah (30) juga tengah membuat motif di ubin berukuran 40 cm x 40 cm. Di belakangnya, Mang Dadang sibuk mencetak ubin basah bertuliskan ”Posyandu Terakota”.
Begitu secuil suasana Posyandu Terakota di Desa Ranji Kulon, Kecamatan Kasokandel, siang itu. Disebut posyandu karena tidak hanya tempat jual beli gerabah, tetapi juga menyediakan workshop mengolah tanah. Iip merupakan salah satu warga yang memanfaatkan layanan gratis itu dalam dua bulan terakhir.
Bahkan, bapak dua anak ini bisa meraup rupiah jika belasan karyanya laku. ”Saya tertarik bikin (ubin hias) ini karena ngotak (mengasah otak). Sejelek apa pun hasilnya, itu karya kita,” kata Iip, yang belasan tahun pernah menjadi buruh pabrik genteng.
Meskipun berdinding rak bambu seperti pabrik genteng, Posyandu Terakota tidak memproduksi genteng. Illa membuat diversifikasi produk olahan tanah selain genteng, seperti ubin hias dan kubus terakota. Dari motif bunga hingga tulisan ulah padu seni (jangan asal seni) tertera di ubin hias.
Posyandu yang berdiri sejak 2020 itu, katanya, ingin menunjukkan masyarakat Jatiwangi dan sekitarnya tidak hanya ahli bikin genteng. Apalagi, industri genteng yang jaya pada 1980-1990-an kini ambruk. Satu per satu pabrik genteng rata dengan tanah, termasuk pabrik keluarganya.
Potret Posyandu (Pos Pelayanan Terpadu) Terakota di Desa Ranji Kulon, Kecamatan Kasokandel, Kabupaten Majalengka, Jawa Barat, Senin (15/11/2021). Posyandu Terakota didirikan oleh Illa Syukrillah Syarief (44), warga Jatiwangi, yang kerap membuat produk olahan tanah.
Illa masih ingat bagaimana jebor, sebutan untuk pabrik genteng, yang beroperasi sejak 1978 itu bangkrut. Ia mengelola jebor itu pada 2000-2010. Awalnya, semuanya berjalan baik-baik saja. Pekerjanya mencapai 42 orang. Pabriknya bahkan mampu memproduksi 20.000 keping genteng per pekan.
Akan tetapi, usahanya terseok-seok sekitar 2005. ”Lima pekerja saya tersedot (pabrik) garmen. Tiba-tiba yang tadinya tiga grup (satu grup berisi delapan orang), tersisa dua grup. Lalu satu grup. Itu juga pindah ke pabrik lain karena ditawari Rp 2 juta. Saking susahnya mencari tenaga kerja,” kenangnya.
Pabrik garmen dan sepatu, katanya, lebih menggoda dibandingkan pabrik genteng yang pekerjaannya identik dengan tanah, kotor. Selain tenaga kerja, pabrik juga kesulitan bahan baku, bahan bakar, dan kewalahan bersaing dengan produk lain serupa genteng. Jebor mulai kewalahan melawan zaman.
Puncaknya saat salah membeli tanah untuk bahan baku genteng. Tanah itu bagus saat dibakar dan dijemur. Namun, setelah sampai di udara dingin Bandung, genteng dalam satu truk itu rusak.
”Saya bangkrut di situ. Tabungan saya sampai habis,” kata Illa yang menutup pabriknya pada 2010.
Beruntung, sebelum itu, ia telah mengenal Jatiwangi Art Factory (JAF), organisasi nirlaba yang fokus kajian kehidupan masyarakat perdesaan melalui seni rupa. Saat JAF menggelar Jatiwangi Artists in Residency Festival (JARF), Illa bersua dengan arsitek dari Institut Teknologi Bandung hingga Amerika Serikat.
Dari perjumpaan itu, ia memahami cara memasarkan genteng melalui internet sampai dengan mencetak olahan tanah yang estetis. Sejak 2017, Illa termasuk salah satu warga Jatiwangi yang kali pertama berinovasi membuat ubin hias. Karyanya saat itu hanya dititipkan di pabrik genteng untuk dijual.
Pada saat yang sama, ia meneliti asal-usul Jatiwangi sebagai sentra genteng. Temuannya, sejak 1905 warga Jatiwangi telah menjadi perajin genteng, dimulai dari Desa Burujul. Kala itu, ahli genteng Barnawi memasang genteng di atap Mushala Al Maidah. Ia diminta Umar bin Ma’ruf, salah seorang warga.
Umar lantas membuat pabrik genteng, diikuti warga lainnya. Pemerintah Kolonial Belanda juga tertarik dengan kreasi itu. Pabrik gula (PG) Jatiwangi dan PG Kadipaten dibangun dilengkapi genteng warga. Zaman Orde Baru pun mengakuinya. Atap kompleks Bandara Internasional Soekarno-Hatta diyakini menggunakan genteng dari Jatiwangi.
Hal menarik lainnya, warga Jatiwangi sudah punya nama besar sebagai pengolah tanah sejak lampau. ”Orangtua dulu sudah buat tegel dan hong (seperti pipa), bukan genteng saja,” ucap bapak dua anak ini.
Di industri rakyat ini, pekerja diharapkan bisa jadi pemilik. Berbeda kalau di industri besar. Banyak pelakunya sampai tua tetap jadi buruh.
KOMPAS/ABDULLAH FIKRI ASHRI
Illa Syukrillah Syarief (44) menunjukkan salah satu produk olahan tanah di Posyandu (Pos Pelayanan Terpadu) Terakota di Desa Ranji Kulon, Kecamatan Kasokandel, Kabupaten Majalengka, Jawa Barat, Senin (15/11/2021). Illa mendirikan Posyandu Terakota untuk membuat aneka produk olahan tanah dan menjadi ruang belajar bagi siapa saja untuk mengolah tanah.
Memanfaatkan tanah keluarganya seluas 7.000 meter persegi, Illa pun membuat Posyandu Terakota yang memproduksi olahan tanah selain genteng. Dibandingkan genteng, daya jual ubin dan terakota lebih tinggi. Genteng 1 meter persegi, misalnya, harganya Rp 35.000, sedangkan ubin dengan ukuran serupa lebih dari Rp 100.000.
Karya Illa telah terpajang di papan nama Kecamatan Jatiwangi dan Alun-alun Majalengka. Wakil Bupati Majalengka Tarsono Mardiana dan arsitek ternama Andra Matin sempat berkunjung ke Posyandu Terakota. Illa berharap posyandunya bisa menjadi tempat belajar.
Bahkan, ia menyediakan penginapan bagi pengunjung. ”Kami mau studio ini terbuka untuk semua orang,” ucap Illa yang termotivasi oleh Ahmad Nizar, warga Purwakarta, pendiri usaha keramik dan bata pres batagapit.
Illa terus mengasah kemampuannya mengolah tanah dengan aktif terlibat dalam sejumlah pameran, seperti Salian Art Space Lembang Bandung hingga Jakarta Contemporary Ceramics Biennale. Ia bahkan ke Srishti Manipal Institute of Art, Design, and Technology, India, pada 2005 dan National Museum of Modern Contemporary Art, Korea Selatan, awal 2020.
Di sana, lulusan Paket C ini mengenalkan kebudayaan tanah Jatiwangi. Ia juga termasuk penggerak Jatiwangi Cup, kontes binaraga yang melibatkan buruh pabrik genteng. Ajang itu bak karpet merah bagi buruh yang selama ini dipandang sebelah mata. Mereka pun bangga sebagai bagian jebor.
Berbagai upaya itu, katanya, demi melestarikan tradisi mengolah tanah di Jatiwangi. ”Di industri rakyat ini, pekerja seperti Mang Iip nanti diharapkan bisa jadi pemilik. Berbeda kalau di industri besar. Banyak pelakunya sampai tua tetap jadi buruh,” ungkapnya.