Indonesia berpotensi mencetak surplus neraca berjalan untuk pertama kali dalam satu dekade terakhir sebesar 4,5 miliar dollar AS. Surplus ini ditopang oleh naiknya harga-harga komoditas global.
Oleh
joice tauris santi
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Pasar saham Indonesia dalam 10 tahun terakhir selalu naik pada triwulan keempat. Pada tahun ini, pandemi Covid-19 mereda di triwulan IV-2021. Selain itu, data-data perekonomian juga membaik. Hanya saja, tetap ada faktor risiko yang mungkin akan membebani pada triwulan keempat tahun ini, juga pada triwulan pertama tahun depan.
Secara umum, para investor besar lebih banyak membeli saham pada triwulan keempat, melakukan window dressing, yaitu memborong saham agar posisi portofolionya menjadi bagus pada akhir tahun. Tahun 2020, ketika masih banyak orang terpapar Covid-19, Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) juga naik 22,77 persen. Mengacu data Bursa Efek Indonesia, 45 saham terlikuid yang termasuk dalam indeks LQ 45, pada triwulan IV-2020 naik 26,82 persen, triwulan IV-2019 naik 4,79 persen, dan naik 3,87 persen pada triwulan IV-2018.
”Data ekonomi kita pada triwulan IV-2021 ini bagus sekali. Dampak dari kenaikan harga komoditas semakin kelihatan,” kata ekonom Trimegah Sekuritas, Fakhrul Fulvian, di Jakarta, Kamis (25/11/2021).
Fakhrul menambahkan, tekanan yang terkait dengan pengendalian pandemi juga sudah mereda. Hal ini tampak dalam pelonggaran pemberlakuan pembatasan kegiatan masyarakat (PPKM) seiring dengan penurunan kasus aktif Covid-19, khususnya pada triwulan keempat saat ini. Menurut Fakhrul, data positif itu membuat para investor di pasar modal optimistis.
Secara umum, para investor besar lebih banyak membeli saham pada triwulan keempat, melakukan window dressing, yaitu memborong saham agar posisi portofolionya menjadi bagus pada akhir tahun.
Pada penutupan Kamis, IHSG ditutup naik 0,24 persen menjadi 6.699. Pada awal perdagangan indeks, IHSG sempat dibuka menguat hingga 1 persen dan mencapai 6.751. Sejak awal tahun, indeks naik 12,05 persen, sedangkan dalam enam bulan terakhir indeks naik 16,3 persen. Memasuki Oktober, akselerasi kenaikan indeks semakin cepat.
Sementara itu, Makro Strategist and Equity Samuel Sekuritas Leonel Priyadi, dalam risetnya, mengatakan, Indonesia berpotensi mencetak surplus neraca berjalan untuk pertama kali dalam satu dekade terakhir sebesar 4,5 miliar dollar AS. Surplus ini ditopang kenaikan harga-harga komoditas global, seperti batubara dan minyak kelapa sawit, yang menghasilkan surplus neraca perdagangan barang sebesar 15 miliar dollar AS.
”Angka tersebut melebihi konsensus yang sebesar 3,2 miliar dollar AS dan bahkan prediksi defisit neraca berjalan sebesar 4 miliar dollar AS oleh ekonom kami. Di luar dugaan, defisit neraca pembayaran primer hanya bertambah 12,7 persen dari tahun lalu atau 3,5 persen dari triwulan sebelumnya meskipun surplus neraca pembayaran pada triwulan III-2021 naik mencapai 6,1 miliar dollar AS dari 1,64 miliar dollar AS pada triwulan II-2021,” kata Leonel.
Salah satu hal yang terlihat ketika perekonomian mulai pulih adalah peningkatan penyaluran kredit perbankan.
Leonel memperkirakan, posisi neraca berjalan Indonesia akan berbalik dari defisit -0,42 persen pada 2020 menjadi surplus 1 persen dari produk domestik bruto (PDB) pada 2021, yang merefleksikan rekor neraca perdagangan bulan Oktober. Namun, penurunan harga batubara bisa jadi akan mengurangi surplus tersebut. ”Kemungkinan tercapainya surplus neraca berjalan di 2021 akan menghasilkan sentimen positif bagi bursa saham ataupun pasar obligasi,” imbuhnya.
Salah satu hal yang terlihat ketika perekonomian mulai pulih adalah peningkatan penyaluran kredit perbankan. Pada semester kedua tahun ini sudah terlihat kenaikan penyaluran kredit perbankan sehingga turut menggerakkan harga saham bank-bank besar yang tercatat di bursa. Kenaikan pun berlanjut hingga triwulan IV-2021.
Sementara itu, faktor pemberat yang akan menghambat pergerakan indeks adalah isu global, yaitu rencana bank sentral Amerika Serikat (Fed) mengurangi belanja obligasinya. Para analis mengatakan, pengurangan obligasi saat ini tidak akan banyak berpengaruh di pasar finansial seperti yang terjadi pada 2013. Para investor juga mencermati situasi di China, seperti gagal bayar korporasi dan laju inflasi yang tinggi.