Sikap independen Indonesia perlu dihitung dengan cermat agar tidak merugikan petani sawit. Komoditas ini turut menentukan capaian Indonesia memenuhi target Tujuan Pembangunan Berkelanjutan.
Oleh
Ninuk M Pambudy
·3 menit baca
Kompas
Supriyanto
Minyak sawit menjadi duri dalam daging bagi Indonesia dalam konferensi iklim COP 26 yang baru berakhir di Glasgow karena dikaitkan dengan deforestrasi.
Uni Eropa saat ini terikat peraturan blok ekonomi 27 negara itu, yaitu Renewable Energy Directive (RED II). Peraturan ini mengharuskan penggunaan energi terbarukan secara keseluruhan adalah 32 persen pada 2030 dan penggunaan 14 persen energi terbarukan di sektor transportasi.
Terkait dengan aturan di atas adalah ketentuan indirect land use change (ILUC), yaitu penggunaan lahan nonpertanian yang menyimpan karbon tinggi, seperti hutan, gambut, dan bakau, untuk menanam tanaman penghasil energi. Dengan demikian, sawit yang berasal dari deforestrasi dapat ditolak masuk ke UE karena menurunkan manfaat pengurangan karbon dari penggunaan energi terbarukan.
Saat ini UE merupakan pembeli terbesar ketiga minyak sawit Indonesia. Duta Besar Uni Eropa untuk Indonesia Vincent Piket menemui petani sawit di Riau, Senin (15/11/2021). Ketua Umum DPP Asosiasi Petani Kelapa Sawit Indonesia (Apkasindo) Gulat Manurung dan Ketua DPW Apkasindo Riau KH Suher mewakili petani sawit berdialog dengan Dubes Piket. Sebelumnya, pertemuan antara Dubes Piket dan Apkasindo berlangsung di Jakarta pada Senin (8/11/2021) difasilitasi Kepala Kantor Staf Presiden Moeldoko.
Indonesia yang mengikatkan diri pada kesepakatan iklim global berjanji mengurangi emisi gas rumah kaca dengan berbagai cara. Antara lain, memperluas hutan bakau serta moratorium penebangan baru hutan primer dan gambut untuk penebangan kayu, pertanian, perkebunan, termasuk kelapa sawit, dan pertambangan.
KOMPAS/AGUS SUSANTO
Petani memanen sawit di Desa Anggah Jaya, Kecamatan Sintang, Kabupaten Sintang, Kalimantan Barat, Selasa (12/10/2021). Limbah cangkang sawit tersebut digunakan untuk campuran bahan bakar batubara di PLTU Sintang.
Sikap pemerintah untuk lebih mengedepankan kepentingan Indonesia tampak dalam pernyataan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Siti Nurbaya melalui Twitter (3/11/2021). Siti menyebutkan, ”Pembangunan besar-besaran era Presiden Jokowi tidak boleh berhenti atas nama emisi karbon atau atas nama deforestasi.”
Dia mengatakan, ”Memaksa Indonesia untuk zero deforestation pada 2030, jelas tidak tepat dan tidak adil. Karena setiap negara memiliki masalah-masalah kunci sendiri dan dinaungi Undang-Undang Dasar untuk melindungi rakyatnya.” Siti juga menyebut, ”Kekayaan alam Indonesia, termasuk hutan, harus dikelola untuk pemanfaatannya menurut kaidah-kaidah berkelanjutan di samping tentu saja harus berkeadilan.”
Meski demikian, sikap independen Indonesia perlu dihitung dengan cermat agar tidak merugikan petani sawit. Perlu diingat kajian Badan Pengkajian dan Pengembangan Kebijakan Kementerian Luar Negeri yang menemukan sawit ikut menentukan capaian Indonesia memenuhi target Tujuan Pembangunan Berkelanjutan atau SDGs (Jurnal Paspi).
Sikap independen Indonesia perlu dihitung dengan cermat agar tidak merugikan petani sawit.
Dibandingkan dengan tiga minyak nabati lain yang terbanyak diproduksi komersial di dunia, yaitu kedelai, biji bunga matahari, dan rapeseed, budidaya sawit memenuhi 7 dari 17 tujuan SDGs: menghilangkan kemiskinan, menghapuskan kelaparan, menyediakan air bersih, energi bersih dan terjangkau, pekerjaan layak dan pertumbuhan ekonomi, aksi lingkungan, dan kehidupan di daratan (Paspi Palm Oil Indonesia Newsletter, 23 Juni 2021).
Jumlah petani sawit Indonesia ada 2,4 juta keluarga dengan luas lahan 6,8 juta hektar atau 41 persen dari total 16,3 juta hektar luas perkebunan sawit Indonesia.
Masih banyak cara berkelanjutan meningkatkan produksi minyak sawit Indonesia. Salah satunya meningkatkan produktivitas sawit per satuan luas. Pemerintah membuat program peremajaan sawit rakyat dan dana disediakan Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit untuk luasan 2 hektar per petani. Di samping itu, juga memperluas pasar baru, selain sebagai campuran bahan bakar fosil.
Gulat Manurung mengatakan, kemajuan peremajaan sawit sangat lambat. Persoalan ada pada status lahan petani yang berada di lahan hutan. Gulat mempertanyakan keberpihakan pemerintah kepada petani karena banyak petani sudah menanam sawit lebih dari 20 tahun dan saat awal menanam tidak jelas batas hutan dan bukan hutan.
Kementerian LHK dapat membantu menyelesaikan masalah sawit dan komitmen keberlanjutan dengan menyelesaikan status lahan petani sawit. Setelah itu, peremajaan sawit dapat dilaksanakan untuk meningkatkan volume ekspor Indonesia. Apalagi, menurut Gulat mengutip Dubes Piket, Uni Eropa akan mengeluarkan peraturan baru yang menghapus diskiriminasi atas minyak nabati dan mencari penyelesaian masalah deforestasi dengan tidak melihat pada masa lalu, tetapi masa kini dan akan datang.