Sebanyak 80 Persen Buruh di NTT Rutin Tidak Dapat Tunjangan Hari Raya
Sebanyak 36.160 dari total 45.200 buruh di NTT tidak mendapat tunjangan hari raya setiap tahun. Mereka yang mendapatkan THR pun kebanyakan tidak menerima utuh satu kali gaji. Pengawasan ketat diperlukan.
Oleh
KORNELIS KEWA AMA
·4 menit baca
KUPANG, KOMPAS — Sebanyak 36.160 orang atau 80 persen dari total 45.200 buruh di Nusa Tenggara Timur tidak mendapat tunjangan hari raya setiap tahun. Hanya 9.040 buruh yang mendapatkan tunjangan hari raya secara rutin dengan nilai yang kebanyakan tidak sesuai ketentuan. Pengawasan sistem pengupahan di NTT perlu diperbaiki dan dipikirkan bersama.
Ketua Konfederasi Serikat Pekerja Seluruh Indonesia (SPSI) Wilayah Nusa Tenggara Timur Stanislauf Tefa mengatakan, masalah tunjangan hari raya (THR) sudah berlangsung puluhan tahun di NTT. Meski pemerintah setiap tahun menerbitkan peraturan pembayaran THR, misalnya tahun 2021 terbit Peraturan Pemerintah Nomor 36 Tahun 2021 tentang Pengupahan di mana Pasal 9 mengatur kewajiban pengusaha untuk membayar THR, hampir sebagian besar pengusaha tidak memenuhi ketentuan itu.
”Sesuai laporan dari 22 kabupaten dan kota di NTT, sebanyak 36.160 pekerja atau buruh tidak mendapatkan THR pada hari Natal dan Tahun Baru, Idul Fitri, dan hari raya keagamaan lain. Hanya 20 persen atau 9.040 pekerja mendapatkan THR rutin dari pengusaha setiap tahun,” ungkap Tefa.
Ia meminta perusahaan yang memiliki badan hukum agar memberikan THR kepada karyawan sesuai ketentuan. Jika upah minimum provinsi (UMP) NTT tahun 2021 senilai Rp 1.950.000, THR pun mestinya dibayarkan senilai itu.
Pada kenyataannya, banyak buruh tidak mendapatkan THR. Pengusaha yang membayar pun hanya memberikan THR di kisaran Rp 300.000-Rp 1 juta. Padahal, menjelang Natal dan Tahun Baru, para karyawan ini sangat sibuk bekerja, terutama mereka yang bekerja di pusat perbelanjaan.
Adapun terkait penetapan UMP, anggota DPRD NTT periode 2014-2019 itu mengatakan pemda menetapkan UMP NTT periode 2021 senilai Rp 1.950.000 per bulan. Namun, penetapan UPM ini tidak disertai pengawasan sehingga pengusaha sesukanya membayar upah karyawan.
Bahkan, sebagian pekerja rumah tangga tidak diupah sama sekali, hanya dijamin tidur di rumah majikan, makan minum, dan biaya pengobatan saat sakit.
Buruh acap kali juga diperlakukan tidak adil oleh majikan dengan mendapat kekerasan verbal, seperti caci maki saat yang bersangkutan melakukan kesalahan. Kondisi ini diterima dengan pasrah oleh para buruh.
Mereka tidak melaporkan majikan ke pihak berwajib, mengajukan kenaikan upah, atau mempersoalkan hal-hal buruk majikan karena takut dipecat atau kehilangan pekerjaan. ”Calon tenaga kerja yang antre ribuan orang. Satu dipecat masih ada ribuan menanti,” kata Tefa.
Selama ini, lanjut Tefa, pengawasan terhadap pelaksanaan pemberian THR dan UMP bagi buruh masih lemah. Pengawasan ini dilakukan oleh Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi Pemprov NTT, bukan oleh pemerintah kabupaten/kota. Sementara jumlah tenaga pegawas hanya sekitar tujuh orang. Hal itu sulit dilakukan mengingat kabupaten/kota yang diawasi mencapai 22 daerah.
Pemda belum memiliki cara menegakkan aturan terkait hak-hak buruh di lapangan. Selama sistem pengawasan lemah atau tidak jalan, berapa pun upah UMP yang ditetapkan pemprov dampaknya tidak ada bagi pekerja.
Nilai UMP NTT tahun 2021 itu jauh lebih tinggi dibandingkan UMP Pemprov Jawa Tengah tahun 2022 senilai Rp 1.812.935, DI Yogyakarta tahun 2022 sebesar Rp 1.840.951 per bulan, dan UMP Jawa Timur tahun 2022 senilai Rp 1.891.567. Adapun UMP NTT tahun 2022 belum ditetapkan.
Kenaikan UMP NTT setiap tahun ini seakan memperlihatkan NTT peduli pada pekerja. Tefa mengatakan, penetapan jangan asal dibuat atau hanya demi gengsi. Paling penting bagaimana karyawan menikmati hasil penetapan itu.
Lebih baik UMP kecil, tetapi dibayarkan. (Stanislauf Tefa)
Jauh lebih penting penetapan UMP kecil, misalnya Rp 1,5 juta per bulan, tetapi wajib dibayarkan oleh pengusaha. ”Lebih baik UMP kecil, tetapi dibayarkan. (Nilainya) sampai Rp 2 juta, tetapi realisasi di lapangan hanya Rp 300.000, ya itu bohong,” kata Tefa.
Tefa menambahkan, beberapa pemda di NTT malah belakangan ini mengeluarkan kebijakan mengurangi honor bulanan tenaga kontrak dengan alasan pandemi Covid-19 sehingga tenaga kontrak membebani keuangan daerah.
Di Kabupaten Manggarai Barat, misalnya, puluhan tenaga kontrak yang sebelumnya diupah Rp 1.950.000 per bulan dikurangi menjadi Rp 1 juta per bulan sejak Juli 2021. Di Kabupaten Malaka, lebih dari 100 tenaga kontrak daerah diberhentikan Mei 2021 dengan alasan pengeluaran sampai Rp 57 miliar per tahun. Para tenaga kontrak dinilai membebani keuangan daerah dan jumlah PNS setempat sudah mencukupi.
Anastasia Wati (27), karyawan di salah satu toko jaringan di Kota Kupang, mengatakan, ia mendapat upah Rp 700.000 per bulan. THR hanya dibayarkan pada hari Natal dan Tahun Baru, yakni Rp 500.000 bagi karyawan yang sudah bekerja di atas tiga tahun. Karyawan yang bekerja di bawah tiga tahun hanya mendapat THR Rp 300.000 per bulan. ”Saya tidak ada persoalan, yang penting tetap kerja daripada nganggur di rumah,” kata Wati.
Kepala Bidang Ketenagakerjaan Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi NTT Thomas Suban mengatakan, pihaknya telah berulang kali menyurati setiap kabupaten/kota dan para pengusaha agar tetap memenuhi kewajiban membayar THR karyawan sesuai UMP yang ditetapkan di daerah itu. Sampai saat ini belum ada pengaduan dari pekerja mengenai pengusaha yang lalai membayar THR atau memberi upah di bawah UMP.
”Laporan yang masuk selama ini hanya mengenai perselisihan pemutusan hubungan kerja. Ini yang kami proses,” kata Suban.