Ruang negosiasi penetapan upah minimum 2022 di daerah-daerah perlu dibuka agar ada jalan tengah terkait kebijakan pengupahan tahun depan. Kenaikan upah yang mayoritas hanya di kisaran 1 persen dinilai terlalu rendah.
Oleh
Agnes Theodora
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Kelompok buruh meminta ada ruang negosiasi untuk mencari jalan tengah penetapan upah minimum tahun 2022. Kenaikan upah yang hanya di kisaran 1 persen dinilai tidak adil apabila dipukul rata ke semua sektor. Apalagi, mengingat usaha mikro dan kecil memang sudah dikecualikan dari kewajiban upah minimum tahun depan.
Kendati demikian, di sisi lain, kesempatan untuk bernegosiasi semakin sempit. Para gubernur diminta untuk menetapkan upah minimum provinsi (UMP) 2022 paling lambat Minggu (21/11/2021) ini. Per Sabtu (20/11/2021), pemerintah provinsi di beberapa daerah sudah mengumumkan kebijakan UMP-nya masing-masing.
Presiden Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia Said Iqbal mengatakan, kenaikan 7-10 persen yang diajukan buruh sebenarnya tidak perlu diterapkan bagi pengusaha yang tidak mampu dan sedang terdampak pandemi. Dengan membuka ruang dialog, persentase kenaikan juga bisa dinegosiasikan ulang agar tidak terlalu rendah maupun terlalu tinggi.
”Bagi yang tidak mampu sebenarnya bisa saja mengajukan penangguhan pembayaran upah minimum atau tidak membayar kenaikan dengan membuktikan laporan pembukuan keuangan yang merugi,” kata Said dalam konferensi pers, Sabtu (20/11/2021).
Ia mengatakan, tidak adil apabila rata-rata kenaikan upah minimum 1,09 persen itu diterapkan ke seluruh sektor dan perusahaan. Sebab, tidak semua sektor mengalami kerugian akibat pandemi. Ada yang bertahan, bahkan ada yang mampu tumbuh lebih pesat selama pandemi.
Di sisi lain, sebenarnya kebijakan pengupahan tahun depan pun sudah mengecualikan usaha mikro-kecil dari keharusan menjalankan upah minimum. Kenaikan upah minimum 2022 hanya perlu dijalankan oleh usaha berskala besar dan menengah. Oleh karena itu, argumentasi bahwa kenaikan upah minimum terlalu tinggi untuk usaha mikro-kecil sudah tidak bisa dipakai.
”Jadi, tidak perlu lagi menjadikan usaha mikro kecil sebagai alasan. Lagi pula, dari dulu UMK juga tidak ada yang mengikuti upah minimum,” kata Said.
Saat dihubungi terpisah, Wakil Ketua Dewan Pengupahan Nasional (Depenas) Surnadi mengatakan, menanggapi penolakan dari buruh dan publik, perwakilan unsur buruh di Depenas sudah meminta agar ada titik tengah dalam kebijakan pengupahan tahun depan. Namun, usulan itu tidak bersambut.
”Saya tawarkan di rapat, bisa tidak ada terobosan atau celah? Misalnya, ada kelompok buruh yang minta 7-10 persen, lalu ada data hasil rumus yang rata-ratanya 1,09 persen, ada lagi kelompok buruh yang mengajukan 5 persen. Nah, itu semua diakumulasi lalu dicari titik tengahnya,” kata Surnadi, selaku perwakilan unsur serikat buruh di Depenas.
Kendati demikian, ruang negosiasi di tingkat provinsi semakin sempit karena gubernur diminta untuk menetapkan upah minimum sebelum hari Minggu. Sampai Sabtu sore, sudah ada enam provinsi yang menetapkan UMP, yaitu Sumatera Barat (Rp 2.512.539), Riau (Rp 2.938.564), Sumatera Selatan (Rp 3.144.446), Banten (Rp 2.501.203), Bali (Rp 2.516.971), dan Kalimantan Selatan (Rp 2.906.473).
Menurut Surnadi, negosiasi kemungkinan bisa diperjuangkan di tingkat kabupaten/kota sebelum tenggat pengumuman upah minimum kabupaten/kota (UMK) pada 30 November 2021 nanti. ”Teman-teman serikat pekerja bisa berjuang di penetapan UMK,” kata Surnadi.
Pengawasan tripartit
Ia membenarkan, idealnya upah minimum memang hanya dijadikan sebagai jaring pengaman (safety net), bukan sebagai patokan upah riil atau upah layak. Namun, agar jaring pengaman itu efektif, pemerintah harus lebih gencar melakukan kampanye dan pengawasan ke pengusaha untuk menerapkan pengupahan sesuai struktur dan skala upah.
”Pemerintah selalu mengeluhkan kurangnya tenaga pengawas. Kami meminta data penanganan dan hasil sidak selama ini, tetapi tidak dibuka. Kami juga mengusulkan agar dibuat saja pengawasan tripartit, pemerintah mengatakan nanti diperkuat, nanti ditambah, tapi sudah sejak zaman Hanif Dhakiri (Menteri Ketenagakerjaan 2014-2019) tidak ada hasil,” ujarnya.
Dalam diskusi Satu Tahun Omnibus Law UU Cipta Kerja, Direktur Jenderal Pembinaan Pengawasan Ketenagakerjaan Keselamatan dan Kesehatan Kerja Kementerian Ketenagakerjaan Haiyani Rumondang mengatakan, ada rencana untuk melakukan reformasi sistem pengawasan dan penegakan hukum ketenagakerjaan yang selama ini masih lemah.
Menurut rencana, pemerintah mau menggencarkan pengawasan secara digital. Sebab, ada defisit jumlah tenaga pengawas ketenagakerjaan. Idealnya, diperlukan 6.000 sampai 1.0.000 orang tenaga pengawas di seluruh kabupaten/kota. Namun, per September 2021, jumlah pengawas hanya 1.553 orang dan semua terpusat di Jakarta dan ibu kota provinsi.
”Kalau hanya melihat dari jumlah SDM, memang tidak setara dengan tantangan yang kita hadapi. Oleh karena itu, kita harus punya strategi pengawasan lain,” katanya.
Wakil Ketua Depenas dari unsur pengusaha Adi Mahfudz mengatakan, Kamar Dagang dan Industri Indonesia (Kadin) dan Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) akan mengadakan roadshow nasional ketenagakerjaan setiap sebulan sekali ke daerah-daerah. Momen itu akan dipakai untuk mengevaluasi penerapan upah minimum di lapangan.
”Pengawasan secara teknis tetap di tangan Kementerian Ketenagakerjaan, tetapi kami akan mendukung, kalau ada perusahaan yang pengupahannya tidak sesuai, kami akan menyampaikan ke pemerintah,” kata Adi.