Tingkatkan Produksi, PT Bukit Asam Lakukan Perluasan Eksploitasi
PT Bukit Asam akan membuka lahan eksploitasi baru untuk memenuhi kebutuhan sejumlah proyek strategis tahun 2022. Salah satunya izin usaha pertambangan (IUP) Bangko Tengah.
Oleh
RHAMA PURNA JATI
·3 menit baca
MUARA ENIM, KOMPAS — PT Bukit Asam akan membuka lahan eksploitasi baru untuk memenuhi kebutuhan sejumlah proyek strategis tahun 2022. Kenaikan produksi akan terus dilakukan secara bertahap menyesuaikan kapasitas angkutan batubara, yakni 72,5 juta ton sampai 2025.
Hal ini disampaikan Sekretaris Perusahaan PT Bukit Asam (PTBA) Apollonius Andwie C, Rabu (17/11/2021) malam. Ada beberapa izin usaha pertambangan (IUP) yang akan dieksploitasi tahun depan. Salah satunya IUP Bangko Tengah.
Langkah ini dilakukan untuk memenuhi kebutuhan Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) Sumsel 8 yang berada di mulut tambang sebesar 5,2 juta ton.
Eksploitasi itu juga disiapkan untuk proyek gasifikasi batubara hasil kerja sama PTBA dengan Petamina dan Air Products. Hasil dari gasifikasi ini adalah senyawa dimetil eter yang diproyeksikan akan mengganti gas minyak cair (liquefied petroleum gas/LPG ). Dalam pelaksanaannya, proyek ini membutuhkan batubara hingga 6 juta ton per tahun.
Selain itu, eksploitasi baru juga dilakukan untuk memenuhi kebutuhan pengembangan produk turunan yang terus dilakukan perusahaan, termasuk pengembangan batubara menjadi briket untuk memenuhi kebutuhan pasar baik domestik maupun luar negeri.
Pada tahun 2021, PTBA menargetkan produksi hingga 30 juta ton, meningkat dibanding pencapaian tahun lalu sebesar 25,1 juta ton. Adapun per kuartal III-2021, PTBA sudah mencapai produksi hingga 22,9 juta ton.
Terkait target produksi tahun 2022, Appolonius belum bisa memberikan keterangan karena masih menunggu persetujuan rencana produksi yang dikeluarkan oleh Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral. Namun, produksi akan terus ditingkatkan, menyesuaikan dengan kapasitas angkutan batubara sampai 2025 yang sebesar 72,5 juta ton.
Peningkatan produksi memungkinkan karena cadangan batubara yang ada masih sangat tinggi mencapai 3 miliar ton batubara.
Peningkatan produksi memungkinkan karena cadangan batubara yang ada masih sangat tinggi mencapai 3 miliar ton batubara. Peningkatan produksi itu juga untuk memanfaatkan kawasan IUP yang belum dieksploitasi PTBA.
PTBA memiliki lima IUP dengan luas 43.000 hektar. Pengembangan produksi batubara juga mempertimbangkan kebutuhan pasar, termasuk kebutuhan batubara pada beberapa proyek strategis yang akan dilakukan tahun depan.
Ke depan pengembangan produk batubara yang ramah lingkungan akan menjadi prioritas seiring dengan komitmen pemerintah dalam mengurangi emisi karbon pada 2060 mendatang. Misalnya mengubah batubara menjadi bahan bakar, pupuk organik, dan sejumlah produk turunan yang lain.
Pengembangan produk batubara dilakukan untuk memanfaatkan cadangan batubara yang terbilang masih melimpah di Sumsel. Berdasarkan data dari Kementerian ESDM, dari total sumber daya batubara nasional 149,01 miliar ton, Sumsel berkontribusi sekitar 43 miliar ton. Adapun dari cadangan batubara nasional yang sebesar 37,60 miliar ton, Sumsel berkontribusi 9,3 miliar ton.
Walau eksploitasi lahan terus diperluas, di sisi lain pemanfaatan lahan bekas tambang juga akan disesuaikan. Nantinya lahan bekas tambang akan digunakan untuk sejumlah aktivitas produktif lain, yakni untuk pembangunan pembangkit listrik tenaga surya dan kota wisata. ”Kami tidak mau meninggalkan Tanjung Enim dengan kerusakan sebaliknya bisa mendatangkan kesejahteraan bagi masyarakat,” kata Apollonius.
Badan Pusat Statistik mencatat, ekspor komoditas batubara dan lignit di Sumsel meningkat cukup signifikan dengan nilai 31,34 juta AS pada September 2021 atau meningkat 18,40 persen dibanding ekspor komoditas pada bulan sebelumnya. Jika dibandingkan periode yang sama tahun lalu, peningkatannya 18,40 persen dengan nilai 201,72 juta dolar AS.
Sebelumnya Direktur Eksekutif Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Sumsel Hairul Sobri berpendapat, sudah saatnya pemerintah tidak lagi meningkatkan produksi komoditas yang masih mengacu pada energi fosil. ”Jika hal ini tetap dilakukan, komitmen pemerintah untuk menekan emisi karbon hanya sekadar wacana belaka,” ungkapnya.
Menurut dia, saat inilah waktu yang tepat bagi pemerintah untuk mengedepankan energi baru terbarukan. Apalagi pemanfaatan komoditas energi fosil akan berdampak buruk bagi lingkungan.