Membangun Peradaban di Jalan Bebas Hambatan dari Soekarno, Soeharto, ke Joko Widodo
Sejak pembangunan jalan bebas hambatan Jakarta-Bypass di zaman Bung Karno, jalan bebas hambatan untuk membangun peradaban terus berjalan.
Seperti peribahasa klasik China yang menyatakan bahwa perjalanan 1.000 mil diawali satu langkah pertama, pembangunan jalan tol di Indonesia yang dimulai sejak dekade tahun 1970-an menjadi awal dari terus berkembangnya ruas jalan tol di Tanah Air. Dimulai dari nol, saat ini jaringan jalan bebas hambatan di Indonesia telah membentang hingga hampir 2.500 kilometer.
”Berapa saya harus bayar, Rp 300- Rp 400?” kata Presiden Soeharto sambil mengeluarkan uang pecahan Rp 500 dan memberikannya kepada petugas tol melalui jendela mikrobus. ”Hanya Rp 300, Pak,” jawab petugas tol dengan serta-merta mengembalikan pecahan Rp 100 dua lembar. Demikian adegan yang terabadikan dalam berita Kompas di halaman 1 pada Jumat (10/3/1978).
Peristiwa ini terjadi saat Presiden Soeharto bersama rombongan coba melewati jalan raya Jagorawi yang baru saja diresmikannya. Jalan raya Jagorawi yang merupakan jalan bebas hambatan pertama di Indonesia tersebut direncanakan dibangun sejak 1963. Namun, pembangunannya baru dilaksanakan bulan Oktober 1974 dengan bantuan Amerika Serikat dan kontraktor pelaksana Hyundai Construction Co Ltd. dari Korea Selatan. Adapun konsultan supervisi adalah Amman-Whitney & Trans Asia Engineering Corp dari Amerika Serikat.
Langkah Presiden Soeharto adalah meneruskan apa yang telah dibangun oleh presiden sebelumnya, Ir Soekarno. Meskipun ekonomi sulit, Indonesia sebagai negara bekas jajahan Inggris, Belanda, dan Jepang, harus tumbuh dan berkembang, bahkan maju di hadapan pergaulan negara-negara asing di global agar bisa diperhitungkan di mata dunia.
Dengan dipaksa dan susah payah, termasuk ”menodong” negara-negara bekas penjajahnya dan bekerja sama dengan negara-negara besar, seperti Rusia dan China, Presiden Soekarno akhirnya mewujudkan jalan-jalan protokol seperti yang kini sudah dinikmati bangsa Indonesia, khususnya warga Jakarta, seperti Jalan Diponegoro, Jalan MH Thamrin, Jalan HOS Cokroaminoto, hingga jalan raya Jakarta Bypass, yang disebut superhighway pada waktu itu.
Bahkan, Bung Karno juga dengan insinyur lokal asal Indonesia mewujudkan pembangunan jalan dan jembatan berbentuk daun semanggi atau Jembatan semanggi, selain juga membangun gedung-gedung bertingkat.
Presiden Soeharto meneruskan yang telah dibangun oleh presiden sebelumnya, Ir Soekarno. Meskipun ekonomi sulit, Indonesia sebagai negara bekas jajahan Inggris, Belanda, dan Jepang, harus tumbuh dan berkembang, bahkan maju di hadapan pergaulan negara-negara asing di global agar bisa diperhitungkan di mata dunia.
Presiden Soeharto menuturkan alasan dibangunnya jalan bebas hambatan (freeway) Jagorawi, antara lain, agar Jakarta yang telah tumbuh demikian pesat itu dapat dimanfaatkan sehingga dapat menggerakkan pembangunan daerah-daerah sekitarnya. Jakarta dan juga pusat-pusat kegiatan ekonomi dan pembangunan lainnya yang telah maju harus pula dihubungkan dengan jalan-jalan yang jauh masuk ke pedalaman.
”Dengan demikian, akan makin banyaklah daerah yang bangkit sehingga makin luas pula jangkauan lapisan masyarakat yang dapat memperbaiki tingkat kehidupannya,” kata Presiden Soeharto saat meresmikan Jalan Tol Jagorawi.
Setelah 43 tahun berselang, pembangunan infrastruktur tetap menjadi salah satu yang mendapat perhatian Presiden Joko Widodo pada masa pemerintahannya. Di periode pertama, pemerintahan Jokowi-Jusuf Kalla merumuskan visinya dalam Nawacita. Tercakup di dalamnya antara lain upaya membangun dari pinggiran dengan memperkuat daerah-daerah dan desa dalam kerangka NKRI.
Baca juga: Upaya Jalan Tol Mendukung Transportasi Berkelanjutan
Selain itu, juga meningkatkan produktivitas rakyat dan daya saing di pasar internasional. Percepatan infrastruktur pun menjadi salah satu pilar dalam percepatan pembangunan di periode pemerintahan Jokowi-Kalla. Visi pembangunan infrastruktur ini pun berlanjut di masa pemerintahan Jokowi-Ma’ruf Amin.
Berkali-kali saya sampaikan infrastruktur adalah fondasi bagi negara kita untuk bersaing dengan negara- negara lain. Artinya, yang kita kejar adalah daya saing kita.
Tol teranyar yang diresmikan Presiden Jokowi pada Selasa (16/11/2021) adalah Seksi I Jalan Tol Serang-Panimbang, yakni ruas Serang-Rangkasbitung sepanjang 26,5 kilometer. Bertolak dari Ibu Kota dengan menggunakan helikoper VVIP Super Puma, Presiden Jokowi meresmikan dari Gerbang Tol Rangkasbitung, Banten.
”Berkali-kali saya sampaikan infrastruktur adalah fondasi bagi negara kita untuk bersaing dengan negara-negara lain. Artinya, yang kita kejar adalah daya saing kita,” tutur Presiden Jokowi.
Membangun peradaban
Bila indeks daya saing Indonesia rendah, sulit untuk melampaui negara-negara lain. Daya saing ini bisa ditingkatkan bila jalur logistik lancar. Konektivitas ini akan membuat biaya logistik lebih murah dan barang-barang bisa didistribusikan dengan baik.
”Infrastruktur ini akan memperbaiki jaringan logistik. Infrastruktur ini juga akan menciptakan titik-titik pertumbuhan ekonomi baru, seperti komoditas tadi akan lebih cepat terdistribusi,” kata Presiden Jokowi.
Harapannya, produk-produk pertanian dan perkebunan bisa cepat sampai pada konsumen. Demikian juga produk-produk sektor lain akan bisa didistribusikan dengan mudah dan cepat. Lebih penting lagi, kata Presiden, pergerakan ekonomi ini diharapkan bisa membuka lapangan pekerjaan sebanyak-banyaknya. Kesejahteraan masyarakat pun terwujud dan akhirnya infrastruktur ikut membangun peradaban.
”Konektivitas adalah fondasi untuk mendorong pertumbuhan ekonomi daerah. Saya yakin ini akan menjadi pengungkit ekonomi di Banten, khususnya sekitar jalan tol ini, Kabupatan Lebak dan Pandeglang,” kata Presiden yang menjanjikan akan melanjutkan pengerjaan Seksi II ruas Rangkasbitung-Cileles sepanjang 24,14 km dan Seksi III ruas Cileles-Panimbang sepanjang 33 kilometer.
Konektivitas adalah pondasi untuk mendorong pertumbuhan ekonomi daerah. Saya yakin ini akan menjadi pengungkit ekonomi di Banten, khususnya sekitar jalan tol ini, Kabupatan Lebak dan Pandeglang.
Saat dimintai pandangan terkait peresmian Jalan Tol Serang-Panimbang Seksi I ruas Serang-Rangkasbitung, Senior Consultant Supply Chain Indonesia (SCI) Sugi Purnoto menuturkan bahwa dampak di sisi logistik relatif minim karena pusat industri di Banten terkonsentrasi di pesisir utara, seperti di Cilegon, Serang, hingga Tangerang.
Selama ini perusahaan besar yang bergerak di industri petrokimia, baja, dan lainnya di Cilegon, misalnya, mengandalkan pelabuhan sebagai sarana melakukan kegiatan ekspor dan impor untuk volume berkuantitas besar. ”Beberapa dari mereka bahkan ada yang mempunyai dermaga atau membangun fasilitas jetty sendiri. Pengangkutan domestik menggunakan trucking (truk) lewat jalur utara,” katanya.
Baca juga: Jokowi Targetkan Tol Serang-Panimbang Rampung Akhir Tahun 2023
Menurut dia, dampak keberadaan Jalan Tol Serang-Panimbang nantinya terutama adalah membuka akses daerah Pandeglang yang selama ini agak ketinggalan pembangunan infrastrukturnya. ”Ini yang mulai dibuka oleh Pak Jokowi sehingga dapat mempercepat pengangkutan hasil bumi dari Pandeglang dan sekitarnya. Kedua, ini sarana untuk memancing investasi karena sudah ada jalan tolnya,” ujar Sugi.
Sugi menuturkan, semua dimungkinkan dengan adanya jalan tol yang baik. Hal ini termasuk kemungkinan tumbuhnya usaha atau industri rakyat setempat—yakni di Pandeglang, Lebak, dan sekitarnya—karena didukung kelancaran akses dengan adanya tol tersebut.
Perihal daya saing yang kerap disandingkan dengan infrastruktur memang memiliki dasar. Hal ini menimbang peranan infrastruktur dalam meningkatkan efisiensi produksi, distribusi, dan pemasaran produk-produk. Kecepatan pengiriman produk menjadi faktor penting dalam menakar daya saing produk di pasar.
Peningkatan daya saing
Siaran pers Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) terbaru mengutip pernyataan Direktur Eksekutif Asia Tenggara US Chamber of Commerce John Goyer yang disampaikannya dalam diskusi terkait hasil survei bertema ”Peningkatan Daya Saing Indonesia dan Amerika Serikat melalui Sumber Daya dan Investasi” yang digelar pada Kamis (11/11/2021). Diskusi tersebut merupakan inisiasi US Chamber-Apindo dan didukung asosiasi sektoral dalam naungan Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Indonesia.
Diskusi memfokuskan pada hasil survei terkini melalui importir AS yang membeli produk dari pemasok Indonesia. Survei dan seminar daring tersebut didukung PT Bank Central Asia Tbk, PT Bank Mandiri (Persero) Tbk, PT Bank Rakyat Indonesia (Persero) Tbk, dan PT Bank Negara Indonesia (Persero) Tbk.
Indonesia dinilai mampu menghasilkan produk berkualitas dengan konsisten dan harga kompetitif dibanding pasar dari negara lain. Namun, masih ditemukan tantangan besar yang dihadapi para pemasok Indonesia, terutama untuk produk-produk musiman yang dibutuhkan oleh konsumen tertentu. Kendala ini terkait waktu yang dibutuhkan untuk produksi dan pengiriman yang dinilai perlu dipercepat.
Menurut Goyer, Indonesia berpeluang menarik investasi baru di sektor manufaktur terkait kapasitas di pusat-pusat produksi yang menghadapi keterbatasan suplai tenaga kerja dan hambatan infrastruktur. ”Melalui investasi yang tepat dengan memenuhi persyaratan tanggung jawab sosial perusahaan, Indonesia dapat mengambil manfaat dari rantai pasokan global yang terus berkembang,” ujarnya.
Indonesia berpeluang menarik investasi baru di sektor manufaktur terkait kapasitas di pusat-pusat produksi yang menghadapi keterbatasan suplai tenaga kerja dan hambatan infrastruktur.
Indonesia pun dinilai masih perlu meningkatkan daya saing dibandingkan negara tetangga. Beberapa responden survei mengatakan menyukai China karena infrastruktur pengirimannya lebih baik dan bahan yang diproduksi secara lokal.
Sri Lanka dan India memiliki infrastruktur komunikasi lebih baik. Adapun Vietnam berlokasi strategis dengan iklim investasi yang secara umum lebih baik.
Wakil Ketua Apindo Shinta W Kamdani menuturkan bahwa hasil survei tersebut dapat digunakan perusahaan Indonesia untuk menilai kapasitas dan pengetahuan mereka tentang pasar AS. ”Dengan demikian, mereka dapat mengidentifikasi dan melibatkan pembeli AS dengan lebih baik,” ujar Shinta.
Berdasarkan data Badan Pengatur Jalan Tol (BPJT), per akhir tahun 2020 panjang jaringan jalan tol di Indonesia adalah 2.346 kilometer dengan panjang jalur jalan tol 10.649 kilometer. Panjang jalur jalan tol ini dihitung dengan memasukkan jumlah jalur sebagai faktor pengali.
Baca juga: Teknologi Jalan Tol
Merujuk prognosis BPJT, panjang jalan tol di tahun 2021 diharapkan mencapai 2.756 kilometer dengan panjang jalur jalan tol 12.491 kilometer. Sesuai rencana strategis dan rencana pembangunan jangka menengah, sasaran pencapaian di tahun 2024 untuk panjang jalan tol adalah 4.761 kilometer dan panjang jalur jalan tol 18.537 kilometer.
Jumlah kendaraan yang bertransaksi di jalan tol pada tahun 2019 sebanyak 4,6 juta unit. Akibat pandemi Covid-19 yang diiringi pembatasan atau pengendalian mobilitas, jumlah transaksi harian di sepanjang tahun 2020 turun menjadi 3,4 juta transaksi.
Prognosis total jumlah transaksi harian di tahun 2021 sebanyak 4 juta transaksi. Adapun sasaran total jumlah transaksi harian di tahun 2024 adalah 7 juta transaksi.
Kebanggaan bangsa
Pembangunan infrastruktur pun tidak semata dilekatkan dengan isu ekonomi. Presiden pertama RI Soekarno, misalnya, pernah mengaitkan pembangunan jalan dengan kebanggaan diri sebagai bangsa. Seperti ditulis Cindy Adams dalam otobiografi yang berjudul ”Bung Karno, Penyambung Lidah Rakyat Indonesia”, Bung Karno menuturkan bahwa manusia tidak hanya hidup untuk makan.
Aku memutuskan membangun gedung-gedung bertingkat, jembatan berbentuk daun semanggi, dan sebuah jalan raya superhighway, (yakni) Jakarta Bypass. Aku juga menamai kembali jalan-jalan dengan nama para pahlawan kami: Jalan Diponegoro, Jalan Thamrin, Jalan Cokroaminoto.
”Meski gang-gang di Jakarta penuh lumpur dan jalanan masih kurang, aku memutuskan membangun gedung-gedung bertingkat, jembatan berbentuk daun semanggi, dan sebuah jalan raya superhighway, (yakni) Jakarta Bypass. Aku juga menamai kembali jalan-jalan dengan nama para pahlawan kami: Jalan Diponegoro, Jalan Thamrin, Jalan Cokroaminoto. Aku menganggap pengeluaran uang untuk simbol-simbol penting seperti itu tidak akan sia-sia. Aku harus membuat bangsa Indonesia bangga terhadap diri mereka,” kata Bung Karno.
Dari Presiden Soekarno, pembangunan jalan terus dilakukan oleh para presiden penerusnya dengan derajat yang berbeda-beda cakupannya. Bahkan, ada yang tidak sempat membangun sama sekali di era paceklik ekonomi dan transisi reformasi di masa Presiden BJ Habibie.
Kebanggaan sebagai bangsa yang dikaitkan dengan pembangunan infrastruktur itu pula yang disuguhkan Presiden Jokowi ketika menyambut kunjungan kehormatan Menteri Luar Negeri Selandia Baru Nanaia Mahuta di Istana Merdeka, Senin, (15/11/2021). Dalam kunjungan luar negeri pertama Menlu Nanaia itu, Presiden Jokowi antara lain menegaskan bahwa pembangunan Papua adalah prioritasnya.
Baca juga: Terima Menlu Selandia Baru, Jokowi Tegaskan Komitmen Hormati HAM
Sebagai gambaran, sejumlah pembangunan infrastruktur secara masif telah dilakukan antara lain Jalan Trans-Papua sepanjang 3.422 kilometer, Jalan Perbatasan Papua sepanjang 1.098 kilometer, dan Jembatan Youtefa sepanjang 1,3 kilometer.
”Saya memfokuskan antara lain pada pembangunan infrastruktur di Papua agar Papua terkoneksi dengan bagian lain Indonesia agar rakyat Papua menikmati kemakmuran,” ujar Presiden Jokowi.
Pembangunan infrastruktur tersebut dimulai sejak pemerintahan pertama Presiden Jokowi tahun 2015. Presiden juga menyampaikan terima kasih atas dukungan Selandia Baru terhadap integritas teritorial Indonesia. ”Saya sangat berharap Selandia Baru dapat memahami perkembangan Papua secara komprehensif,” kata Presiden Jokowi.
Terima kasih atas dukungan Selandia Baru terhadap integritas teritorial Indonesia. Saya sangat berharap Selandia Baru dapat memahami perkembangan Papua secara komprehensif.
Tak urung, pembangunan infrastruktur pada akhirnya dapat ditinjau dari berbagai segi, mulai dari isu peningkatan daya saing, pemerataan pembangunan, hingga mengungkit kebanggaan sebagai bangsa. Aneka tujuan ini tentu tidak lepas dari situasi dan tantangan yang dihadapi di tiap zaman.
Infrastruktur tentu bukan variabel tunggal dalam menggapai asa di berbagai isu tersebut. Tantangan bagi Indonesia untuk terus meningkatkan keunggulan komparatif dan kompetitifnya di tengah persaingan yang kian ketat.