Bentuk dukungan ataupun kebijakan yang membantu pelaku usaha mikro, kecil, dan menengah untuk lebih berkembang perlu didesain dan diimplementasikan secara kolaboratif.
Oleh
Mediana
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Usaha mikro, kecil, dan menengah atau UMKM berkontribusi besar, mencapai 61 persen terhadap produk domestik bruto Indonesia. Akan tetapi, mayoritas pelaku UMKM yang menjadi tulang punggung ekonomi ini berskala mikro, berada di sektor informal, belum layak kredit, dan terhitung berproduktivitas rendah. Untuk memastikan UMKM ”naik kelas”, dibutuhkan kolaborasi pemerintah dan swasta, ataupun antar pelaku UMKM.
Hal ini menjadi benang merah pemikiran dalam diskusi CEO Live Series #4: ”Digital Infrastructure For SME’S Role on Economic Recovery” yang diselenggarakan harian Kompas. Diskusi itu menjadi bagian dari Kompas100 CEO Forum powered by East Ventures.
Hadir sebagai pembicara Menteri Koperasi dan UKM RI Teten Masduki, Direktur Digital Business Telkom Indonesia Fajrin Rasyid, Senior Executive Vice President Bisnis Digital BNI Rian Eriana Kaslan, Direktur Marketing LinkAja Wibawa Prasetyawan, serta CEO dan Co-Founder Blibli Kusumo Martanto.
Berdasarkan data Kementerian Koperasi dan UKM tahun 2019 yang diolah dari Badan Pusat Statistik, terdapat 64,6 juta pelaku usaha mikro, menyumbang 37 persen PDB tahun 2019. Berikutnya, 783.000 unit usaha kecil, menyumbang 9 persen PDB dan 66.000 unit usaha menengah menyumbang 14 persen PDB. Sementara pelaku usaha besar yang hanya berjumlah 5.550 unit juga menyumbang 37 persen PDB (Kompas, 16/11/2021). Hal ini menggambarkan kesenjangan produktivitas UMKM.
Saat ini, kredit perbankan untuk UMKM secara nasional masih di bawah 20 persen. Teten menyebutkan, sebagai perbandingan, di Singapura kredit perbankan untuk UMKM mencapai 37 persen, sedangkan di Korea Selatan bahkan mencapai 81 persen.
Teten mengakui, program pengembangan UMKM oleh pemerintah saat ini masih belum selaras. Ada 22 kementerian/lembaga dan lebih dari 40 instansi pemerintah daerah yang sama-sama memiliki program pengembangan UMKM. Ini mengindikasikan upaya memajukan UMKM belum didesain dengan baik.
Merespons kendala ini, Teten menegaskan, kini tengah disusun peta jalan untuk memajukan UMKM. Di dalamnya dibuat pembagian peran antarkementerian/lembaga dan pemerintah daerah sehingga ada keselarasan program.
Kusumo menuturkan, pengalaman tim Blibli berkeliling ke 300 kabupaten/kota dalam setahun untuk melakukan pelatihan bagi UMKM bersama pemerintah daerah. Seusai pelatihan, sangat sedikit UMKM peserta pelatihan yang mau terjun langsung ke platform e-dagang.
”Paling dua atau tiga UMKM saja yang akhirnya on boarding digital, dari puluhan sampai ratusan peserta pelatihan. Masih ada pemikiran pemasaran barang melalui toko daring itu harus keluar uang besar,” ujar Kusumo.
Ia juga berpendapat, program pemerintah untuk membantu UMKM sudah marak. Namun, sosialisasi kebijakan ini kerap belum optimal sehingga implementasinya terkendala.
Kolaborasi dengan berbagai pihak juga menjadi strategi BNI untuk memajukan UMKM. ”Kami bisa menjadi orkestrator, mitra, dan kontributor bagi UMKM yang ingin naik kelas. Kami mempunyai nasabah korporat yang bisa diajak bekerja sama atau sistem teknologi kami bisa dipakai mitra lain untuk mendukung kenaikan transaksi digital UMKM,” kata Rian.
Adapun Fajrin menyampaikan, infrastruktur jaringan telekomunikasi Telkom mampu menopang kebutuhan akses internet bagi pelaku UMKM. ”Kami juga mengembangkan bisnis solusi digital lain yang bisa dikolaborasikan,” ujarnya.
LinkAja juga berkolaborasi dengan Telkomsel untuk meningkatkan literasi dan inklusi keuangan bagi pelaku UMKM. Wibawa menjelaskan, ketika pelaku UMKM melek layanan keuangan digital, jejak transaksi bisa terekam dan diolah untuk menghasilkan solusi pengembangan bisnis. Jejak transaksi ini juga dapat dimanfaatkan untuk membantu akses modal.