Standardisasi Bisnis Berkelanjutan Jadi Tantangan Dunia Usaha
Pemerintah mendorong setiap sektor industri untuk mengembangkan standardisasi dalam menjalankan bisnis yang berkelanjutan.
Oleh
Dimas Waraditya Nugraha
·5 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Pemerintah mendorong setiap sektor industri untuk mengembangkan standardisasi dalam menjalankan bisnis yang berkelanjutan. Hal itu diperlukan karena setiap sektor industri memiliki karakteristik dan tantangan yang berbeda-beda dalam membangun sistem ekonomi yang mengedepankan aspek inklusi sosial dan kelestarian lingkungan hidup.
Bahasan tersebut mengemuka dalam diskusi CEO Live Series #3: Sustainability Action yang diselenggarakan harian Kompas, Senin (15/11/2021), di Patio Venue & Dining Jakarta, yang merupakan rangkaian perhelatan Kompas100 CEO Forum powered by East Ventures.
Hadir dalam diskusi tersebut Ketua Tim Ahli Menteri Perdagangan Bayu Krisnamurthi, SVP Strategy & Investment PT Pertamina (Persero) Daniel S Purba, EVP Electricity System Planning PT Perusahaan Listrik Negara (Persero) Edwin Nugraha Putra, Communication Directors PT Danone Indonesia Arif Mujahidin, dan Director Sustainability & Stakeholder Relations Asian Agri Bernard A Riedo.
Bayu Krisnamurthi mengatakan, standar sukarela (voluntary standard) yang diharapkan disusun oleh setiap sektor industri tetap harus berpedoman pada Rencana Aksi Nasional Tujuan Pembangunan Berkelanjutan/Sustainable Development Goals (RAN-TPB/SDGs) 2021-2024.
”Rencana aksi nasional yang sudah ditandatangani Presiden tersebut sangat detail. Tujuh belas target SDGs diterjemahkan dalam indikator yang diturunkan menjadi langkah-langkah. Pelaku usaha perlu mengacu pada rencana aksi nasional tersebut dalam mengembangkan standarnya masing-masing,” katanya.
Menurut Bayu, pemerintah memang tidak menyediakan standardisasi yang spesifik untuk masing-masing sektor industri dalam mengembangkan ekonomi berkelanjutan.
”Bagaimana mengembangkan standardisasi sesuai tujuan SDGs, kami serahkan kepada dunia usaha. Pengembangan standardisasi berbasis sukarela saat ini juga banyak dipakai negara lain, terutama negara-negara berkembang,” ujarnya.
Secara umum, Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (SDGs) menyerukan upaya bersama guna membangun masa depan yang inklusif, berkelanjutan, dan tangguh untuk manusia dan lingkungan. Untuk mencapai pembangunan berkelanjutan, perlu adanya keselarasan antara pertumbuhan ekonomi, inklusi sosial, dan perlindungan lingkungan hidup.
Terkait bisnis berkelanjutan, Daniel S Purba menyatakan Pertamina telah berkomitmen untuk berkontribusi mengurangi emisi karbon dioksida hingga 81,4 juta ton pada 2060 melalui upaya penerapan transisi energi secara bertahap dan berhati-hati.
”Transisi energi dari energi fosil menuju ke energi baru terbarukan akan terus berlanjut, tetapi harus sejalan dengan prinsip ketahanan energi, aksesibilitas, dan keterjangkauan,” ujarnya.
Saat ini, lanjut Daniel, porsi energi terbarukan baru sekitar 1 persen dari portofolio bisnis Pertamina. Namun, pada 2030, perseroan memproyeksikan porsi energi terbarukan dalam portofolio bisnis Pertamina mencapai 17 persen.
Dalam mewujudkan komitmen tersebut, Pertamina telah merumuskan Program Green Energy Transition dalam Rencana Jangka Panjang Perusahaan (RJPP) yang sejalan dengan Grand Strategi Energi Nasional.
Antisipasi pergeseran konsumsi energi yang dilakukan Pertamina salah satunya adalah mengembangkan kapasitas energi panas bumi (geotermal).
Pada tahun 2020, total kapasitas terpasang panas bumi di wilayah kerja Pertamina Geothermal Energy (PGE) sebesar 1.877 MW yang terdiri dari 672 MW dioperasikan langsung oleh PGE dan 1.205 MW dioperasikan melalui joint operation contract (JOC). Pada tahun 2030, total kapasitas terpasang ditargetkan bisa mencapai total 2.745 MW.
”Pertamina memandang bahwa sustainablility sangat penting, terutama karena sifat dari industri energi yang kita hidupi dan kita geluti ini sifatnya semuanya jangka panjang,” ujar Daniel.
Senada dengan Pertamina, Edwin Nugraha Putra mengatakan, PT Perusahaan Listrik Negara (PLN) bakal meningkatkan porsi pembiayaan guna mempercepat peningkatan kapasitas pembangkit listrik yang menggunakan energi terbarukan. Ia optimistis transisi ke energi baru terbarukan akan menumbuhkan lapangan pekerjaan baru dan memperbaiki ekonomi.
Dalam jangka panjang PLN akan terus berinovasi dalam melakukan dekarbonisasi untuk mencapai carbon neutral pada 2060.
Dalam jangka panjang, PLN akan terus berinovasi dalam melakukan dekarbonisasi untuk mencapai target carbon neutral pada 2060. ”Pembangkit-pembangkit fosil ini secara bertahap akan kita kurangi emisinya sesuai perkembangan teknologi. Hingga akhirnya pada 2060 nanti semua kebutuhan listrik kita akan layani dengan renewable energy,” ujarnya.
PLN saat ini tengah mengganti secara bertahap pembangkit listrik tenaga diesel (PLTD) dengan pembangkit listrik tenaga surya (PLTS) sebagai upaya mencapai target porsi energi baru terbarukan sebesar 23 persen pada 2025.
Sementara itu, Arif Mujahidin mengatakan, upaya Danone dalam mendorong ekonomi berkelanjutan salah satunya adalah dengan memasang target netral karbon dalam seluruh rantai pasok perusahaan pada 2050 sembari secara bertahap meningkatkan porsi penggunaan energi listrik terbarukan.
Salah satu inovasi terbaru yang akan dilakukan Danone dalam waktu dekat adalah memanfaatkan biomassa. Sampah hasil pertanian seperti gabah akan dipakai sebagai sumber listrik untuk pabrik Sarihusada Prambanan.
Menurut Arif, praktik bisnis berkelanjutan yang dijalankan oleh Danone memastikan seluruh aspek mulai dari rantai pasok hingga operasional bisnis, memberi dampak positif dan nilai tambah bagi masyarakat, lingkungan, pelanggan, dan karyawan.
”Di balik tujuan utama menghasilkan produk konsumsi untuk manusia, perusahaan memastikan dalam proses produksi itu tidak boleh merusak lingkungan, sehingga terjalin interkoneksi antara kesehatan manusia dan kesehatan bumi,” ujarnya.
Bernard A Riedo mengatakan, upaya Asian Agri dalam menopang ekonomi berkelanjutan adalah dengan terus mendorong kemitraan antara perusahaan dan petani.
”Kemitraan Asian Agri dengan kelompok petani sudah dimulai sejak awal tahun 1980-an hingga saat ini kemitraan sudah mencapai generasi kedua. Harapan kita kemitraan ini bisa terus diturunkan ke generasi-generasi selanjutnya,” ujarnya.
Selain menyediakan pasar untuk mempermudah petani menjual hasil panennya, Asian Agri juga memberikan dukungan terkait peningkatan taraf hidup dan produktivitas kebun petani, meliputi pelatihan, pendampingan di lapangan, dan peralatan yang modern.
”Kami juga menyediakan sumber ekonomi alternatif bagi para petani yang tanaman kelapa sawitnya telah berada di usia tidak produktif dan perlu diremajakan,” kata Bernard.