Rata-rata kenaikan upah minimum tahun 2022 sebesar 1,09 persen dinilai terlalu kecil bagi pekerja yang saat ini sudah terdampak pandemi. Kemerosotan upah itu harus diiringi pengawasan dan penegakan sanksi yang kuat.
Oleh
Agnes Theodora
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Mulai tahun depan, pengusaha tidak bisa lagi menangguhkan kenaikan upah minimum dan akan disanksi pidana jika melanggar aturan pengupahan. Namun, ancaman sanksi itu jangan hanya garang di atas kertas.
Survei Angkatan Kerja Nasional per Februari 2021 menunjukkan, tingkat kepatuhan pengusaha dalam membayar pekerjanya sesuai upah minimum terhitung rendah dari tahun ke tahun. Persentase pekerja yang dibayar di bawah upah minimum juga meningkat selama empat tahun terakhir.
Pada Februari 2019, ada 47,07 persen pekerja yang masih dibayar di bawah upah minimum provinsi. Komposisi itu meningkat menjadi 48,66 persen pada Februari 2020 dan kembali naik menjadi 49,67 persen per Februari 2021.
Direktur Jenderal Pembinaan Hubungan Industrial dan Jaminan Sosial Tenaga Kerja Kementerian Ketenagakerjaan Indah Anggoro Putri, Senin (15/11/2021), mengatakan, pengusaha yang tidak menggaji pekerjanya sesuai standar upah minimum nantinya akan dikenai sanksi pidana.
Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja mengatur, pengusaha yang memberikan gaji di bawah upah minimum dikenai sanksi pidana penjara minimal 1 tahun dan maksimal 4 tahun dan/atau denda minimal Rp 100 juta dan maksimal Rp 400 juta.
UU Cipta Kerja juga meniadakan kesempatan penangguhan pelaksanaan upah minimum bagi pengusaha. Sebelumnya, ketika masih mengacu ke Peraturan Pemerintah Nomor 78 Tahun 2015, pengusaha diizinkan menangguhkan upah minimum.
Bentuk penangguhan itu bisa berupa membayar upah minimum sesuai upah minimum yang lama, membayar upah minimum lebih tinggi daripada upah minimum yang lama, tetapi lebih rendah daripada upah minimum baru, atau menaikkan upah minimum secara bertahap.
Mulai tahun depan, penangguhan itu ditiadakan. ”Perusahaan harus betul-betul menerapkan. Jangan berdalih karena masih di masa pemulihan Covid-19 lalu tidak taat menetapkan upah minimum. Harus hati-hati,” kata Putri.
Direktur Hubungan Kerja dan Pengupahan Kemenaker Dinar Titus Jogaswitani menilai, kali ini pengusaha seharusnya lebih patuh menjalankan aturan pengupahan. Sebab, kenaikan upah minimum mulai tahun depan akan mengikuti sistem pengupahan baru yang membuat besaran kenaikan upah lebih kecil daripada sebelumnya.
Pemerintah dan Dewan Pengupahan Nasional mengestimasi, rata-rata persentase kenaikan upah minimum 2022 adalah 1,09 persen. Hasil simulasi menggunakan kalkulator upah Wagepedia oleh Kemenaker menunjukkan, ada empat provinsi yang tidak akan mengalami kenaikan upah minimum, yaitu Sumatera Selatan, Sulawesi Utara, Sulawesi Selatan, dan Sulawesi Barat.
Sebanyak 13 provinsi mengalami kenaikan upah minimum di bawah 1 persen dan 14 provinsi naik di kisaran 1 persen. Kenaikan upah minimum ini merosot jauh dibandingkan sebelumnya. Sebagai perbandingan, kenaikan upah minimum dalam lima tahun terakhir biasanya selalu di atas 8 persen.
Dinar mengatakan, upah minimum hanya berlaku untuk pekerja lajang dengan masa kerja di bawah satu tahun. Di atas itu, pekerja harus dibayar sesuai struktur dan skala upah. Artinya, upah bagi pekerja di atas satu tahun dan sudah berkeluarga harus lebih tinggi daripada standar minimum. Upah juga harus disesuaikan dengan golongan jabatan dan produktivitas.
”Kenaikan (upah minimum) sebenarnya kecil sekali. Jadi, sekurang-kurangnya pengusaha harus mengikuti upah minimum, kecuali skalanya mikro dan kecil, itu memang dikecualikan. Kalau menengah-besar, tetap harus membayar upah minimum,” ujar Dinar.
Pengawasan lemah
Presiden Konfederasi Serikat Buruh Seluruh Indonesia Elly Rosita Silaban mengatakan, kemerosotan upah yang drastis mulai tahun depan itu harus diiringi dengan penguatan sistem sosialisasi dan pengawasan ke perusahaan-perusahaan.
Ia mengatakan, pelanggaran upah minimum sudah terjadi dari tahun ke tahun, tetapi minim tindak lanjut. Ada berbagai alasan, mulai dari jumlah pengawas ketenagakerjaan yang kurang sampai terbatasnya kapasitas dan kualitas tenaga pengawas.
Elly meminta agar kali ini aturan sanksi jangan hanya garang di atas kertas. ”Selama ini buktinya nyaris tidak ada sanksi untuk pengusaha yang melanggar aturan upah minimum atau tidak memenuhi kesepakatan penangguhan. Harus benar-benar ada monitoring yang kuat. Kalau tidak, ini menjadi pukulan ganda untuk buruh,” katanya.
Ia menilai, kenaikan upah yang hanya sekitar di angka 1 persen itu terlalu kecil bagi pekerja, yang saat ini sudah kesulitan memenuhi kebutuhan hidup di tengah pandemi.
Kenaikan upah minimum yang tipis itu semakin tidak beralasan karena sebenarnya usaha mikro-kecil sudah dikecualikan dari keharusan membayar upah minimum. Lagipula, tidak semua perusahaan merugi. Ada sektor-sektor tertentu yang masih bertahan, bahkan mendapat untung selama pandemi.
”Sistem ini kembali melegalkan pemberian upah murah bagi buruh, ini kondisi terburuk sepanjang sejarah. Jika tidak ada monitoring dan pengawasan yang kuat, sistem pengupahan ini akan semakin menekan kesejahteraan buruh,” ujar Elly.