Indonesia Perjuangkan Hak Pemajakan Perusahaan Multinasional
Konsensus baru terkait perpajakan global dinilai dapat menjamin hak pemajakan yang lebih adil bagi negara pasar seperti Indonesia. Indonesia memperjuangkan haknya terkait pajak perusahaan multinasional.
Oleh
Mediana
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Indonesia mengejar peluang positif dalam penerapan konsensus pajak global. Salah satu di antaranya hak pemajakan. Konsensus baru terkait perpajakan global dinilai dapat menjamin hak pemajakan yang lebih adil bagi negara pasar.
Sebelumnya, Organisasi untuk Kerja Sama dan Pembangunan Ekonomi (OECD) membuat kesepakatan terkait proposal Inclusive Framework on Base Erosion and Profit Shifting (IF BEPS). Ada dua pilar yang disepakati. Pertama, unified approach yang berupaya menjamin hak pemajakan setiap negara dan basis pajak yang lebih adil dalam konteks ekonomi digital. Hal ini dilakukan dengan mengubah sistem pajak internasional yang tak lagi berbasis kehadiran fisik.
Pilar kedua, usulan solusi yang berupaya mengurangi kompetisi dan melindungi basis pajak melalui penetapan tarif Pajak Penghasilan (PPh) badan minimal di tingkat global. Saat ini sudah ada 137 negara menyepakati kedua pilar tersebut.
Direktur Perpajakan Internasional Direktorat Jenderal Pajak Kementerian Keuangan Mekar Satria Utama dalam diskusi daring Forum Merdeka Barat ”KTT G20: Kejelasan Arah Pajak Global untuk Indonesia” di Jakarta, Senin (15/11/2021), menjelaskan, pilar pertama menekankan hak pemajakan tanpa kehadiran fisik perusahaan. Ini menguntungkan Indonesia. Apalagi implementasi pilar ini merujuk ke semua perusahaan multinasional yang kini mengerucut 100 perusahaan.
”Ketentuannya berbasis multilateral dan saat ini sudah ada 137 negara menyepakati konsensus pajak global itu. Kami telah menyiapkan regulasi di Indonesia dalam Undang-Undang Harmonisasi Peraturan Perpajakan beserta turunannya dan siap mengimplementasikan pilar pertama IIF BEPS pada Juli 2022,” ujarnya.
Soal pilar kedua, kata Mekar, masih ada pembahasan tingkat lanjut. Isu terbesar yang kini berkembang terkait pilar ini adalah negara-negara besar berlomba menurunkan tarif pajak dan akhirnya mengerucut ke tarif pajak korporasi minimum global 15 persen. Negara berkembang yang selama ini menjadi pasar hanya akan memperoleh residual income.
Mekar menyadari negara yang diuntungkan dari penerapan pilar kedua adalah negara asal. Namun, Indonesia bisa mencari peluang positif dari implementasi pilar satu atau kedua IF BEPS.
Telaah dampak
Partner DDTC Fiscal Research, Bawono Kristiaji, mengatakan, selama 5-10 tahun terakhir, pernyataan para perusahaan teknologi digital multinasional selalu sama, yakni mereka telah mematuhi regulasi pajak di mana mereka beroperasi. Regulasi domestik tak bisa melampaui regulasi pajak digital internasional.
Dia menyebut perlu ditelaah kembali bentuk institusi mereka di negara tempat mereka beroperasi. Sebab, hal ini berkaitan langsung dengan keadilan pengenaan pajak.
”Kalau mereka menyebut sudah mendirikan badan usaha tetap (BUT), hal itu perlu dicek apakah BUT bersangkutan menjalankan administrasi saja atau tidak. Adanya konsensus pajak global merupakan kemajuan besar. Meski demikian, isi konsensus itu perlu ditelaah dampaknya ke Indonesia sebagai negara berkembang menguntungkan atau tetap belum memberikan keadilan,” ujarnya.
Dalam laporan terbaru EU Tax Observatory seperti dikutip DDTC, ketentuan pajak korporasi minimum global pada pilar kedua global anti-base erosion rules akan lebih banyak memberikan tambahan penerimaan pajak ke negara maju, bukan negara berkembang. Indonesia disebut berpotensi mendapatkan tambahan penerimaan pajak berkali lipat lebih tinggi bila tarif pajak korporasi minimum global yang disepakati tidak hanya 15 persen, seperti yang sekarang berkembang.
Transaksi rupiah
Government Affairs and Public Policy Google Indonesia Danny Ardianto mengatakan, Google Indonesia hadir pada tahun 2011. Delapan tahun kemudian, yakni 2019, Google menetapkan seluruh proses transaksi iklan dan layanan komputasi awan Google di Indonesia memakai mata uang rupiah. Pada tahun yang sama, Google di Indonesia melaporkan dan bayar pajak, seperti Pajak Pertambahan Nilai (PPn) dan PPh badan, ke Pemerintah Indonesia.
Dia menyampaikan bahwa Google mengikuti perkembangan pembahasan konsensus pajak global, termasuk pembahasan di lingkup negara-negara yang tergabung dalam G-20. Google juga menyimak setiap keputusan konsensus pajak global yang di antaranya menekankan kepastian dan multilateral.
Dalam konteks Indonesia dan Asia Tenggara, Danny menyebutkan, laporan terbaru Google bersama Bain & Company dan Temasek ”E-Economy SEA 2021” menunjukkan selama tahun 2020 hingga semester I-2021 terdapat 60 juta konsumen layanan internet baru. Penambahan baru ini didominasi oleh warga di luar kota metropolitan. Pengguna yang sebelumnya sudah menggunakan layanan internet akan meningkatkan konsumsi tiga kali lipat lebih.
”Lambat laun perdagangan secara elektronik atau e-dagang akan sama seperti sektor ekonomi pada umumnya. Kalau dalam konsensus pajak global masih ada dikotomi negara produsen dan pasar/konsumen, kami percaya kelak tidak ada lagi negara konsumen,” katanya.