Upah Minimum Naik Tipis, Berefek pada Daya Beli Pekerja
Upah minimum 2022 akan resmi mengikuti sistem baru di Undang-Undang Cipta Kerja. Rata-rata kenaikan upah yang tipis di kisaran 1 persen itu dikhawatirkan akan semakin menekan daya beli pekerja di tengah pandemi Covid-19.
Oleh
Agnes Theodora
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Simulasi yang mengacu pada data aktual dari Badan Pusat Statistik mengindikasikan rata-rata kenaikan upah minimum tahun 2022 hanya berada di kisaran 1 persen. Upah yang naik tipis dan sebagian berada di bawah angka inflasi itu dikhawatirkan bisa semakin menggerus daya beli pekerja di tengah dampak pandemi Covid-19.
Perkiraan besaran upah minimum 2022 itu bisa diakses publik melalui kalkulator simulasi penghitungan upah minimum 2022 di laman wagepedia.kemnaker.go.id. Selain besaran angka upah minimum tahun depan, publik juga bisa mengunduh data statistik dari BPS yang dipakai untuk menghitung upah minimum.
Hasil penghitungan kalkulator Wagepedia oleh Kementerian Ketenagakerjaan menunjukkan, rata-rata kenaikan upah minimum provinsi 2022 adalah 1,16 persen. Sementara, dari estimasi terbaru Dewan Pengupahan Nasional, rata-rata kenaikannya adalah 1,09 persen.
Ada empat provinsi yang kemungkinan tidak akan mengalami kenaikan upah minimum, yaitu Sumatera Selatan, Sulawesi Utara, Sulawesi Selatan, dan Sulawesi Barat. Sebanyak 13 provinsi mengalami kenaikan upah minimum di bawah 1 persen dan 14 provinsi naik di kisaran 1 persen. Adapun tiga provinsi diproyeksikan mengalami kenaikan upah tertinggi, yaitu Maluku Utara (5,17 persen), Daerah Istimewa Yogyakarta (4,3 persen), dan Sulawesi Tengah (3,78 persen).
Sebagai perbandingan, kenaikan upah minimum dalam lima tahun terakhir biasanya selalu di atas 8 persen. Upah sempat naik drastis pada 2014 hingga 22,2 persen. Saat itu, upah minimum masih ditetapkan berdasarkan survei komponen kebutuhan hidup layak (KHL). Ke depan, upah dihitung mengikuti rumus baru yang bertumpu pada indikator makro ekonomi dari BPS.
Sekretaris Jenderal Kementerian Ketenagakerjaan Anwar Sanusi mengatakan, upah minimum provinsi 2022 akan diumumkan oleh tiap gubernur paling lambat sebelum 21 November 2021 dan upah minimum kabupaten/kota sebelum 30 November 2021.
Gubernur diwajibkan berpedoman pada formula penetapan upah minimum yang diatur di Peraturan Pemerintah Nomor 36 Tahun 2021 tentang Pengupahan. ”Mudah-mudahan hasil yang diumumkan kepala daerah nanti tidak jauh berbeda,” kata Anwar, Minggu (14/11/2021).
Dalam Surat Edaran Menteri Ketenagakerjaan mengenai penyampaian data dalam penetapan upah minimum 2022, 9 November 2021, para kepala daerah diingatkan untuk berpedoman pada kebijakan pemerintah pusat dalam menetapkan upah minimum 2022. Dalam surat tersebut, para kepala daerah diminta menetapkan upah minimum berdasarkan formula yang diatur di PP No 36/2021.
Sekretaris Jenderal Organisasi Pekerja Seluruh Indonesia Timboel Siregar mengkhawatirkan kenaikan tipis upah minimum 2022 itu akan semakin menggerus daya beli pekerja yang sudah terdampak pandemi Covid-19 selama 1,5 tahun terakhir ini.
”Mayoritas provinsi upah minimumnya naik di bawah 1 persen, hanya beberapa saja yang naik di atas 2 persen. Mayoritas upah minimumnya juga berada di bawah nilai inflasi provinsi sehingga daya beli pekerja bisa semakin tergerus inflasi,” katanya.
Ia membandingkan, sebelum diberlakukannya UU Cipta Kerja, kenaikan upah minimum biasanya di atas 8 persen sehingga besaran kenaikan upah minimum pekerja selalu ada di atas inflasi yang berkisar di angka 3 persen. ”Di era PP No 36/2021 ini, kemungkinan besar kenaikan upah minimum akan ada di bawah inflasi terus,” ujarnya.
Terdampak pandemi, daya beli pekerja sudah merosot. Hal itu tampak dari kondisi ketenagakerjaan per Agustus 2021. BPS mencatat, terjadi penurunan rata-rata upah buruh sebesar 4,34 persen selama enam bulan terakhir dari Februari-Agustus 2021. Sementara, selama setahun terakhir atau Agustus 2020-Agustus 2021, terjadi penurunan rata-rata upah buruh sebesar 0,72 persen. Penurunan upah terjadi di hampir semua lapangan kerja.
Timboel berharap pemerintah bisa menyeimbangkan kenaikan upah minimum yang tipis itu dengan kebijakan bantuan subsidi bagi pekerja di daerah yang tidak mengalami kenaikan upah minimum provinsi atau kabupaten/kota. ”Subsidi juga bisa diberikan untuk pekerja di daerah yang upah minimumnya naik, tetapi masih di bawah angka inflasi,” katanya.
Menjaga lapangan kerja
Wakil Ketua Dewan Pengupahan Adi Mahfudz menilai, peningkatan daya beli masyarakat tidak hanya bergantung pada komponen upah. Menurut dia, upah minimum adalah jaring pengaman (safety net) bagi pekerja tidak mencerminkan upah layak yang seharusnya dibayarkan ke pekerja sesuai produktivitas serta aturan struktur dan skala upah.
Adi meyakini, dengan kebijakan pengupahan pasca-UU Cipta Kerja yang memberi keistimewaan pada usaha mikro dan kecil, daya beli masyarakat bisa tetap terjaga. ”Daya beli masyarakat juga ditentukan oleh usaha mikro-kecil yang selama ini belum punya proteksi upah,” ujar Adi, perwakilan unsur pengusaha.
Ia berdalih, kebijakan pengupahan seperti saat ini justru diperlukan untuk menjaga penciptaan lapangan kerja. Standar upah minimum yang terlalu tinggi dikhawatirkan justru akan menekan penciptaan lapangan kerja. ”Bukannya upah pekerja tidak penting, tetapi pekerjaan yang menghasilkan upah itu harus dijaga kesinambungannya,” kata Adi.
Hal senada dikatakan anggota Dewan Pengupahan Nasional dari unsur Pakar Pengupahan, Joko Santosa. Ia mengatakan, kebijakan pengupahan saat ini penting untuk menaikkan indeks daya saing nasional dan meningkatkan kepercayaan investor terhadap sistem pengupahan Indonesia.
Menurut Joko, seluruh pihak sebaiknya tidak hanya memperdebatkan kenaikan upah minimum, tetapi penerapan upah minimum yang sesuai dengan kinerja individu dan produktivitasnya. ”Dengan begitu, kenaikan upah pekerja akan bergantung pada produktivitas yang dihasilkannya. Penerapan struktur dan skala upah berbasis kinerja ini akan mendorong distribusi upah di atas upah minimum secara lebih adil,” katanya.