Kini sudah seharusnya bank kembali ke fitrahnya dengan mengoptimalkan fungsi intermediasi. Melalui dorongan penyaluran kredit, perekonomian bisa kembali bergulir lebih cepat.
Oleh
Benediktus Krisna Yogatama
·4 menit baca
Ibarat tabung bejana berhubungan, laju pertumbuhan penyaluran kredit bank menjadi cerminan laju pertumbuhan ekonomi. Keduanya saling memengaruhi dan mengisi satu sama lain.
Seiring dengan penurunan jumlah kasus Covid-19, pelonggaran pembatasan kegiatan sosial dilakukan. Ketika aktivitas masyarakat lebih kuat menggeliat, perekonomian pun perlahan membaik. Sejalan dengan pergerakan ekonomi, penyaluran kredit perbankan juga mencatat kenaikan pertumbuhan.
Mengutip data Badan Pusat Statistik, pertumbuhan ekonomi pada triwulan ketiga tahun ini sebesar 3,51 persen secara tahunan. Adapun, pertumbuhan penyaluran kredit bank sampai dengan September bertumbuh 2,21 persen secara tahunan.
Meski pertumbuhan kredit belum sekencang periode pra-pandemi yang bisa mencapai kisaran 6-8 persen per tahun, pertumbuhan kredit pada September 2021 menjadi yang tertinggi sejak kredit kembali bertumbuh positif Juni lalu. Sebelumnya, pertumbuhan penyaluran kredit terkontraksi negatif selama delapan bulan sejak Oktober 2020.
Geliat kegiatan ekonomi membuat permintaan kredit baik dari dunia usaha maupun kredit konsumsi dari nasabah ritel menguat.
Berdasarkan segmen, kredit konsumsi bertumbuh 2,95 persen secara tahunan. Di dalamnya terdapat kredit pemilikan rumah (KPR) yang bertumbuh 8,67 persen secara tahunan. Pertumbuhan KPR yang sejalan dengan pertumbuhan properti ini merupakan pertanda baik. Sebab, pembangunan properti memiliki efek berlipat, mulai dari industri bahan bangunan seperti semen, baja, hingga serapan tenaga kerja informal maupun warung-warung makan yang melayani buruh bangunan.
Meningkatnya kredit konsumsi itu juga sejalan dengan hasil Indeks Keyakinan Konsumen (IKK) yang dirilis Bank Indonesia yang pada September 2021 berada pada level 95,5. Ini meningkat 18,2 poin dari Agustus pada level 77,3. Rilis terbaru menunjukkan, tingkat IKK pada Oktober kembali meningkat pada level 113,4.
Nilai indeks yang sudah melebihi 100 ini menunjukkan konsumen berada di level optimistis dengan kondisi perekonomian. Peningkatan itu mengindikasikan optimisme konsumen terhadap kondisi ekonomi menguat seiring dengan diberlakukannya relaksasi mobilitas pada periode survei.
Selain kredit konsumsi yang bertumbuh, segmen kredit modal kerja juga bertumbuh 2,85 persen dan kredit investasi 0,37 persen. Di dalam segmen itu tercatat pertumbuhan kredit UMKM meningkat menjadi 2,97 secara tahunan.
Mulai bertumbuhnya kredit segmen modal kerja dan kredit investasi ini mengindikasikan kembali munculnya gairah dunia usaha untuk mulai tancap gas melakukan ekspansi usaha yang sempat tertunda karena gejolak ekonomi yang dipicu pandemi.
Gambaran ini senada pula dengan indeks manajer pengadaan di sektor manufaktur (Purchasing Managers’ Index/PMI) pada September yang berada di level 52,2. Ini meningkat setelah pada Juli dan Agustus merosot pada level 40,1 dan 43,7. PMI di atas level 50 menandakan level ekspansif, sedangkan di bawah level 50 menandakan sebaliknya.
Bertumbuhnya penyaluran kredit ini juga tidak lepas dari diberlakukannya kebijakan tingkat suku bunga acuan kredit bank yang rendah. Sejak Februari hingga saat ini, tingkat suku bunga acuan kredit bank dipertahankan pada 3,5 persen.
Rendahnya tingkat suku bunga acuan kredit itu akhirnya diikuti oleh suku bunga dasar kredit (SBDK) perbankan. Sampai dengan Agustus, SBDK bank berada pada level 8,77 persen. Tingkat SBDK ini turun dibandingkan Juni yang berada di level 8,82 persen. Menurunnya SBDK membuat bunga pinjaman bank semakin rendah sehingga diharapkan bisa mendorong permintaan kredit.
Di tengah kondisi perekonomian yang mulai membaik, risiko kredit juga semakin turun, perbankan perlu mulai mengurangi kepemilikan surat berharga negara (SBN) dan mulai lebih gencar menyalurkan kredit. Sampai dengan September, jumlah kepemilikkan SBN oleh perbankan mencapai Rp 1.502,91 triliun atau setara dengan 33,69 persen dari total SBN yang sebesar Rp 4.460,46 triliun.
Memiliki SBN merupakan salah satu alternatif perbankan untuk memperoleh pendapatan saat penyaluran kredit sempat lesu. Melalui SBN, mereka tetap memperoleh bunga imbal hasil SBN tanpa menghadapi risiko gagal bayar seperti saat memberikan penyaluran kredit.
Namun, kini sudah seharusnya bank kembali ke fitrahnya dengan mengoptimalkan fungsi intermediasi. Apalagi likuiditas perbankan dalam kondisi berlimpah, ditandai dengan pertumbuhan dana pihak ketiga (DPK) sampai dengan September yang sebesar 7,69 persen secara tahunan. Melalui dorongan penyaluran kredit pulalah, perekonomian bisa kembali bergulir lebih cepat.