”Lampu Kuning” Pengelolaan Rajungan
Penangkapan rajungan mulai mendekati ambang berlebih. Komoditas perikanan skala ekspor ini kerap diburu dengan alat tangkap yang tidak ramah lingkungan dan tidak memperhatikan daya dukung.
Komoditas rajungan sebagai salah satu primadona ekspor perikanan Indonesia terus mengalami eksploitasi. Di beberapa sentra produksi, hasil tangkapan rajungan mulai menunjukkan penurunan.
Berdasarkan data Kementerian Kelautan dan Perikanan, ekspor komoditas rajungan-kepiting hingga triwulan III (Januari-September) 2021 sebesar 447 juta dollar AS atau berkontribusi 11 persen terhadap total nilai ekspor perikanan. Konstribusi ekspor itu meningkat dibandingkan triwulan II-2021 yang tercatat 9,9 persen.
Kenaikan nilai ekspor itu menempatkan kelompok kepiting-rajungan pada peringkat ketiga komoditas unggulan, setelah udang, dan tuna-cakalang. Asosiasi Pengelolaan Rajungan Indonesia (APRI) mencatat, hampir 80 persen produk rajungan diekspor ke Amerika Serikat.
Penangkapan rajungan saat ini terpusat di Wilayah Pengelolaan Perikanan (WPP) RI 712 yang meliputi Laut Jawa dengan potensi tangkapan mencapai 23.000 ton per tahun. Dengan harga jual tinggi untuk produk segar, yakni di kisaran Rp 50.000-Rp 100.000 per kilogram, perikanan rajungan dinilai menjanjikan bagi usaha tangkapan hingga pengolahan.
Dalam pelatihan singkat bertajuk ”Rajungan untuk Masyarakat Sejahtera”, Sabtu (14/11/2021), Coral Triangle Center (CTC) merilis, perikanan rajungan menjadi mata pencarian utama bagi 90.000 nelayan dan 185.000 pemilahan dengan mayoritas pekerja perempuan di unit pemrosesan lokal.
Meski tergolong unggulan, produksi rajungan di beberapa sentra produksi mulai menunjukkan tren penurunan akibat penangkapan berlebih dan tidak ramah lingkungan. Upaya mendorong kenaikan ekspor rajungan yang berkualitas, peningkatan kesejahteraan nelayan, dengan tetap menjaga kelestarian dan keberlanjutan produksi kini menjadi tantangan.
Hasil penelitian Seafood Watch 2018 memperlihatkan mayoritas nelayan Indonesia menangkap rajungan memakai jaring insang dasar, jebakan ikan, dan pukat yang tidak ramah lingkungan. Persoalan lain, pengelolaan rajungan masih belum efektif karena kurangnya data hasil tangkapan sampingan dan aktivitas penangkapan ikan berlebih.
Baca juga: Hindari Arad, Penangkapan Rajungan Harus Berkelanjutan
Miswan, nelayan dari Desa Margasari, Kecamatan Labuhan Maringgai, Kabupaten Lampung Timur, mengungkapkan, penurunan tangkapan rajungan terlihat dengan lokasi tangkapan yang semakin jauh dan semakin sulit. Di masa lalu, hasil tangkapan bisa mencapai 50 kg per hari. Saat ini rata-rata hanya 5 kg per hari. Sewaktu musim rajungan, harga jual juga sering anjlok menjadi kisaran Rp 13.000-Rp 18.000 per kg.
Penangkapan dengan alat tangkap yang tidak ramah lingkungan juga kerap menuai bentrok dengan nelayan skala kecil. Alat tangkap nelayan kecil kerap rusak dan hilang karena tersangkut alat tangkap yang merusak, seperti jaring pukat harimau, dogol, dan arad.
Ia menambahkan, penangkapan dengan alat tangkap yang tidak ramah lingkungan juga kerap menuai bentrok dengan nelayan skala kecil. Alat tangkap nelayan kecil kerap rusak dan hilang karena tersangkut alat tangkap yang merusak, seperti jaring pukat harimau, dogol, dan arad.
”Yang paling menyedihkan, saya mengalami alat tangkap hilang karena tersapu bersih alat tangkap yang merusak. Penangkapan dengan alat yang tidak ramah lingkungan harus dibatasi. Kalau tidak dibatasi, bukan cuma merusak tempat habitat rajungan, tetapi bisa mengganggu nelayan-nelayan rajungan,” kata Miswan, yang juga Ketua Forum Komunikasi Nelayan Rajungan Provinsi Lampung.
Degradasi tangkapan
Kepala Bidang Tangkap Dinas Kelautan dan Perikanan Provinsi Lampung Sutaryono mengemukakan, penurunan produksi rajungan di Lampung mulai terlihat sejak tahun 2019. Selain itu, ukuran rajungan hasil tangkapan terus mengecil akibat cara-cara penangkapan yang tidak ramah lingkungan.
Pada musim tangkapan rajungan, ditenggarai banyak nelayan dari luar Lampung yang turut berburu rajungan di perairan Lampung tanpa izin. Nelayan pendatang dengan alat tangkap yang lebih canggih itu dikhawatirkan meminggirkan hasil tangkapan nelayan lokal. Pihaknya berencana membuat aturan pembatasan penangkapan di musim tangkapan rajungan.
Penurunan produksi rajungan di Lampung mulai terlihat sejak tahun 2019. Selain itu, ukuran rajungan hasil tangkapan terus mengecil akibat cara-cara penangkapan yang tidak ramah lingkungan.
”Saya mengharapkan nelayan (rajungan) lokal yang sudah membentuk kelompok pengawas masyarakat bisa turut melakukan pencegahan terhadap masuknya nelayan dari luar, tanpa bentrokan sosial. Nelayan dari luar Lampung wajib memiliki izin andon dan hasil tangkapan harus didaratkan di pelabuhan perikanan terdekat,” katanya.
Dalam Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor 17 Tahun 2021 tentang Pengelolaan Lobster (Panulirus spp), Kepiting (Scylla spp), dan Rajungan (Portunus spp) di Wilayah RI, telah diatur perlindungan rajungan dari ancaman stok dan tekanan penangkapan ikan ikan ilegal, tidak dilaporkan, dan tidak diatur (IUU Fishing).
Baca juga: Ekspor Rajungan Didorong Terapkan Prinsip Berkelanjutan
Siti Kamarijah, staf Direktorat Pengelolaan Sumber Daya Ikan, Ditjen Perikanan Tangkap Kementerian Kelautan dan Perikanan, mengakui, degradasi stok rajungan mulai terjadi. Penangkapan rajungan bertelur dan di bawah ukuran minimum juga masih berlangsung. Persoalan lain, masih ada hasil tangkapan yang tidak dilaporkan.
Dampaknya, ada indikasi daerah penangkapan rajungan semakin jauh. Nelayan harus melaut semakin jauh untuk bisa mendapatkan rajungan, serta hasil tangkapan semakin sedikit. Sementara itu, alat tangkap yang tidak ramah lingkungan dan merusak disinyalir masih dipakai. Pengawasan terhadap penangkapan rajungan dinilai masih belum optimal.
Pengelolaan dan pengendalian perikanan di hulu untuk menjaga kelestarian sumber daya masih menghadapi tantangan. Pengendalian itu mencakup jumlah nelayan, alat tangkap, dan armada kapal yang digunakan. Saat ini, sebagian besar kapal nelayan rajungan berukuran di bawah 10 gros ton (GT).
”Selama ini, rajungan punya akses pasar. (Tantangannya) bagaimana memberikan wawasan penggunaan alat tangkap yang ramah lingkungan, serta ukuran rajungan yang ditangkap sesuai regulasi. Pengelolaan adalah masa depan,” kata Siti Kamarijah.
Selama ini, rajungan punya akses pasar. (Tantangannya) bagaimana memberikan wawasan penggunaan alat tangkap yang ramah lingkungan, serta ukuran rajungan yang ditangkap sesuai regulasi. Pengelolaan adalah masa depan.
Program Communications Officer CTC, Yoga Putra, mengungkapkan, upaya perbaikan tata kelola perikanan lebih penting daripada peningkatan hasil produksi. Ini untuk menjamin keberlangsungan produksi rajungan, apalagi pasar dunia semakin mensyaratkan produk rajungan sesuai dengan ukuran minimal yang boleh ditangkap. Perbaikan tata kelola memerlukan sinkronisasi kebijakan pusat dan daerah, serta peta jalan yang jelas tentang perikanan tangkap rajungan.
”Nelayan dan pelaku usaha juga perlu menunjukkan kepatuhan terhadap peraturan dan kesanggupan menjalankan perikanan berkelanjutan. Komitmen swasta perlu diterapkan untuk memastikan produk rajungan yang lestari,” katanya.
Direktur Eksekutif Asosiasi Pengelolaan Rajungan Indonesia Hawis Madduppa mengemukakan, perikanan rajungan yang berkelanjutan sangat penting untuk memastikan industri pun berkelanjutan. Saat ini, negara-negara tujuan ekspor juga memiliki regulasi terkait keberlanjutan hasil tangkapan. Oleh karena itu, diperlukan sistem ketertelusuran hulu-hilir, serta sistem pencatatan.
Asosiasi ini bekerja sama dengan pemerintah untuk menggerakkan proses penangkapan lestari, serta mendukung perencanaan pengelolaan rajungan. ”Industri sangat mendukung dan berperan aktif dalam menggiring pengelolaan berkelanjutan,” kata Hawis.