Kenaikan Harga Komoditas Topang Kinerja Perdagangan RI
Kenaikan harga komoditas berpengaruh signifikan terhadap kinerja neraca perdagangan nasional. Neraca dagang sektor nonmigas tercatat surplus 6,6 miliar dollar AS, sementara migas defisit 0,87 miliar dollar AS.
Oleh
Mediana
·6 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Neraca perdagangan Indonesia pada Oktober 2021 tercatat surplus 5,73 miliar dollar AS, terutama disumbang oleh sektor nonmigas yang surplus 6,6 miliar dollar AS. Surplus diperoleh dari nilai ekspor yang mencapai 22,03 miliar dollar AS dan nilai impor 16,29 miliar dollar AS.
Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat, realisasi ekspor bulan lalu naik 6,89 persen dibandingkan dengan September 2021 yang antara lain ditopang oleh meningkatnya ekspor nonminyak dan gas bumi (migas) 6,75 persen, yaitu dari 19,672 miliar dollar AS menjadi 21 miliar dollar AS, serta ekspor migas yang naik 9,91 persen dari 932,8 juta dollar AS menjadi 1.025,3 juta dollar AS.
Peningkatan terbesar ekspor nonmigas terjadi pada bahan bakar mineral 823,3 juta dollar AS (26,59 persen), lemak dan minyak hewan/nabati 538,9 juta dollar AS (19,12 persen), besi dan baja 232,5 juta dollar AS (11,35 persen), timah dan barang darinya 79,6 juta dollar AS (37,29 persen), serta ampas dan sisa industri makanan 52,1 juta dollar AS (42,07 persen).
Sementara penurunan ekspor nonmigas pada Oktober 2021 yang terbesar terjadi, antara lain, pada mesin dan perlengkapan elektrik serta bagiannya 105,5 juta dollar AS (10,04 persen), nikel dan barang darinya 90,8 juta dollar AS (50,77 persen), karet dan barang dari karet 56,9 juta dollar AS(10,23 persen), bijih logam, terak, dan abu 56,8 juta dollar AS (8,10 persen), serta bahan kimia organik 54,3 juta dollar AS (14,85 persen).
”Ekspor nonmigas berkontribusi 95,35 persen terhadap total ekspor Oktober 2021. Ekspor nonmigas Oktober 2021 terbesar adalah ke China, yaitu 5,93 miliar dollar AS, disusul Amerika Serikat 2,34 miliar dollar AS, dan Jepang 1,41 miliar dollar AS. Ekspor ke tiga negara itu memiliki porsi 46,10 persen,” ujar Kepala BPS Margo Yuwono dalam konferensi pers di Jakarta, Senin (15/10/2021).
Dari sisi migas, peningkatan ekspornya pada Oktober 2021 disebabkan oleh kenaikan ekspor minyak mentah sebesar 11,83 persen menjadi 111,9 juta dollar AS dan gas naik 39,72 persen menjadi 781,1 juta dollar AS. Ekspor hasil minyak anjlok 51,65 persen menjadi 132,3 juta dollar AS.
Sementara itu, nilai impor Indonesia pada Oktober 2021 sebesar 16.293,1 juta dollar AS atau naik 59,0 juta dollar AS dibandingkan dengan September 2021. Ini disebabkan oleh naiknya impor migas 31,3 juta dollar AS dan nonmigas 27,7 juta dollar AS.
Margo menyatakan, menurut golongan barang Harmonized System (HS) Code dua digit, nilai impor nonmigas Indonesia pada Oktober 2021 yang mencapai 14,395 miliar dollar AS itu didominasi oleh golongan mesin/peralatan mekanis dan bagiannya 2.216,5 juta dollar AS (15,40 persen), mesin/perlengkapan elektrik dan bagiannya 1.661,0 juta dollar AS (11,54 persen), serta besi dan baja 1.171,5 juta dollar AS (8,14 persen).
Secara kumulatif Januari-Oktober 2021, nilai ekspor Indonesia sebesar 186,32 miliar dollar AS atau naik 41,80 persen dibandingkan dengan periode yang sama tahun 2020. Sementara dibandingkan dengan periode 2020, nilai impor Januari–Oktober 2021 mengalami peningkatan 41,043 miliar dollar AS (35,86 persen).
Harga komoditas
Margo menjelaskan, kenaikan harga komoditas migas ataupun nonmigas berpengaruh terhadap kinerja neraca perdagangan sampai Oktober 2021. Sebagai gambaran, harga minyak mentah Indonesia di pasar dunia naik dari sekitar 72,2 dollar AS per barel pada September 2021 menjadi sekitar 81,8 dollar AS per barel. Jika dibandingkan dengan Oktober 2020, terjadi peningkatan harga minyak mentah 114,7 persen. Harga batubara naik 27,58 persen dibandingkan dengan September 2021, sementara harga minyak kernel naik 26,62 persen dan minyak sawit naik 10,62 persen.
Senior Vice President Group Research DBS Bank Ltd Radhika Rao menyampaikan pandangan senada. Indonesia mencatatkan pertumbuhan ekspor dua digit dipicu oleh kenaikan komoditas nonmigas yang membantu meningkatkan kinerja neraca perdagangan. Walaupun nilai impor juga meningkat pesat, neraca perdagangan Indonesia mampu meraih rekor tertinggi, yaitu 5,7 miliar dollar AS. Ini membantu neraca transaksi berjalan sampai triwulan terakhir dan kestabilan makro Indonesia.
DBS Bank memprediksi bahwa tahun ini Indonesia bisa meraih surplus neraca perdagangan terbesar sejak 2007 ditopang kenaikan komoditas nonmigas. Dia mengatakan, pihaknya memperkirakan neraca transaksi berjalan Indonesia akan tumbuh menjadi surplus tahun ini dan tampaknya data Oktober akan menjadi indikasi akan surplus yang lebih besar. ”Hal itu akan mendukung mata uang rupiah terhadap penguatan dollar akibat kebijakan tapering The Fed,” kata Radhika.
Besi baja
Direktur Eksekutif Center of Reform on Economics (CORE) Indonesia Mohammad Faisal saat dihubungi terpisah, berpendapat, ekspor besi baja mengalami kenaikan karena permintaannya pun naik, seperti dari China yang dipakai untuk bahan baku infrastruktur hingga industri. Smelter di dalam negeri yang digalakkan pemerintah sejak beberapa tahun lalu juga tengah menggeliat. CORE Indonesia memperkirakan, kondisi seperti itu akan sampai akhir tahun 2021.
Direktur Komite Analisis Industri Baja The Indonesian Iron and Steel Industry Association (IISIA) Bimakarsa Wijaya menilai, surplus neraca perdagangan Oktober 2021 dan peningkatan ekspor besi baja didorong dua hal. Pertama, peningkatan volume ekspor besi baja, baik berupa besi tahan karat (stainless steel) maupun carbon steel. Produksi stainless steel di Weda Bay dan Morowali sedang meningkat. Faktor kedua, kenaikan komoditas harga besi baja.
”Faktor harga sebenarnya mulai masuk fase menurun, tetapi tetap jauh lebih tinggi dibandingkan dengan harga tahun lalu. Jadi, produsen merasa akan tetap lebih menarik untuk melakukan ekspor,” tuturnya.
Hanya saja, Faisal juga menekankan, Indonesia masih mengimpor besi baja yang nilainya cenderung masih besar. Dia menduga, Indonesia masih mengekspor besi baja dalam bentuk olahan tahap awal, kemudian masuk kembali ke Indonesia berbentuk jadi.
”Selama pandemi Covid-19, proyek-proyek konstruksi ataupun infrastruktur di Indonesia tetap berjalan. Kebutuhan besi baja tetap besar. Indonesia masih mengimpor besi baja untuk memenuhi kebutuhan domestik sebenarnya bukan isu baru,” katanya.
Ketua Umum Asosiasi Profesi Metalurgi Indonesia Bouman Situmorang menyebutkan, potensi cadangan logam besi dan pasir besi, sesuai data Badan Geologi Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral, sebesar 221,5 juta ton. Dengan mengoptimalkan potensi cadangan itu dengan teknologi terkini, Indonesia bisa meningkatkan kinerja hulu industri besi baja.
”Dengan mengolah pasir besi lokal yang melimpah tersebut, Indonesia akan memperoleh nilai tambah dari produk samping dari kandungan vanadium dan titanium yang tinggi dalam pasir besi,” ujar Bouman.
Menurut Wakil Ketua Umum Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Indonesia Shinta W Kamdani, Indonesia kekurangan industri pengolahan besi baja karena tidak semua pohon industri besi baja tersedia. Impor juga terjadi karena ada isu pemenuhan kualitas dan standar sesuai keperluan industri pemakai besi baja. Apabila Indonesia mau meminimalkan impor besi baja, pemerintah perlu memberdayakan dan membantu meningkatkan kualitas industri besi baja nasional agar standar/kualitas keluaran produksinya sesuai dengan kebutuhan.