Pemda Dinilai Kurang Responsif terhadap Ancaman Krisis
Pembenahan birokrasi mutlak diperlukan untuk meningkatkan kualitas tata kelola ekonomi daerah pascapandemi Covid-19.
Oleh
Dimas Waraditya Nugraha
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Realisasi penyerapan anggaran daerah yang rendah di masa pandemi mengindikasikan pemerintah daerah masih kurang responsif terhadap ancaman krisis. Pembenahan birokrasi mutlak diperlukan untuk meningkatkan kualitas tata kelola ekonomi daerah pascapandemi Covid-19.
Dalam webinar bertajuk ”Tata Kelola Ekonomi Daerah Pasca Pandemi Covid-19” yang diselenggarakan Komite Pemantauan Pelaksanaan Otonomi Daerah (KPPOD), Jumat (12/11/2021), Direktur Center of Economic and Law Studies (Celios) Bhima Yudhistira menyoroti buruknya tata kelola ekonomi daerah.
Hal tersebut terindikasi dari tidak kunjung membaiknya realisasi serapan anggaran di daerah. Bhima menyarankan pemerintah daerah untuk mulai memperbaiki pola penganggaran, eksekusi, dan menyelesaikan berbagai hambatan terkait penyerapan anggaran.
Pemerintah daerah diharapkan mulai memperbaiki pola penganggaran, eksekusi, dan menyelesaikan berbagai hambatan terkait penyerapan anggaran. (Bhima Yudhistira)
”Realisasi anggaran sampai Agustus 2021 jauh lebih rendah dibandingkan dengan periode sama tahun 2020. Sampai September 2021, masih ada Rp 190 triliun lebih dana pemda yang mangkrak di perbankan. Jadi, tidak ada perbaikan dari pola penganggarannya,” katanya.
Berdasarkan data Kementerian Keuangan, realisasi alokasi transfer ke daerah dan dana desa (TKDD) selama periode Januari-Oktober 2021 baru mencapai Rp 541,47 triliun atau 68,1 persen dari pagu Rp 795,5 triliun.
Dibandingkan dengan posisi Oktober 2020, realisasi penyaluran TKDD hingga Oktober 2021 mengalami penurunan hingga 14,01 persen.
Data tersebut, lanjut Bhima, menunjukkan bahwa tata kelola ekonomi di Indonesia cukup mengecewakan karena baik pemerintah pusat maupun daerah kurang responsif dan waspada terhadap ancaman krisis yang terjadi.
”Dengan kata lain, pemerintah pusat ataupun daerah belum memiliki sense of crisis yang besar. Padahal, dalam konteks pandemi Covid-19, terjadi krisis kesehatan dan ekonomi,” ujarnya.
Di sisi lain, Bhima menilai masih banyak pemerintah daerah yang menahan realisasi anggaran karena merasa khawatir dikriminalisasi ataupun takut melakukan kekeliruan terkait aturan administrasi.
Padahal, terkait hal tersebut, Kementerian Keuangan sudah menegaskan bahwa BPK, Kejaksaan, dan Kementerian Keuangan akan mengawal serta mendampingi pemerintah daerah dalam penggunaan anggaran.
Dalam kesempatan berbeda, Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati menjelaskan, penurunan realisasi TKDD terjadi karena adanya penundaan penyaluran dana bagi hasil (DBH) dan dana alokasi umum (DAU) kepada 90 pemerintah daerah akibat belum terpenuhinya dokumen persyaratan penyaluran.
Menurut Sri Mulyani, 90 pemda tersebut belum memenuhi syarat penyaluran untuk DAU, yaitu laporan wajib dari DAU bersangkutan dan laporan pelaksanaan 8 persen DAU yang dipakai untuk penanganan Covid-19. ”Karena syarat dan laporan tersebut belum diterima, Kementerian Keuangan menunda transfer untuk DAU dan DBH untuk 90 pemda tersebut,” ujarnya.
Perizinan usaha
Bhima menilai, seusai pandemi Covid-19, pemda akan dihadapkan pada sejumlah tantangan dalam mendorong perekonomian di daerah masing-masing. Salah satu aspek yang saat ini menjadi sorotan adalah terkait kemudahan izin berusaha di daerah.
Anggota KPPOD Bidang Pengembangan Bisnis dan Analis Kebijakan, Nathania Riris Michico Tambunan, menilai, meski saat ini pemerintah pusat telah meresmikan Undang-Undang (UU) Cipta Kerja untuk mempermudah perizinan usaha, implementasinya di daerah ternyata masih terkendala.
”Implikasi dari belum adanya perda yang siap di daerah membuat akhirnya pemda masih menggunakan regulasi yang lama, yang akhirnya bertolak belakang dengan apa yang digaungkan dalam UU Cipta Kerja,” ujar Michico.
Hasil penilaian KPPOD menemukan bahwa pelayanan perizinan berusaha pascapandemi masih menghadapi sejumlah kendala, baik dari regulasi, digitalisasi, maupun kepastian prosedur waktu dan biaya dalam mengurus perizinan berusaha.
Direktur Apindo Research Institute Agung Pambudhi menegaskan, diperlukan penguatan kapasitas birokrasi dalam tubuh pemda untuk mendukung implementasi aplikasi berbasis digital dalam pelayanan perizinan.
Ia juga menekankan pentingnya meningkatkan edukasi publik, khususnya terkait transformasi pelayanan manual menuju daring, serta pemerataan pembangunan infrastruktur berbasis digital, terutama di luar Jawa dan wilayah terluar Indonesia.
”Tantangannya adalah menyelesaikan ketegangan antara urusan politis dan urusan birokrasi untuk menghasilkan pelayanan publik yang berkualitas,” ujarnya.
Menurut Agung, ketegangan tersebut dapat terselesaikan dengan hadirnya pemimpin daerah yang visioner dan transformatif untuk mengawal transformasi menuju digitalisasi birokrasi dan pemerintahan.